Sudah kita maklumi sebelumnya, bahwa kita tidak baik berteman dengan manusia yang keadaannya tidak membangunkan kita dan juga perkataannya tidak menunjukkan kita kepada jalan Allah s.w.t.
Untuk mengetahui tanda "keadaan yang membangunkan itu" ialah kita harus mencukupi dengan segala sesuatu yang telah dikurniakan Allah kepada kita di samping kita yakin dan percaya kepadaNya.Untuk mengetahui tanda cukup atau tidak cukup seorang makhluk dengan kurnia Allah di samping percaya kepada rahmatNya, maka yang mulia Ibnu Athaillah Askandary telah berkata dalam Kalam Hikmahnya yang ke-45 sebagai berikut:
"Tidak (dianggap) sedikit amal yang keluar dari hati yang zuhud, dan banyak amal yang keluar dari hati yang gemar (pada dunia)."
Kalam Hikmah ini sangat pendek, tetapi mengandung arti yang dalam.
Pengertiannya sebagai berikut:
Apabila kita ingin mengukur, apakah pahala atau nilai amal ibadat kita banyak atau sedikit, maka hendaklah kita lihat pada bagaimana niat hati kita ketika mengerjakannya. Apabila hati kita zuhud dari dunia yang fana ini, maka ibadah yang kita kerjakan meskipun sedikit dan tidak banyak menurut penglihatan kita, tetapi pada hakikatnya menurut Allah s.w.t. nilainya sangat tinggi dan pahalanya amat banyak.
Yang dimaksud dengan istilah "zuhud" dalam ilmu Tasawuf ialah:
"Dingin dunia ini pada (perasaan dan pandangan) hati."Maksudnya ialah, hati kita tidak terpengaruh pada dunia bagaimanapun nilainya dan cahaya gemerlapannya.
Keadaan ini disebabkan karena sangat percaya hati kita kepada Allah s.w.t. dengan kasih sayangNya yang diiringi dengan kurniaNya yang melimpah-limpah. Dengan kepercayaan demikian maka hatinya selalu tenteram dan selamat dari was-was syaitan dan hawa nafsu. Waktunya terpelihara, sehingga amal ibadah yang dikerjakannya tidak pernah meleset dari waktu-waktu yang baik dan berfadhilah, dan semua waktunya penuh dengan perbuatan-perbuatan yang bersifat mencari keridhaan Allah s.w.t.
Maka orang yang begini halnya, pasti hatinya sejalan dengan ibadah lahiriah yang dikerjakannya.
Itulah arti zuhud. Jadi bukanlah mengharamkan yang halal dan benci pada harta. Bukan. Tetapi menurut Hadis Nabi ialah: Bahwa dengan kekuasaan Allah dan kurniaNya, anda harus lebih yakin daripada apa yang anda banggakan pada diri anda sendiri.
Oleh karena pahala dan nilai amal ibadah yang bersumber dari kezuhudan hati itu lebih banyak dan tinggi nilainya, maka sahabat Nabi s.a.w. Ibnu Mas'ud r.a telah berkata:
"Dua rakaat sembahyang dari seorang alim yang zuhud lebih baik dan lebih di sisi Allah daripada ibadat orang-orang yang beribadat yang berusaha dalam ibadatnya hingga ke akhir masa selama-lamanya."
Untuk lebih memperdalam pengertian tentang hakikat zuhud ini dapat kita pelajari pendapat Syeikh Abul Hasan r.a. sebagai berikut:
"Aku lihat temanku yang sangat dipercaya dalam mimpiku, temanku itu berkata: Adakah anda ketahui, apakah tandanya keluar dunia dari diriku?"
Aku jawab: "Tidak!"
Teman itu berkata lagi: "Tandanya ialah, memberikan dunia pada ketika adanya, dan kita lega dan tenteram pada ketika tidak adanya."
II. Apabila amal ibadat yang kita kerjakan itu banyak, tetapi hati kita selalu bergantung dan bersangkut-paut pada dunia yang fana ini, maka akhlak tasawuf memutuskan, bahwa pahalanya sedikit dan nilai amal ibadah itu akan kurang, bahkan jatuh. Keadaan ini disebabkan karena amal ibadahnya itu sudah tidak ikhlas lagi, sebab keikhlasannya karena Allah semata-mata tidak ada padanya, disebabkan hatinya masih teringat pada dunia dalam arti yang luas.
Secara kasarnya dapat kita berikan contoh seseorang yang apabila ia mengerjakan ibadah, tiba-tiba dunianya mengganggu dia. Maka dunianyalah yang didahulukannya daripada ibadahnya. Karena itu banyak kita lihat di antara orang Islam meskipun ilmunya tentang keislaman sudah banyak, tetapi kadang-kadang ia mau meninggalkan sembahyangnya demi kepentingan pekerjaannya. Sebab menurut pendapatnya, apabila ia mengerjakan shalat pada waktu itu, maka dunianya akan rugi. Orang-orang yang seperti ini meskipun banyak ia beramal, dan kalaupun ia berpahala, maka pahalanya sangat sedikit. Atau sebagai gambaran dapat kita lihat pada seorang dosen agama yang mengajar ilmu agama bukan karena niat untuk menyampaikan amanat ilmunya seperti yang dikehendaki oleh ajaran agama tetapi karena mendapatkan honor, maka tentulah ia tidak akan mendapatkan pahala.
