webnovel

4. Amaya Gifyari Niskala

🍁🍁🍁

Kembar kedua, si kutu buku yang hobinya diam di rumah. Biasa dipanggil Gifya atau Mbak Ify ketika di rumah dan Amaya panggilannya ketika di sekolah. Gifya hobi memasak bersama Yasha, adakalanya juga Ryden dengan senang hati membantu, ia selalu memutar otak untuk membuat menu agar adik kecilnya mau makan dan memastikan saudaranya mendapatkan gizi seimbang. Gifya adalah yang tersabar diantara si kembar empat, namun begitu ia memanggil dirinya sendiri dengan sebutan 'Mbak' adalah puncak emosi Gifya yang bisa menimbulkan pertikaian, bahkan Gama tak bisa berkutik ketika anaknya itu marah.

Gadis itu menjabat jadi sekretaris OSIS di SMP namun itu  terakhir kalinya ia ikut kegiatan melelahkan seperti ini karena di SMA nanti ia benar-benar ingin fokus belajar tanpa masuk organisasi yang menyita waktu luangnya, ia ingin bebas seperti Falen. Kendati demikian Gifya tetap ingin melanjutkan bidang vokalnya, ia suka sekali menyanyi dan bermain gitar. Tak jarang ikut Lunar ke cafe ketika kembarannya itu dapat job menyanyi disana, bayarannya lumayan untuk membeli tiga macam novel yang ia inginkan.

Sepulang sekolah hampir selalu berdiam diri di kamarnya untuk sekedar membaca buku atau menonton Netflix, Lunar saja sampai heran dengan kembarannya itu. Bagaimana bisa manusia berdiam diri seharian di kamar tanpa melihat langit yang indah? Tapi Gifya tetaplah Gifya yang sibuk dengan dunianya sendiri, tanpa mau diganggu apalagi ditemani ketiga kembarannya yang berisik itu.

Gadis manis yang sering mencepol rambutnya secara asal itu terkadang melakukan kecerobohan yang membuat ketiga kembarannya kesal bukan main, walaupun ia yang tergalak di rumah namun hatinya gampang tersentuh dan mudah memaafkan orang. Gifya pernah mengalahkan Falen ketika kembarannya berbuat ulah, gadis itu menguasai judo dan pernah ke tingkat nasional bertemu dengan mantannya namun memilih berhenti karena tak bisa melupakan sang mantan.

Gifya sangat mencintai susu kotak, selain menyetok untuk adik bungsunya ia juga punya untuk dirinya sendiri, selalu ada susu kotak di dalam tasnya kapanpun dan dimanapun susu adalah favoritnya.

_________

"Hai Sadam.." Lunar tersenyum lebar melambaikan tangannya pada Sadam, laki-laki itu bergidik ngeri, menatap Gifya seakan meminta pertolongan

"Kalian abis darimana?" Tanya Gifya, ia menahan tubuh Lunar yang hendak menghampiri temannya itu, menahannya sekuat tenaga sebelum Lunar lebih ganas lagi. "Diem dulu, Una." Gifya menutup mulut Lunar yang hendak bicara

"Anu itu---" Marchel menyikut lengan Sadam yang bersembunyi dibelakangnya "Elu aja deh yang ngomong, nggak enak gue," bisiknya

"Kasih kucing lah." Sahut Sadam mengindari tatapan Lunar "Na, merem napa sih!"

"Jadi pacar gue aja gak sih?" Lunar tersenyum lebar mengedipkan sebelah matanya "Kiwww abang.."

"Una!" Gifya menggeser tubuh Lunar menjauh dari Sadam

"Itu may, Karelio masuk UKS gara-gara ditonjok mantan gue," jawab Sadam setelah bisik-bisik dengan Marchel

"Hah? Sama Rhean dong?" Kaget Gifya apalagi ketika Sadam menganggukkan kepalanya "KOK BISA?"

Marchel menggaruk tengkuknya yang tak gatal, "Yaaa bisa.. macam biasa toh?" Ia bingung sendiri

"Terus gimana kembaran gue? Kena hukum apa? Ada-ada aja sih..." Panik Gifya membuat kedua laki-laki itu saling tatap kemudian menggelengkan kepalanya bersamaan

"Masih di BK sih tadi, eumm kita duluan ya, may." Sadam menarik lengan Marchel menjauh apalagi ketika melihat Lunar melakukan hal yang sama, makin kencang lah ia berlari

Gifya memukul lengan sang kembaran yang masih melayangkan flying kiss pada Sadam yang sudah menjauh. "UNAAAA! Fokus dulu ih!" Kesalnya

"Yaudah iye, maap. Mau apa lo?" Tanya Lunar akhirnya

"Samperin kembaran lo lah, kalo Daddy tau anaknya bermasalah ribet entar." Gifya menarik tangan Lunar untuk menuju ke ruang BK

"Udah bel noh, ayo ke kelas aja. Gue mau lewat depan kelas ayang gue,"

"Ayangnya Rhean gak si?"

