Lian Chen berdiri di depan altar besar yang bersinar lembut, aura ilahinya mengisi udara dengan keagungan yang tak terkatakan. Cahaya altar itu berkilauan seolah-olah menilai dirinya, menelusuri setiap jengkal tubuh dan jiwa, mencari jawaban apakah ia layak menerima rahasia yang tersimpan dalam kuil kuno ini.
Dengan napas yang teratur, ia meletakkan tangannya pada permukaan altar. Begitu tangannya menyentuhnya, cahaya terang meledak, mengisi aula dengan sinar putih menyilaukan. Dalam sekejap, dunia di sekitarnya berubah.
---
Ia menemukan dirinya di sebuah ruang tanpa batas, hanya ada kehampaan hitam yang luas dengan ribuan bintang kecil berkelap-kelip di kejauhan. Di hadapannya berdiri sosok besar, berbentuk seperti patung yang berada di aula utama, namun kali ini hidup, matanya bercahaya seperti matahari kembar yang tajam.
"Pendatang, engkau telah melangkah jauh untuk sampai di sini," suara sosok itu bergema, berat dan penuh kekuatan. "Namun, altar ini tidak hanya mengukur keberanian, tetapi juga kebijaksanaan dan tingkat kultivasi. Apakah kau siap menghadapi ujian yang sebenarnya?"
Lian Chen mengangguk tegas. "Aku siap."
Sosok itu mengangkat tangannya, dan tiba-tiba, ribuan pedang energi muncul dari kegelapan, mengarah padanya. Pedang-pedang itu bersinar seperti bintang, bergerak dengan kecepatan yang mustahil. Lian Chen melompat mundur, tubuhnya bergerak refleks berkat Langkah Tanpa Jejak, menghindari serangan pertama dengan gesit.
Namun, ini baru permulaan.
---
Ujian Tubuh: Menghadapi Kekuatan Tanpa Henti
Tubuhnya merasakan tekanan luar biasa. Serangan demi serangan datang, setiap tebasan pedang energi menargetkan titik lemah dalam tubuhnya. Ia memanfaatkan Transformasi Tubuh, memperkuat otot dan tulangnya untuk menahan serangan. Namun, jumlah pedang itu terlalu banyak, dan luka kecil mulai muncul di tubuhnya.
Salah satu pedang berhasil menembus pertahanannya, menyayat bahu kirinya. Darah mengalir, tetapi kekuatan penyembuhan luar biasa miliknya segera menutup luka itu. Dalam hati, ia tahu ujian ini hanya akan semakin berat.
"Apakah tubuhmu mampu bertahan menghadapi keabadian?" suara sosok itu bergema.
Lian Chen menggertakkan giginya. Dengan konsentrasi penuh, ia mengalirkan energi murni ke seluruh tubuh, menciptakan lapisan pelindung yang semakin tebal. Ia melawan, menghancurkan pedang-pedang itu satu per satu dengan Pukulan Energi Tanpa Batas, tetapi setiap kali ia menghancurkan sepuluh pedang, seratus lainnya muncul.
Akhirnya, tubuhnya mulai melemah.
"Belum cukup..." gumamnya pelan, tetapi ia tahu bahwa kemampuannya saat ini belum cukup untuk menyelesaikan ujian ini.
---
Ujian Jiwa: Menghadapi Ketakutan Terdalam
Sebelum ia bisa memulihkan diri dari ujian tubuh, ruang di sekitarnya berubah. Pedang-pedang itu lenyap, digantikan oleh kegelapan yang menyelimuti. Tiba-tiba, suara-suara muncul, berbisik di sekelilingnya, memenuhi pikirannya dengan keraguan dan ketakutan.
"Kau bukan apa-apa tanpa batu pusaka itu."
"Semua kekuatanmu hanyalah pinjaman."
"Kau tidak akan pernah mencapai puncak sejati kultivasi."
Bisikan-bisikan itu berubah menjadi jeritan, mencengkeram jiwa Lian Chen. Dalam kehampaan ini, ia menghadapi ketakutannya sendiri—gagal menjadi lebih kuat, kehilangan arah, dan kehilangan dirinya sendiri.
Dengan gemetar, ia memusatkan energinya, menggunakan kekuatan jiwanya untuk melawan ketakutan ini. Auman Langit Menggelegar keluar dari mulutnya, mengguncang kegelapan. Gelombang suara itu menghancurkan sebagian bisikan, tetapi tidak semuanya.
"Jiwamu belum cukup kuat untuk melampaui rasa takut ini," kata sosok besar itu, kini terdengar lebih dekat dan lebih tajam. "Ketika tubuhmu melampaui batas, jiwamu harus mengikuti. Harmoni antara keduanya adalah kunci. Tanpanya, kau hanya akan hancur."
Lian Chen tersentak. Ia tahu bahwa kekuatan tubuhnya sudah jauh melampaui level kultivasinya saat ini, tetapi jiwanya belum cukup berkembang untuk menyeimbangkannya. Ia merasakan sebuah kehampaan dalam dirinya—sebuah ruang kosong yang masih harus diisi.
