webnovel

15. Celah

Pulang malam harinya Indra menebak bahwa Gaska akan muncul untuk menjemputnya meski tidak menyangka bahwa dia benar-benar datang dengan berjalan kaki. Pak Hendi sedang tidak ada di tempat jadi Gaska menunggu di belakang counter.

Mata Indra yang tadinya agak berat langsung terang. Merasa aman karena ada yang membantu menjaga, Indra bisa tenang saat membersihkan bagian dalam.

"Kamu harusnya dapat bayaran lebih kalau sering jaga sendirian gini," komentar Gaska sambil memperhatikan kerja Indra.

"Minggu depan Dian sudah mulai shift malam," sahut Indra mulai mengelap etalase agar kinclong.

"Huh, Dian?"

"Selama ini dia kerja separuh shift siang separuh shift malam," Indra menjelaskan.

"Tumben ada cewek shift malam."

Indra memilih tidak mengoreksi bahwa Dian adalah laki-laki. "Kerjaanmu apa sudah beres?"

"Iya, sebagian besar. Nanti aku lanjutkan di rumah."

"Memang kerjaanmu apa?" Indra penasaran karena jadwal Gaska yang tidak menentu.

"Tergantung pesanan. Kadang mbangun rumah, resto, kantor..." Gaska bercerita dengan bangga.

"Dapat berapa sebulan?"

"Nggak pasti. Tapi paling sedikit sebulan sepuluh juta," Kali ini senyum Gaska tidak selebar sebelumnya.

"Banyak, ya, kukira kalau tukang bangunan dapat sekitar enam juta sebulan."

"Apa?!" Gaska yang agak kaget spontan bertanya.

"Setahuku kuli bangunan dapat antara lima sampai enam juta sebulan?" Indra balik tanya dengan bingung. "Ya, tapi apa nggak sayang kerja pakai kemeja bagus?"

Gaska sangat terkejut dengan banyak hal dia tidak tahu harus mulai darimana. Apakah Indra sengaja menggoda dirinya dengan bersikap polos atau memang selugu itu.

Apakah dia terlihat seperti pekerja konstruksi, seperti kuli bangunan, meski tidak ada yang salah juga dengan pekerjaan itu. Apa yang membuatnya berpikir dia bekerja sebagai tukang bangunan.

Gaska ingin melihat hal-hal dari sudut pandang Indra agar dia lebih memahami pria dengan seragam kafe itu.

Gaska tidak bertanya-tanya lagi hingga mereka tiba di rumah. Setelah memeriksa dapur, membereskan sedikit, membuang sampah, mematikan lampu, sekarang saatnya beristirahat. Indra jadi salah tingkah dengan Gaska yang diam sambil sesekali memperhatikannya. Dia bingung kenapa mereka jadi kikuk begini.

Gaska menghampirinya, tangannya meraih tangan Indra sehingga mereka bergandengan sepanjang menaiki anak tangga ke lantai dua. Sampai mereka berada di depan pintu kamar Indra. Indra tiba-tiba merasa malu dengan kelakuan Gaska yang seperti di sinetron.

Mungkin dia tidak akan malu kalau tergila-gila dengan sosok didepannya.

"Kalau sudah dapat uangnya, mau kau pakai apa?" Gaska penasaran dengan jawaban Indra yang sedari tadi berusaha menghindar.

"Mau aku simpan dulu, mungkin sebagian buat usaha. Aku belum yakin," Indra ingin segera masuk kamar dan menutup pintu tapi tidak bisa karena Gaska masih memegang tangannya dengan erat.

"Hmm, oke. Selamat malam, Indra," Gaska mendekat dan mencium pelipisnya sebelum mendorong tubuh Indra masuk kamar dan menutup pintu. Lebih dari ini dan dia khawatir mereka tidak akan istirahat semalaman.

. . .

Saat Indra bangun pagi itu untuk ibadah fajar, sayup-sayup dia mendengar suara musik. Rumah yang biasanya senyap terutama sepagi itu membuat Indra penasaran. Setelah ibadahnya selesai, masih memakai sarung, Indra keluar kamar mencari sumbernya yang ternyata berasal dari kamar Surya. Pintu kamar Surya sedikit terbuka tapi Indra tetap mengetuk agak keras dengan harapan pemiliknya dengar.

"Surya... Surya, kamu sudah bangun?" Panggil Indra.

Tidak ada yang menyahut, Indra membuka pintu lebih lebar untuk mencari tahu apa yang terjadi. Surya tidak ada disana, hanya musik yang dimainkan lewat komputer. Beberapa hari ini Surya jadi lebih pendiam dibanding biasanya, dan beberapa kali Indra melihatnya marah-marah saat di telepon.

Indra keluar kamar dan matanya tertuju pada ruangan mirip gudang dimana dia menemukan slip transfer beberapa waktu lalu. Pintu ruangan itu terbuka. Kaki Indra langsung bergerak kesana dan sekali lagi dia berdiri di ambang pintu.