"IPI MAH GITU!"

***

Gifya menunggu di depan ruang BK walaupun bel masuk sudah berbunyi, Lunar memilih ke kelas Sadam alih-alih menemaninya, ia berdiri ketika Rheana keluar dari ruangan tersebut. "Rhean gimana? Sekolah panggil Daddy nggak?" Melihat sang kembaran menggeleng membuat Gifya bernafas lega

"Tapi gue disuruh nemenin dia sampe sembuh njirr. Apes amat jadi gue," Rheana menendang angin saking kesalnya

Gifya menepuk pundak sang kembaran sebelum pergi, "Kalian tuh ada masalah apa sih sebenernya sampai kebawa di sekolah, i mean kalian kan mantan--"

"Enggak ya! Kata siapa coba?" Rheana terkejut membuat Gifya bingung

"Loh kata anak-anak bukannya kalian pernah pacaran ya?" Melihat Rheana menggelengkan kepalanya membuat Gifya mengelus lehernya "Ouh rumor doang yaa?"

"Enggak tau, gue aja heran kenapa dia musuhin gue, ahh tau ah! Puyeng! Buruan masuk kelas, anak teladan nggak boleh kena hukum loh," ucapnya menuruni anak tangga pelan-pelan agar berjalan bersebelahan dengan sang kembaran

"Pulangnya gue ke Gramedia ya? Bentar aja kok, janji!" Gifya menunjukkan jari kelingkingnya pada Rheana, memaksa kembarannya itu untuk melakukan hal yang sama

"Kabari gue kalo ada sesuatu, jangan apa-apa sendiri, elo punya tiga kembaran sekaligus."

Gifya tersenyum mendengarnya, ia mengangkat tangannya dengan hormat. "Baik lah adik kecil," ucapnya tertawa

"Gue bukan bungsu lagi Mbak, jangan gitu!"

"Bagi gue Rhean tetap bungsu kok," Gifya mencubit pipi sang kembaran sebelum pergi, namun ia berhenti sejenak dan berbalik menatap Rheana "Jangan bolos ya, cukup Lele aja hari ini,"

***

Gifya keluar dari toilet setelah memakai cardigan berwarna abu muda, tak lupa memakai celana panjang ia berjalan santai menuju motor Kawasaki ninja berwarna pink miliknya. Menatap pantulan dirinya di kaca spion sebelum menjalankan motor tersebut keluar dari area sekolah. Gadis itu memberhentikan motornya di sebuah kawasan belanja elit, menaiki eskalator sebanyak dua kali untuk sampai di toko buku yang ia maksud.

Gifya tersenyum simpul menghirup aroma buku-buku yang tampak menenangkan baginya, aroma buku baru memang selalu jadi penenang dikala pusingnya belajar seharian, ia berjalan pelan sembari membaca buku yang covernya menarik perhatian. Ia sampai tak memperhatikan jalan hingga kepalanya membentur kepala seseorang.

Dukk

"Ah ya ampun maaf mas, maaf saya nggak sengaja. Aduhh ini saya beresin aja ya? Maaf mas bikin mas kerja dua kali jadinya,"

"Eh nggak usah Mbak, anu saya--"

"Enggak kok nggak papa, saya mau tanggung jawab kok mas, saya yang numpahin jadi gakpapa kalo saya yang bersihin," panik Gifya meminta maaf berulang kali, ia mengambil alih alat pel yang pemuda itu pegang kemudian mengepelnya

"Lo-- anak Binsa ya?"

"Iya mas, saya--" Gifya mengerjapkan matanya, merasa ada sesuatu yang janggal dirinya pun menoleh pada pemuda itu, menatapnya dari atas sampai bawah. Dari seragamnya yang tampak sama membuat Gifya mengerjapkan matanya dengan polos "Loh masnya--" Gifya menggantungkan ucapannya, tersadar sesuatu ia membungkuk dengan mata terpejam "Sorry gue nggak tau, maaf ya... Maaf banget sumpah."

Pemuda tersebut mengambil alih alat pel yang ada di tangan Gifya sambil terkekeh. "Kalo tadi elo ngira gue tukang bersih-bersih disini elo salah. Gue pelakunya kok, gue yang nggak sengaja nyenggol ember ini sampai tumpah, mungkin elo nggak sadar karena asyik baca buku jadi elo merasa kalo elo pelakunya."

