Kalam Hikmah yang lalu menggambarkan pada kita, bahwa zikir atau meninggalkannya adalah perputaran antara hati yang hidup dan hati yang mati. Dan apabila hati itu telah mati, maka yang jelek jadi baik dan lupalah manusia pada kejelekan sesuatu yang jelek.
Kemudian untuk mengetahui sebagian tanda atas kematian hati manusia, yang mulia Al-Imam Ibnu Athaillah Askandary telah merumuskannya dalam Kalam Hikmah beliau yang ke-48, sebagai berikut:
"Sebagian tanda-tanda kematian hati ialah tidak gundah dan susah atas sesuatu yang telah luput ia pada anda (manusia), berupa segala sesuatu yang bersesuaian (dengan perintah atau anjuran agama Allah s.w.t. ). Dan meninggalkan penyesalan atas sesuatu yang telah anda kerjakan dari segala hal yang tidak baik."
Kalam Hikmah ini mungkin mudah kita membacanya, tetapi terjemahannya saja sudah memerlukan kita harus mengetahui sebahagian istilah-istilah Tasawuf yang terkandung di dalamnya. Tanpa mengetahui istilah-istilah itu, maka sulitlah bagi kita untuk memahami pengertian-pengertian yang sebenarnya. Untuk itu marilah kita terangkan pengertian-pengertian yang terkandung dalam Kalam Hikmah. ini.
I. Bagi orang-orang yang sedang berjalan dengan amal ibadahnya menuju keridhaan Allah s.w.t., mendekatkan dirinya kepada Allah dan menambah makrifatnya tentang Ketuhanan Allah Yang Maha Esa, adalah syarat yang terpenting bagi orang itu supaya hatinya selalu hidup.
Hidup yang dimaksudkan di sini bukan hidup jasmaniah tetapi hidup hati dalam sifat maknawiyah atau rohaniah. Atau dengan pengertian lain, bahwa hati itu hid up dengan keimanan yang mantap kepada segala sesuatu yang wajib diimani. Karena itulah maka Al-Imam Ibnu Athaillah menerangkan kepada kita, bahwa hati yang hidup dengan keimanan itu ialah hati yang sudah gundah-gulana, apabila yang punya hati sendiri meninggalkan perintah-perintah Allah s.w.t., apalagi menentang dan berlawanan denganN ya. Hati yang hidup adalah hati yang merasa pedih dan pilu apabila yang punya diri mengerjakan maksiat-maksiat, tetapi hati yang hidup akan senang sekali apabila dirinya mengerjakan perbuatan-perbuatan yang diperintahkan atau yang dianjurkan Allah s.w.t.
Bahkan hati itu sendiri mencari-cari segala sesuatu yang diridhai oleh Allah s.w.t. Karena itulah apabila hati sudah tidak merasakan pedih dan pahit, maka hati itu akan lari daripadaNya. Inilah yang menyebabkan, bahwa yang punya diri telah mengerjakan laranganlarangan agama, maka hatinya yang hidup dalam arti tersebut di atas akan menyesali perbuatan-perbuatan yang tidak baik itu.
Sebagai dalil bagi keterangan di atas, dapat kita lihat adanya perbcdaan antara manusia yang hidup dengan manusia yang mati.
Manusia yang hidup dapat merasakan segala-galanya. Dapat merasakan kesenangan, maka gembiralah ia, dan dapat merasakan kepahitan dan kesakitan, maka gundahlah ia dan menyesallah ia atas yang tidak baik itu. Tetapi manusia yang mati tidak dapat merasakan segalagalanya, tidak merasakan kesenangan, tidak merasakan kegundahan dan tidak ada padanya penyesalan apa-apa. Kalaulah demikian, maka demikian pulalah hati manusia dengan perbedaan antara hati yang hidup dan hati yang mati.
Di dalam Hadis Rasulullah s.a.w., yang diriwayatkan oleh Thabrani dari Abu Musa r.a., Nabi kita telah bersabda tentang membayangkan hati yang hidup dan hati yang mati, beliau bersabda:
"Barangsiapa yang menggembirakan akannya oleh kebaikannya dan menyusahkan akannya oleh kejahatannya, maka orang itu ialah orang yang beriman."
Maksudnya, apabila kita mengerjakan amaliah yang baik menurut agama kita, maka senang hati kita, lega perasaan kita dan gembira kita karenanya.