Surya berada disana, terbaring terlentang di tengah ruangan penuh debu bersama barang-barang lain.

"Mas Indra?" Panggilnya tanpa bergerak. "Masuk, Mas."

Indra berjalan pelan ke samping remaja yang terlihat lebih kurus dari biasanya.

"Kenapa kamu disini, Surya? Nggak istirahat dulu? Masih ada sejam buat tidur." Indra duduk di sebelahnya.

Matanya tertuju pada koper berat yang isinya masih berantakan. Dia ingin mencari tahu barangkali ada sesuatu yang berhubungan dengannya. Tapi disisi lain, dia tidak mau berhadapan dengan kenyataan apapun yang ada disana.

"Nggak, Mas. Aku mau bolos aja hari ini. Nanti jadi ke Bank? Aku ikut, ya?"

"Iya, terserah. Nggak ada yang marahin, nanti? Ayahmu gimana?" Indra merasa aneh mengucap kata 'ayah' meskipun tidak ada hubungan dengannya.

Surya tertawa kecil, "Dia kan ayah Mas Indra juga. Ya, meski donor sperma aja..."

Kali ini Indra benar-benar tidak nyaman mereka membahas asal-usulnya sampai sedetil itu. Karena membayangkan ibuknya dengan orang lain..Indra tidak mau.. Ewww...

Saat itulah Indra mendongak dan melihat bingkai besar foto keluarga dipasang dilangit-langit. Ya Tuhan, pantas saja selama ini nggak ada satupun foto di rumah sebesar itu. Siapa yang menyangka ada disana. Indra pun memutuskan berbaring di sebelah Surya.

Ada banyak foto berbingkai disana. Tapi yang paling mentereng adalah yang ditengah, foto seorang wanita dan tiga orang pria, Surya, Gaska, dan seseorang yang sangat mirip Indra dengan wajah lebih tua dan rambut yang berbeda. Pikiran Indra bercampur aduk melihat orang itu. Dan wanita di sebelahnya dengan wajah cantik, mungil dan sangat anggun. Berbeda sekali dengan ib..

"Kenapa cuma kamu dan Gaska yang tinggal disini?" Indra memaksa dirinya melihat ke arah selain potret keluarga.

"Mama kena depresi berat, dia dan Ayah tinggal di tempat yang lebih tenang, di Surabaya."

"Kamu kenapa nggak pindah juga? Kamu nggak kuatir?" Saat Indra menengok ke arah Surya, remaja itu sedang melihatnya dengan tatapan yang membuat Indra merasa tidak nyaman seolah tidak tahu kenapa dia harus khawatir atau hal apa yang perlu dikhawatirkan.

"Ibunya Mas Indra orang yang gimana?" Surya balik bertanya. Saat Indra tidak menjawab dia bertanya lagi. "Ibu seperti apa sehingga Mas Indra jadi Mas Indra yang sekarang."

"Ibuk sudah meninggal. Sudah lewat seratus harinya. Dia nggak pernah bilang apa-apa kalau aku tanya tentang....dia. Ibuk itu pekerja keras, dia nggak berhenti kalau nggak sakit. Dan sebisa mungkin nggak utang. Kalau nggak punya uang ya nggak beli daripada utang."

"Terus, alamat ini Mas dapat dari mana?"

"Ada di barang punya Ibuk, pas aku bongkar-bongkar."

"Hmm... Apa mungkin Papa dan Ibuk ketemuan sebelumnya?"

Indra memilih untuk tidak menjawab pertanyaan itu. Setahu dirinya, mereka tidak pernah bertemu, lama-kelamaan dia tidak ingin bertanya apapun tentang asal usulnya. Dirinya sudah merasa aneh tiba-tiba menyebut seseorang sebagai 'ayah', sekarang Surya pun memanggil ibunya dengan sebutan 'ibuk'.

"Aku tahu dari Gaska kalau ada Mas Indra. Gaska sering cerita kalau dia habis lihat Mas Indra. Tapi tiap aku minta diajak, dia nggak pernah mau."

Indra yang kaget dengan pernyataan Surya, duduk dan melihat ke arah remaja yang masih berbaring itu.

"Gaska tau aku? Sejak kapan?"

Surya terlihat bingung. "Sudah lama, Mas. Mas Indra nggak tahu? Gaska nggak cerita ke Mas Indra?"

Surya kembali mencoba menjelaskan "Sudah lama, Mas.. dia pernah cerita kalo Mas Indra bolos sekolah buat jualan koran... Kalo sore bantu jualan gorengan... Apa Gaska bohong, Mas?"

Bolos buat jual koran? Itu pernah dilakukannya waktu SD, biasanya buat tambahan beli perlengkapan praktek di sekolah. Cukup lama juga mereka berjualan gorengan tiap sore sampai malam. Kalau Gaska tahu sejauh itu dan mengenal dirinya selama itu, kenapa dia tidak tahu Gaska? Apa itu alasannya dia yang transfer dan bukan...ayah mereka?