Gifya menatap buku yang jatuh di sisi sepatunya, saking paniknya ia sampai lupa jika buku tersebut jatuh. Untung saja tidak rusak, ia tersenyum pada pemuda itu. "Sorry ya, elo gakpapa?"

'Lah gue ngomong apaan?' batin Gifya meruntuki ucapannya, selalu saja otak dan mulutnya tidak sinkron jika bertemu orang baru

Pemuda itu terkekeh. "Aman kok, untung aja nggak tumpah semua ya," ucapnya membuat Gifya tertawa canggung

"Duluan aja mbaknya gapapa kok,"

"Ah.. iya mas, punten." Gifya melewatinya dengan senyum canggung dan memejamkan mata begitu sudah jauh dari pemuda asing tersebut

"Ify lo mikirin apa sih? Selalu aja fokus sama dunia lo sendiri sampai ceroboh begini," Gifya memukul kepalanya dengan tangan dan setelah merasakan sakit ia mengaduh kesakitan

"ih bego deh," ia memundurkan tubuhnya hingga menabrak meja yang membuat beberapa buku terjatuh akibat ulahnya dan menimbulkan bunyi yang membuat dirinya jadi pusat perhatian sekarang

'Mau menghilang aja plis,' Gifya memejamkan matanya erat-erat "Malu banget loh sebenarnya," lirihnya menata kembali buku-buku tersebut

Setelah memilih buku mana yang akan ia beli, lebih dari satu tepatnya. Gifya membayar buku-buku tersebut kemudian pergi ke toko ice cream, memesan mint choco favorite nya dan memilih tempat paling pojok menghadap jendela. Pemandangan sore hari yang terasa menenangkan ditemani ice cream dan buku yang baru ia beli.

Gifya membuka buku yang sedari tadi menarik perhatiannya, tak perlu menunggu waktu yang lama ia sudah larut ke dalam cerita yang ia baca. Berbagai ekspresi ia ditunjukkan seolah-olah ikut merasakan apa yang terjadi di dalam cerita.

Ia menghapus air matanya yang menetes, dadanya terasa sakit membaca kalimat demi kalimat yang ia baca, "Gue kalo jadi elo kabur sih daripada tinggal di rumah yang seperti neraka itu.." monolognya

"Permisi.."

"Mbak?"

Gifya mengerjapkan matanya ketika tangan seseorang melambai ke wajahnya, ia menolehkan kepalanya dengan bingung pada laki-laki asing tersebut. Buru-buru ia tersadar, menghapus wajahnya yang basah dan mengecek ponselnya guna mengirimi pesan pada grup tiga kembarannya.

"Maaf mas, kenapa ya?"

"Berhubung tempatnya udah penuh dan cuma nyisa depannya mbak, boleh nggak saya ikut numpang sebentar sebelum ada tempat yang kosong,"

Gifya menatap sekitar yang ramai, bahkan sudah penuh antriannya sampai keluar, ia menganggukkan kepalanya dengan canggung, saking fokusnya membaca ia sampai tak memperhatikan sekitar dan juga air matanya yang tiba-tiba turun, entah ada yang melihatnya atau tidak yang jelas Gifya malu untuk mengangkat wajahnya.

"Mbak gakpapa kah? Saya liat tadi nangis barangkali mau nangis lagi gakpapa kok.. anggap aja saya nggak disini,"

Gifya menggelengkan kepalanya sambil menunjukkan buku yang ia baca, "Lagi baca ini kok mas, gak ada apa-apa. I'm fine and thanks.." ucapnya menahan malu

Si pemuda hanya mengangguk dengan senyum mengembang, ia juga mengeluarkan komiknya, keduanya fokus membaca seakan tak ada orang ramai disekitarnya.

"Sekarang jam---" Gifya membulatkan matanya begitu melihat jam tangannya yang sudah menunjukkan pukul 18.30, gadis itu buru-buru memasukkan bukunya yang tadi baca. "Saya permisi dulu ya mas," gadis itu sedikit berlari keluar dari Mall

"Ehh mbak--- lah dia ngilang,"

***

Gifya merogoh saku jaketnya mencari kunci motor namun tidak ia temukan, mencoba bersikap tenang ia mengecek tasnya lalu saku yang ada di seragamnya bahkan sampai kantong kresek tempat novelnya berada. Namun tetap saja tidak ia temukan.