---
Kegagalan yang Membuka Jalan Baru
Setelah apa yang terasa seperti berjam-jam pertempuran tanpa henti, Lian Chen jatuh berlutut, napasnya terengah-engah. Sosok besar itu mendekat, mengawasinya dengan mata yang seperti obor berkobar.
"Engkau gagal dalam ujian ini," kata sosok itu dengan nada tanpa emosi. "Namun, kegagalan bukanlah akhir. Ujian ini mengukur potensimu, dan aku melihat potensimu sangat besar. Kembalilah ketika tingkat kultivasimu telah melampaui batas fana, dan kau akan mendapatkan kesempatan kedua."
Sosok itu mengangkat tangannya, dan dunia mulai memudar. Namun, sebelum semuanya benar-benar gelap, sebuah buku kuno muncul di hadapan Lian Chen. Sosok itu berbicara lagi, suaranya kini lebih lembut.
"Sebagai tanda penghargaan atas tekadmu, aku berikan ini. Ini adalah teknik kuno, warisan dari mereka yang telah mencapai puncak. Gunakan dengan bijak, karena bahkan teknik ini bisa membawa kehancuran jika tidak disertai kebijaksanaan."
---
Kembali ke Dunia Nyata
Ketika ia membuka matanya, ia sudah kembali di aula utama. Altar besar itu masih bersinar lembut, tetapi kini terasa lebih tenang, seolah-olah menyuruhnya untuk kembali nanti. Lian Chen menatap buku kuno di tangannya. Sampulnya berwarna hitam pekat, dengan tulisan kuno yang berkilauan di bawah cahaya.
Ia membuka halaman pertama dengan hati-hati, membaca judulnya: "Cakar Dimensi Ilahi". Teknik itu tampaknya dirancang untuk menciptakan serangan yang mampu menembus dimensi dan menghancurkan pertahanan apa pun. Namun, membaca deskripsi awalnya saja sudah membuatnya pusing. Teknik ini membutuhkan keseimbangan sempurna antara tubuh dan jiwa yang belum banyak dia kuasai.
---
Renungan dan Persiapan
Setelah beberapa saat berdiri di depan altar, Lian Chen memutuskan untuk meninggalkan kuil kuno itu untuk sementara waktu. Ia memahami bahwa jalan kultivasi tidak pernah mudah, dan kegagalannya hari ini adalah pelajaran penting. Ia harus memperkuat dirinya, tidak hanya secara fisik tetapi juga secara spiritual.
"Jika aku ingin kembali ke sini dan berhasil melewati ujian itu, aku harus melampaui diriku yang sekarang," pikirnya sambil menggenggam buku kuno itu erat-erat.
Ketika ia melangkah keluar dari kuil, secara tiba-tiba medan energi pembatas yang tadi lenyap kembali terpasang dengan pancaran cahaya keemasan dan terselimuti kabut lalu menghilang. Matahari telah terbenam, menyelimuti dunia dengan warna jingga dan ungu. Dengan tekad yang baru, Lian Chen bersumpah untuk kembali ke kuil kuno itu suatu hari nanti, lebih kuat dari sebelumnya.
Namun untuk saat ini, perjalanan panjang masih menantinya, dan ia tahu bahwa banyak tantangan lain yang harus ia taklukkan. Buku kuno di tangannya hanyalah awal dari petualangan yang lebih besar.
Melangkah Menuju Dunia Baru
Ketika Lian Chen melangkah keluar dari kuil, hawa dingin malam menyapanya. Udara segar menyelinap ke dalam paru-parunya, namun perasaan kegagalan masih membekas di hatinya. Kegagalan itu bukan sekadar hasil ujian, melainkan cerminan dari kelemahan dirinya yang belum mampu menyatukan kekuatan tubuh dan jiwa.
Ia menatap buku kuno di tangannya. "Cakar Dimensi Ilahi." Teknik yang terdengar luar biasa, namun saat ini terasa terlalu jauh untuk dikuasai. Ia membuka salah satu halaman di tengah buku, mencoba membaca uraian lebih lanjut. Tulisan kuno di dalamnya bersinar samar-samar, menjelaskan tahap pertama dari teknik itu: menciptakan celah kecil dalam ruang dimensi.
Namun, bahkan deskripsi tahap pertama itu membuatnya sadar akan kompleksitasnya. "Bagaimana mungkin aku bisa menguasai teknik ini jika aku bahkan belum mampu menyelesaikan ujian tubuh dan jiwa?" gumamnya.
Namun, Lian Chen tidak membiarkan keputusasaan menguasainya. Ia tahu bahwa buku ini adalah hadiah sekaligus pengingat: jalan kultivasi tidak pernah mudah.
Dengan tekad yang baru, ia memutuskan untuk kembali ke desa terdekat. Ia perlu waktu untuk menyusun strategi, mempelajari buku ini, dan menemukan cara untuk memperkuat jiwanya. Selain itu, ia tahu bahwa dunia ini menyimpan lebih banyak rahasia. Artefak kuno, guru-guru legendaris, bahkan pertempuran besar yang menantinya—semua itu adalah bagian dari perjalanannya.