Maka kita adalah orang yang beriman kepada Allah s.w.t. Dan juga apabila kita mengerjakan sesuatu yang tidak baik, seperti mengerjakan larangan Allah, maka hati kita sempit, kita susah karenanya dan selalu dalam resah-gelisah, maka kita adalah orang yang beriman.
Tetapi apabila kebalikannya, yakni dengan mengerjakan amal kebajikan tidak la pang hati kita karenanya, seperti berwaqaf a tau bersedekah atau memberi makan fakir miskin, terasa oleh kita harta kita kurang jadinya atau memberikan sesuatu tanpa faedah, maka kita adalah orang munafik.
Demikian pula dalam mengerjakan maksiat, apabila hati kita merasa senang menghadapinya, apalagi kalau hati kita telah ingin dan kecanduan, maka berarti hati kita sudah mati semati-matinya. lnilah pertanda bagi kita, bahwa amal kebajikan adalah tanda atas adanya ridha Allah s.w.t. atas kita dan amal kejahatan adalah tanda atas kemarahan Allah s.w.t. pada yang mengerjakannya.
II. Apabila Allah s.w.t. telah memberikan taufiq kepada kita untuk amal saleh, maka Allah menggembirakan hati kita pada menghadapinya dan pada mengerjakannya. Sebab Allah telah ridha atas kita, dan karena itu hati kita pun selalu berhadap kepadaNya di samping perbuatan kita mengikuti tujuan kehendak hati kita.
Harap kepada ridha Allah menimbulkan kita mengerjakan taat, baik yang bersifat perintah maupun yang bersifat sunnah atau anjuran. Tidak terjadi bagi orang yang hatinya selalu mengharap keridhaan Allah, meninggalkan taat dan tidak ada susah dan gundah, apabila ia mengerjakan maksiat dan meninggalkan taat. Jadi hati yang hidup tidak sunyi pula dari hara pan kepada Allah s.w.t.
Apabila berbicara tentang Rajaa' atau mengharap kepada Allah, maka hal tersebut terbagi atas tiga bagian:
[a] Orang yang mengamalkan amal kebajikan, orang itu mengharapkan semoga amalnya itu diterima oleh Allah s.w.t.
[b] Orang yang mengamalkan a tau mengerjakan pekerjaan yang tidak baik, kemudian ia kembali bertaubat dan memohonkan keampunan Allah s.w.t. Hatinya selalu berharap atas keampunan Tuhan.
[c] Orang yang selalu mengerjakan dosa dan terus dalam mengerjakan dosa, tetapi hati kecilnya berkata, bahwa aku pun mengharapkan keampunan Allah s.w.t. Orang ini apabila ia mengaku bahwa dirinya telah berdosa, maka sepantasnya takutnya kepada Allah s.w.t., harus lebih kuat daripada harapannya kepada rahmat Allah. (Lihat Kitab Karim bin Hawazin bin Abdul Malik bin Thalhah Al-Qusyairi An-Naisaburi Asy-Syafi'i, lahir pada tahun 336 H. dan meninggal pada tahun 465 H.; pada halaman 68, cetakan kedua, tahun 1959 M/1379 olch Mathba'ah Mustafa! baabil halabi Mesir.)
Apabila Allah s.w.t. belum memberikan taufiq pada kita dalam mengerjakan amal saleh, lantas kita mengerjakan kemaksiatan, maka gundah hati kita karenanya, sebab hal ini merupakan tanda kemarahan Allah atas kita.
Dengan sebab itu, maka takut kita kepadaNya akan bertambah-tambah dalam hati kita.
Ini adalah suatu tanda kebaikan yang cerah pada kita. Sebab takut kepada Allah menjadikan kita harus dengan sangat menjauhkan segala perbuatan maksiat dan segala tindak-tanduk yang jahat. Tidak diterima akal menurut kebiasaan, orang yang mengerjakan maksiat tidak ada penyesalan dalam hatinya, sedangkan hatinya takut kepada Allah s.w.t. Cuma apabila kejadian juga yang demikian, hatinya tidak putus asa kepada rahmat Allah s.w.t., dan timbul harap dalam hatinya, bahwa Allah akan mengampuni segala dosanya.
III. Bagi orang yang beriman yang betul-betul beriman, hatinya pasti hidup dan tidak mati. Artinya dalam hatinya berkumpul dua hal yang tidak dapat tidak harus ada padanya.