"Ify, lo kenapa ceroboh banget sih, terus ini gimana gue pulangnya," gadis itu berjongkok di depan motornya dengan tubuh memeluk lutut "Oke, ayo kita ingat-ingat lagi dimana terakhir kali lo bawa itu kunci,"

Keningnya berkerut mengingat kejadian-kejadian hari ini yang terjadi padanya, dari mulai pulang sekolah, mampir ke Gramedia lalu ke toko ice cream, namun ingatannya belum juga menemukan dimana kunci motor itu. "Oh no.."

Dering ponsel menyadarkan Gifya dari lamunannya, ia mengangkat panggilan video dari salah satu kembarannya.

"Mbak, lo dimana dah? Udah Maghrib juga masih kelayapan, lo tau nggak sih kalo hari gue punya--"

"Le, kunci motor gue ilang."

"HAH." Bukan hanya Falen yang terkejut di seberang sana namun ternyata ada tiga kembarannya tengah berkumpul di kamarnya

Mata Gifya membulat sempurna. "RHEAN BANTAL GUE!" Gadis itu buru-buru menutup mulutnya ketika tersadar ia berada di basement, lagi dan lagi Gifya meruntuki tingkah bodohnya.

"Saran gue mending elo ke tempat satpam deh daripada--"

Panggilan dimatikan sepihak saat seseorang menepuk pundaknya, Gifya berbalik badan dengan posisi kuda-kuda, menjaga dirinya sendiri.

"Saya nggak mau berantem kok mbak, cuma mau ngembaliin kunci motor punya mbak, ini bukan?" Laki-laki itu menunjukkan kunci motor dengan gantungan keropi pada Gifya

"Alhamdulillah ya Allah Gusti," pekik Gifya menerima kunci motor yang jadi beban pikirannya saat ini, untung saja ia tak kelepasan sujud syukur. Gifya tersenyum menatap laki-laki tersebut. "Makasih ya mas, hari ini mas jadi penyelamat saya dari amukan ketiga kembaran saya,"

"Eh, Mbak kembar-- empat?" Ucapnya ragu, saat Gifya mengangguk barulah ia percaya. "Kuatnya ya ibunya Mbak,"

Gifya mengangguk pelan, matanya menatap gantungan kunci motor yang ia pegang, boneka keropi pemberian Maminya, "Sangat kuat mas, untung sesar. Jadi nggak terlalu menyusahkan," ucapnya

"Gakpapa asalkan lancar semuanya,"

Gifya mengangguk saja, toh memang kelahirannya lancar. Ia melirik kembali jam tangan miliknya. "Saya duluan ya mas, sekali lagi makasih bantuannya dan maaf merepotkan," entah kenapa Gifya malah membungkukkan badannya sebelum naik ke motor miliknya "Saya duluan ya mas, mari.."

***

Gifya memarkirkan motornya ketika adzan Isya berkumandang, ia mencubit pipi gembul si bungsu yang tengah memakan cokelat. "Kakak yang lain kemana, dek?"

"Lagi berebut air wudhu, Adik mau lagi cokelatnya boleh tidak?"

Gadis itu mengambil tempat disamping Seanne yang menatapnya dengan wajah berharap, sangat sulit baginya untuk berkata tidak. Akhirnya ia mengangguk membuat Seanne segera berlari ke dapur.

"KAK YADEN ITU COKELAT MILIK ADIK, JANGAN DIAMBIL, KAKAK!"

Gifya meringis mendengar teriakan melengking dari adik bungsunya itu, mau tak mau ia ke dapur sebelum terjadi keributan. "Yaden, Adiknya jangan--"

"KAK ALI, ITU PUNYA ADIK! KEMBALIKAN!" Seanne melompat-lompat merebut cokelat yang ada di tangan Lingga sementara Ryden sibuk membuka kaleng minuman

"Mbak tau nggak? Hari ini Adik udah banyak makan permen, masa malam-malam gini mau makan cokelat, nanti Daddy pulang terus marah loh," Lingga mencubit pipi adik bungsunya itu

Seanne menundukkan kepalanya dengan tangan saling bertaut, ia takut Gifya marah padanya. "Mbak, maafkan Adik, cokelatnya enak jadi Adik tidak bisa berhenti makannya,"

Gifya memijat pelipisnya, gadis itu memejamkan matanya ketika wajahnya terkena cipratan air oleh Rheana. Ia mengelap wajahnya dengan lengan Hoodie yang masih ia pakai.

"Sholat guys, jama'ah. Raden jadi imam!" Kata Rheana berjalan menuju ke mushola keluarga

"APA-APAAN? ENGGAK MAU AKU!"