"Terus, Gaska bilang apa lagi?" Tanpa dia sadari, suaranya meninggi dan membuat Surya takut.

"Bilang apa? Ya cuman bilang kalau habis lihat Mas Indra lagi kerja aja. Memang mau bilang apa lagi?"

Ya Tuhan, mohon berikan kesabaran pada hambaMu, Ya Tuhan... Karena jika Kau berikan kekuatan, aku takut tidak bisa mengendalikan diriku dan menghancurkan rumah ini... Pinta Indra dalam hati.

Kepala Indra berdenyut-denyut.

Tiba-tiba saja dia jengkel sekali dengan Gaska, dengan ibunya, dengan ayahnya Surya, dengan keadaannya saat ini. Mereka semua seolah saling tahu dan menyembunyikan dari dirinya.

Kenapa cuma dia yang tidak tahu?

Bahkan Surya saja yang masih sekolah, tahu garis besar keadaan masing-masing.

Apa ibunya sengaja melakukan ini, tapi untuk apa?

"Gimana kalau Mas Indra tanya Gaska aja biar lebih jelas?" saran Surya yang melihat Indra yang seperti kehilangan arah.

Indra menatap ke arah pintu sebelum berdiri.

"Kamu tidurlah dulu, nanti aku bangunkan kalau mau berangkat." ujar Indra tanpa melihat ke belakang.

Ada banyak pertanyaan dalam hati Indra. Dan Gaska berjanji untuk menjawab semua itu.

Tanpa mengetuk pintu, Indra membuka pintu kamar Gaska yang dalamnya gelap gulita. Hanya ada pendar lemah dari jam digital yang layarnya menghadap ke bawah. Indra menyalakan lampu setelah menutup pintu. Seketika ruang kamar Gaska menjadi terang dan sosok yang dicarinya tengah tersembunyi di bawah selimut tebal.

Indra ingin membangunkan sosok yang tengah tertidur pulas itu dengan brutal, menarik selimut dengan kasar, lalu menendang perutnya dan menjotos kepalanya sampai jontor, setelah itu Indra akan menjambak rambut Gaska sampai botak dan dia memohon-mohon ampun dengan berurai air mata.

"Kau," panggil Gaska yang ternyata sudah terbangun selagi Indra sedang membayangkan bermacam cara untuk menyiksa pria di depannya itu. Mata Gaska yang memicing dan melotot terlihat seram, belum lagi rambutnya yang berantakan menambah kesan sangarnya.

"Bangun, sudah siang!" Indra memajukan dagu dan membusungkan dadanya sambil setengah membentak.

"Berani masuk kesini..." Seolah tidak peduli dengan perkataan Indra, Gaska melanjutkan monolognya sambil duduk di pinggir dipan "...pakai sarung..."

"Apa?! Kau berani denganku, Hah?!" Tantang Indra dengan suara makin meninggi.

Gaska menyeringai lalu berdiri. Selimut yang tadinya masih menutup hampir seluruh tubuh Gaska telah jatuh ke lantai sebagai gundukan tak berguna.

Mata Gaska tidak sedetikpun meninggalkan sosok Indra yang terlambat menyadari kesalahannya. Secepat kilat Indra langsung berbalik dan membuka pintu namun masih kalah cepat dengan tangan Gaska yang terjulur dan menutup pintu sebelum Indra sempat melangkah keluar.

Indra teringat pernah mengalami kejadian seperti ini sebelumnya. Dia mengutuk kebodohannya membangunkan macan mesum yang sedang tidur.

"Iya, aku mau memastikan kamu nggak lupa janjimu ke Bank," Indra mengelak. "Surya mau ikut."

"Surya? Apa hubungannya sama Surya?" Gaska langsung kehilangan mood karena nama itu. "Dia nggak sekolah? Nggangguin orang pacaran aja."

"Lebih dari itu, Gaska," Indra berbalik saat Gaska memberi jarak di antara mereka. "Surya bilang kamu tahu aku sudah lama. Apa maksudnya itu?"

"Hmmm..." Gaska mengelus-elus dagunya yang mulai kasar. "Rencanaku akan aku jelaskan kalau kita sudah jalan sebulan, atau kalau kamu sudah nyaman dengan aku."

Indra hanya menatap Gaska sambil berusaha memahami maksudnya.

Gaska nyengir melihat usaha Indra dalam memanfaatkan dirinya, karena setiap kali, pria yang lebih pendek darinya itu gagal dan terjebak dalam perangkapnya sendiri, wajahnya menampakkan beragam emosi dan ekspresi menarik.

"Aku mau saat kita pacaran, kamu juga berusaha mengerti aku, dan berusaha agar hubungan kita berjalan mulus. Barulah saat itu, kamu bisa dapat semuanya, Indra." Gaska membuka pintu kamarnya lalu perlahan mengarahkan agar Indra keluar ruangan.

"Selamat berjuang mendapatkan hatiku, Babe," Gaska mengakhiri dengan kedipan mata sok imut dan senyum nakal.

.

.

.

次の章へ