Apabila Kalam Hikmah yang lalu membcrikan pengertian tentang nikmat lahir dan nikmat batin sejalan adakala bcrbarengan atau tidak, yakni nikmat lahiriah saja yang ada, atau nikmat batiniah saja. Dan sering kita lihat bahwa nikmat duniawi dapat mdupakan hubungan batiniah dengan Allah s.w.t. Tetapi pada kebalikannya inilah yang perlu ditekankan oleh Imam Ibnu Athaillah Askandary dalam Kalam Hikmahnya yang ke-84 sebagai bcrikut:
"Manakala Allah membukakan kepada anda pintu kefahaman pada larangan, niscaya kembalilah larangan itu merupakan hakikat pemberian."
Kalam Hikmah ini pengertiannya sebagai berikut:
I. Allah s.w.t. kadang-kadang memberikan pengertian kepada hambaNya, bahwa Dia tidak memberikan nikmat duniawi kepada hambaNya, artinya tak lain tak bukan karena Allah itu sayang kepada hambaNya. Andainya jika Tuhan tidak membukakan yang demikian itu tentu Dia tidak menghentikan nikmat duniawi itu.
Misalnya saja kita sakit dan lain-lain. Apabila kita fahami halus-halus, mengapa kita disakitkan oleh Allah s.w.t.? Tentu ada hikmahnya.
Mungkin hikmahnya supaya kita ingat kepadaNya disebabkan kita selama ini sering lupa kepadaNya. Dan hikmah-hikmah yang lain di mana semua itu apabila kita fahami tak dapat tidak kita harus bersyukur kepadaNya. Karena pada hakikatnya sakit itu bukanlah merupakan bala dari Allah s.w.t., tapi merupakan pemberianNya dan kurniaNya.
II. Dengan pengertian yang demikian itu berarti terbukalah hati kita, bahwa Allah s.w.t. ingin mengembalikan kita kepadaNya, dan hendak menghubungkan kita agar kita dekat kepadaNya, asal saja kita ridha dengan ketentuan-ketentuan yang telah ditentukan olehNya.
Ridha adalah kunci dari semua kebaikan, dan ridha menurut Abdul Wahid bin Zaid, seorang alim besar tasawuf, adalah pintu gerbang Allah yang agung, dan tempat istirahat hamba-hambaNya yang saleh. Dan ridha juga merupakan Syurga dunia.
Betapa tidak dengan ridha Allah kita dapat mengatasi kesulitan yang terjadi. Dengan ridhaNya tenang hati kita menghadapi segala kesukaran. Dan dengan ridha itu pula hati kita tenang dalam menghadapi hidup dan kehidupan.
Menurut kata Abdul Wahid bin Zaid, bahwa ia telah mendengar gurunya Al-Ustaz Abu Ali Ad-Daqqaq berkata: Seorang murid berkata kepada gurunya dengan pertanyaan berikut: Adakah manusia itu mengetahui bahwa Allah s.w.t. ridha kepadanya? Guru itu menjawab:
Tidak! Bagaimana manusia itu akan tahu yang demikian sebab ridha Tuhan tersembunyi dan tidak dapat dilihat oleh hambaNya ...."
Kemudian murid yang wali Allah itu bertanya sendiri: Bagaimana manusia itu pada hakikatnya dapat tahu? Lantas murid itu menjawab, apabila aku mendapatkan hatiku ini ridha kepada Allah s.w.t. maka tahulah aku bahwa Allah ridha kepadaku. Lantas guru itu berkata: Betul anda, hai muridku!
Dari ini dapat kita ketahui bahwa untuk menentukan atau memastikan apakah Allah s.w.t. itu ridha kepada kita atau tidak, jawabannya adalah pada kita. Yakni jika kita menerima segala ketentuan Allah tidak ada sesuatu yang tidak baik, tetapi semuanya adalah baik; miskin baik, sihat baik dan sakit pun baik. Pendeknya apa saja, anggaplah dan yakinilah bahwa semuanya itu adalah pemberian Allah s.w.t. Terimalah semuanya itu dengan dada yang la pang, tetapi yang penting hubungan kita dengan Allah selalu terjalin dengan kuat. Dan bagaimana akal kita supaya hubungan itu bertambah dekat, jangan bertambah jauh apalagi jika hubungan itu putus, na'udzubillahi min dzalik.
Kesimpulan:
Apabila Allah membukakan hati kita untuk faham pada hakikat kurniaNya, maka jadilah segala sesuatu apa pun saja sifatnya, baik positif maupun negatif, adalah pemberianNya dan kumiaNya. Sebab segala-galanya itu mengandung hikmah-hikmah yang baik apabila kita fikirkan halus-halus. Tidak ada ketentuan Allah yang jelek, terkecuali bagi orang yang tidak beriman. Mungkin pandangannya demikian. Dan tidak demikian bagi orang-orang yang betul-betul beriman.
Mudah-mudahan keimanan kita bertambah kuat.dan keislaman kita bertambah mantap.
Amin, ya Rabbal-'alamin!