Lingga merangkul bahu sang kembaran, "Sesekali nggak papa kok, gue mulu bosen. Kita harus berbagi pahala, jadi ayo wudhu!" Ia mendorong bahu Ryden untuk segera berwudhu

Gifya menghela nafas menatap Seanne yang masih menundukkan kepalanya, "Adik sikat gigi abis itu wudhu, kita sholat berjamaah ya?"

Falen menarik lengan Seanne begitu sang adik mengikuti langkah Gifya, diam-diam gadis itu memasukan sebuah cokelat ke saku celana yang dipakai sang adik. "Dari Kak Rhean, katanya nanti sikat gigi lagi yaa,"

Setelah mengatakan itu Falen buru-buru pergi namun langkahnya terhenti ketika Rheana muncul dibalik tembok.

"Bagus ye, jual nama kembarannya sendiri. Usaha kek, tsundere banget sih lu!" Ia mendorong tubuh Falen masuk ke dalam ruangan berukuran sedang yang Gama buat khusus untuk sholat

"Apa sih?"

"Gue doain bego beneran mampus lu!" Kesal Rheana memakai mukenanya, namun harus berhenti karena tiba-tiba Lunar memukulnya dengan mukena milik gadis itu "GAK USAH NGAJAK PERANG LU YE!"

Dan berakhirlah ketiga gadis kembar tak identik itu berlarian dengan mukena yang dijadikan alat untuk berperang, Gifya yang baru selesai wudhu hanya mengelus dadanya dengan sabar.

"Mbak, nggak ada niatan jual kakak kembar ke pasar loak gitu? Barangkali Mbak capek jadi kembaran mereka, Yaden yang liat aja capek banget jujur,"

Gifya terkekeh, ia menyuruh ketiga kembarannya untuk diam apalagi ketika melihat Falen berlarian makin kesal lah dia. Ia menjewer telinga kembarannya itu dan menyuruhnya untuk duduk. "Udah tau masih sakit bertingkah aja! Gue heran banget sama lo, Lele!"

"Gabut, Mbak.."

"Orang sakit mah tiduran bukan bikin huru-hara!"

"Udah dibawa ke rumah sakit kok, bentar lagi juga sembuh kali,"

"Lu ngapain aja sih? Bertingkah mulu jadi orang, nggak tau kah kalo kita juga ngerasain nyerinya?"

"Iya, iya! Ampun buset dah.. nggak lagi-lagi kok, serius! Besok gue bakal diem di rumah kok, janji."

"Kalo elo nggak banyak tingkah sembuhnya bakal cepat, tapi elu tuh hihhhh---" Gifya tak melanjutkan ucapannya, kepalang kesal dengan kembarannya yang satu itu

Falen meringis, menepuk-nepuk tangan Gifya agar mau melepaskan jeweran di telinganya. Gadis itu melirik kedua kembarannya yang sudah tertawa terpingkal-pingkal di sudut ruangan.

Lingga mengangkat tangannya begitu ketahuan Falen tengah menahan tawa, "Ai nggak ikutan, suwer!"

Gifya menarik nafasnya, menatap satu persatu saudaranya, minus satu karena Yasha mengabarkan akan menginap di apartemennya. "Karena Kak Yash nggak pulang malam ini jadi tolong banget jangan bertingkah, Una juga! Lo yang paling tua jadi tolong kerjasamanya,"

Lunar mengangguk-anggukkan kepalanya, Gifya mode Mbak begini membuatnya ketar-ketir. "Oke adik-adik ayo kita sholat abis itu makan malam,"

"Makan apa? Adik mau burger,"

"Oke fiks, kita beli daging dulu karena dagingnya abis," ucapan Lunar membuat kecewa si bungsu

"Gakpapa Adik, kita gofood aja," ucap Assel membuat senyum Seanne terbit

Gifya menghela nafas panjang, ia lupa mengecek kulkas sebelum berangkat tadi. Ia menatap Lunar yang juga menatapnya. Kembaran beda 5 menitnya itu menepuk-nepuk pundaknya

"It's okay, kita beli setelah sholat nanti, gue temenin." Ucap Lunar

Adakalanya sulung dari kembar empat itu cukup paham situasi dan itu membuat Gifya merasa bersyukur. Sesuai kesepakatan dua kembar paling tua itu pergi ke supermarket terdekat.

"Malam ini cerah, gue harap suasana hati kita juga cerah besok pagi,"

"Ify, jangan sungkan-sungkan ya kalo mau cerita. Una sesak banget rasanya,"

Gifya meringis mengingat tingkahnya, ia hanya menganggukkan kepalanya saja. "Una juga."

🍁🍁🍁

次の章へ