[a] Perasaan takut kepada Allah s.w.t., kalau-kalau Tuhan bertindak apakah amal ibadahnya tidak diterima oleh Allah atau dosa-dosanya tidak diampuni olehNya. Dan ini terus menjadi buah fikirannya. Sebab itu ia berhati-hati sekali bagaimana ia menjauhkan segala yang tidak diridhai Allah s.w.t.
[b] Perasaan yang selalu mcngharapkan rahmat Allah s.w.t., dengan pengertian mudah-mudahan Allah Ta'ala mengampunkan dosa-dosanya, atau dengan pengertian lain, semoga ia tidak putus asa kepada rahmat Allah s.w.t. Perasaan takut dan mengharap rahmat Allah menurut ulama Tasawuf Abu Ali Ar-Ruzbary adalah laksana dua sayap burung, apabila sama kedua sayapnya, maka burung itu baik dan sempurna apabila dia terbang. Dan apabila salah satu dari dua sayapnya kurang, maka terjadilah kekurangan pada burung itu sehingga ia tak dapat terbang. Dan apabila hilang kedua sayapnya, maka jadilah ia burung yang mati, tak ada artinya sama sekali. (Lihat Ar-Risalatul Qusyairiyah, hal l68.)
Kesimpulan:
1. Hati yang mati adalah hati yang tidak gundah, apabila tidak mengerjakan keridhaan Allah, dan tidak menyesal pada waktu menghadapi dan mengerjakan larangan-larangan Allah.
2. Hati yang hidup adalah kebalikan dari hal di atas dan pada hakikatnya pada hati yang hidup mengandung Nur Ilahi, tetapi nur-nur Tuhan itu pada umumnya tidak dapat dirasakan dan ditangkap oleh perasaan, apalagi oleh pancaindera, disebabkan masih banyak debu pada hati yang merupakan hijab dan dinding yang masih tebal dan gelap antara kita dengan Allah s.w.t. Selain kita cuma dapat melihat sebagian tanda-tandanya saja ialah timbul gembira dalam hati apabila mengerjakan taat dan timbul susah dan takut dalam hati apabila mengerjakan maksiat. Hal keadaan ini tepat seperti apa yang dibayangkan oleh lbnu Mas'ud, sebagai berikut:
"Orang mukmin melihat ia akan dirinya dari dosa-dosanya seolah-olah ia duduk di bawah bukit di mana ia takut kalau-kalau bukit-bukit itu jatuh di atasnya. Dan orang munafik melihat ia akan dosa-dosanya laksana lalat-lalat yang menghinggap pada hidungnya, mudah untuk menghalaunya dengan jari telunjuknya saja."
Maksud dari perkataan Ibnu Mas'ud salah seorang sahabat Nabi seperti tersebut di atas, ialah tentang perbedaan antara orang-orang yang betul-betul beriman, karena itu hatinya hidup dan orang-orang yang belum betul-betul ada keimanan pada hatinya, maka ia masih dianggap munafik, karena hatinya mati. Perbedaannya orang-orang yang betul-betul beriman apabila ia berdosa seolah-olah ia duduk di lembah di mana hatinya selalu diselubungi oleh perasaan takut kalaukalau bukit itu ntenimpa dirinya.
Tetapi orang Muslim yang hatinya mati menganggap dosa-dosa yang ia kerjakan laksana lalat-lalat yang beterbangan di atas hidungnya atau yang hinggap atas hidungnya dan ia yakin, bahwa ia dengan mudah akan dapat menghalau lalat-lalat itu.
Demikianlah perasaannya yang begitu ringan dan tipis, tidak gundah dan tidak takut, tetapi masih terus tenang-tenang saja dalam menghadapi dosa-dosa dan mengerjakan dosa-dosa itu.
Demikianlah tafsiran dari Kalam Hikmah Al-Imam Ibnu Athaillah Askandary mengenai hati yang mati dan sebahagian tandatandanya yang dapat kita tangkap dengan mudah dan selalu terjadi pada diri setiap kita selaku manusia.
Mudah-mudahan kita selalu dipimpin oleh Allah s.w.t., dan jadilah kita hendaknya orang-orang yang betul beriman kepadaNya, sehingga hati kita hidup dalam menjalankan keridhaanNya, dan tidak mati hati kita seperti hati orang-orang yang munafik yang belum betul-betul beriman kepadaNya.
Insya Allah, wana'udzubillah.