Dan apabila demikian jauh perbedaan antara amal ibadah yang datang dari hati yang zahid dengan amal ibadah yang datang dari hati yang gemar pada dunia, maka tentulah sangat jauh perbedaannya dalam pahala dan nilai antara amal-amal itu semua. Dalam hal ini patutlah Saiyidina Ali bin Abi Thalib r.a. berkata:
"Hendaklah kamu lebih mementingkan, agar Allah menerima amalmu. Karena amal yang demikian, tidak sedikit (pahala dan nilainya), asal saja disertai taqwa. Dan bagaimanakah akan dianggap sedikit amal yang diterima (oleh Allah s.w.t.) padahal Dia telah menggambarkan dengan banyak (pahala dan nilai) pada menyebut orang-orang beriman. Karena pada amalnya itu terdapat dalam kandungannya "ikhlas" dan tidak memperlihatkan pada manusia."
Berdasarkan pada perkataan Saiyidina Ali ini, maka firman Tuhan dalam surat Al-Ahzab, sebagai berikut:
"Wahai orang-orang beriman! Kamu ingatlah Allah dengan sebanyak-banyaknya." (Al-Ahzab: 41)
Artinya, apabila seseorang betul-betul telah mendalam keimanannya kepada Allah s.w.t., maka pasti apabila ia mengingat Allah dalam arti yang luas seperti dalam sembahyang, dalam berzikir, dalam membaca Al-Quran dan lain-lain sebagainya, maka ingatnya kepada Allah betul-betul ikhlas tidak bercampur riya', dan justeru itulah meskipun dia mengingat Allah, dalam amal ibadahnya tidak begitu banyak, tetapi dihitung banyak oleh Allah s.w.t. pada pahalanya dan pada nilainya. Tegasnya nilainya tinggi dan pahalanya banyak.
Berkata sebagian sahabat Nabi Muhammad s.a.w. pada beberapa Tabi'in yang terkemuka:
"Kamu (para Tabi'in), lebih banyak pada amal dan lebih rajin dari sahabat-sahabat Rasulullah s.a.w., padahal sahabat-sahabat itu adalah lebih baik daripada kamu. Ditanyakan: Dan kenapakah demikian? Sahabat menjawab: Adalah mereka dalam dunia lebih zuhud dari kalian."
Ini menunjukkan pada kita, bahwa sahabat-sahabat Nabi meskipun amal mereka tidak sebanyak amal Tabi'in dan manusia-manusia sesudahnya, tetapi pada nilai ibadah dan pahalanya, sahabat-sahabat Nabi lebih tinggi nilai ibadahnya dan lebih banyak pahala dari mereka. Soalnya adalah karena kezuhudan, yakni keikhlasan yang tidak bercampur riya'.
Kesimpulan:
Pengertian hakikat ikhlas yang sudah bercampur riya' yaitu, tidak ada dalam hati kita sebesar miang pun kecintaan kepada dunia melebihi dari Allah dan agamaNya. Apabila ada yang demikian meskipun sebesar atom, maka pastilah amal ibadah kita belum tinggi nilainya dan kita tidak mendapatkan pahala yang banyak.
Berkata Syeikh Abu Abdillah Al-Qurasyi r.a.: Telah mengadu sebagian manusia pada salah seorang ulama yang saleh. Dia mengatakan, bahwa dia selalu mengamalkan amal-amal kebajikan, tetapi dia tidak mendapatkan kemanisan (amal dan iman) dalam hatinya.
Maka laki-laki yang alim saleh itu menjawab: Sebabnya, karena bahwasanya di dekatmu ada puteri iblis, dan itulah dunia dan tak dapat tidak bagi si ayah (iblis) untuk menziarahi puterinya di rumah nya. Itulah hati anda. Dan tidak ada bekas masuknya sang ayah selain hanya menimbulkan kemalapetakaan.
Maksudnya, bahwa cinta pada dunia dapat dikatakan seperti anak perempuan iblis, dan apabila ini masih bersemi dalam hati kita, maka pastilah si iblis akan selalu mendatangi hati, dan hasilnya pun tidak lain selain hanya kebinasaan, kecelakaan dan malapetaka.
Alangkah bahagianya orang yang zahid, sebab ia nanti pada hari kiamat, Allah Ta'ala memberikan padanya nilai pahala para ulama dan hamba-hambaNya yang saleh yang selalu beramal dengan amal kebajikan. Dialah yang semulia-mulia ummat pada hari kiamat, bahkan pula pahala-pahala yang diberikan kepadanya dibagi-bagikan pula buat orang-orang yang beriman lainnya.
Mudah-mudahan kita dimasukkan Allah s.w.t., dalam jamaah yang bahagia ini dan terlindunglah kita dari segolongan manusia yang jauh dari kebahagiaan itu.
Amin, ya Rabbal-'alamin!