---
Langkah Awal untuk Memperkuat Jiwa
Dalam perjalanan Keluar dari hutan terlarang tempat kuil kuno itu berada, Lian Chen merenungkan apa yang bisa ia lakukan untuk memperkuat jiwanya. Ia teringat pada deskripsi ujian: harmoni antara tubuh, jiwa, dan alam. Mungkin, pikirnya, jalan menuju kekuatan sejati bukan hanya tentang meningkatkan kultivasi, tetapi juga memahami esensi dari dirinya sendiri.
Di suatu tempat dekat aliran sungai yang jernih. Airnya mengalir perlahan, menciptakan harmoni dengan suara angin dan gemerisik dedaunan. Ia duduk di tepi sungai, menarik napas panjang, dan mulai bermeditasi.
Untuk pertama kalinya, ia mencoba memfokuskan seluruh energinya pada jiwanya. Bukan pada tubuhnya yang telah diperkuat oleh Transformasi Tubuh, atau energi luar yang ia serap melalui Meridian yang Diperluas, tetapi pada inti dirinya yang terdalam—jiwa yang menjadi sumber semua kekuatannya.
Meditasi itu membawa ketenangan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Perlahan-lahan, ia mulai merasakan hubungan dengan alam di sekitarnya. Angin yang berhembus lembut, gemericik air, bahkan denyut kehidupan kecil dari serangga yang beterbangan. Semua itu membentuk simfoni alami yang, untuk sesaat, menyatu dengan jiwanya.
"Aku perlu belajar untuk mendengar lebih banyak," pikirnya. "Kekuatan sejati bukan hanya tentang menyerang, tapi juga memahami keseimbangan."
---
Misi Baru: Peningkatan Tingkat Kultivasi
Setelah beberapa jam bermeditasi, Lian Chen bangkit dengan perasaan segar. Ia merasa lebih selaras dengan dirinya sendiri, meskipun ia tahu itu hanya awal. Teknik Cakar Dimensi Ilahi akan membutuhkan lebih dari sekadar pemahaman dasar; ia perlu membangun kekuatannya dari bawah.
Namun, ia tahu bahwa untuk mencapai itu, ia harus meningkatkan tingkat kultivasinya. Batu pusaka langit yang telah menyatu dengan dirinya memberikan keuntungan besar, tetapi ia tidak bisa mengandalkan itu saja. Ia perlu mencari sumber energi baru, mempelajari teknik-teknik tambahan, dan menghadapi lawan-lawan yang bisa mendorongnya hingga batas.
Ia ingat percakapan orang-orang tua dulu di desanya pernah menyebutkan keberadaan sebuah gua tersembunyi di lembah selatan, tempat artefak kuno yang diyakini mampu memperkuat jiwa seseorang tersembunyi. Gua itu juga dikenal berbahaya, dihuni oleh makhluk spiritual yang hanya dapat ditaklukkan oleh mereka yang memiliki keberanian dan kekuatan.
"Gua itu mungkin langkah selanjutnya," gumam Lian Chen. Ia memutuskan untuk menuju ke sana, tetapi tidak terburu-buru. Ia tahu bahwa perjalanan ini adalah maraton, bukan perlombaan singkat.
---
Harapan di Tengah Kegelapan
Ketika ia melanjutkan perjalanan menuju desa terdekat, bulan purnama naik tinggi, menerangi jalannya dengan sinar keperakan. Bayangan panjangnya mengikuti di belakang, seolah-olah mengingatkan bahwa masa lalu tidak bisa dilupakan, tetapi bisa dijadikan pelajaran.
Di kejauhan, lampu-lampu kecil dari desa mulai terlihat. Itu adalah pengingat bahwa dunia ini lebih besar dari kuil kuno dan ujian-ujian yang ia hadapi. Ada orang-orang yang menjalani kehidupan biasa, jauh dari dunia kultivasi yang penuh risiko. Namun, Lian Chen tahu bahwa takdirnya berbeda. Ia telah dipilih oleh warisan langit, dan ia tidak akan menyerah sampai mencapai puncak.
Ketika ia tiba di desa, suasananya sepi, hanya beberapa rumah yang masih menyalakan lampu. Lian Chen menemukan sebuah penginapan sederhana dan memutuskan untuk bermalam di sana. Sebelum tidur, ia membuka lagi buku Cakar Dimensi Ilahi, membaca detail tahap pertama dengan hati-hati.
Ia tersenyum kecil. "Aku mungkin gagal hari ini, tetapi esok adalah kesempatan baru."
Dengan pikiran itu, ia memejamkan mata, bersiap untuk menghadapi hari berikutnya. Ujian kuil kuno itu mungkin tertunda, tetapi semangatnya untuk maju tetap menyala. Jalannya masih panjang, dan Lian Chen tidak akan berhenti sampai ia melampaui semua batas.