Wardana's House
Author POV
Sultan terbangun dari tidurnya. Dia dibangunkan, karena satpam bilang ada tamu untuknya. Dia mengambil HP-nya untuk melihat jam. Pukul dua pagi. Dia menguap lebar.
Sultan cepat-cepat turun dari tempat tidur.
Saat membuka pintu kamarnya, dia masih setengah mengantuk. Awalnya dia tidak mempercayai penglihatannya. Hara berdiri di depan pintu rumahnya.
"Hara?" bisiknya.
"Maaf." Hara tidak bisa menyembunyikan kepanikannya. "Aku tahu ini sudah malam sekali.
Kamu pasti sudah tidur. Aku tidak tahu harus bagaimana. Maaf membangunkanmu, Sultan."
Sultan langsung tersadar penuh mendengar kepanikan dalam suara Hara. "Tidak apa-apa.
Masuklah. Ada apa?" Sultan benar-benar khawatir.
Kedua jemari tangan Hara gemetar. Keringat dingin mengalir di keningnya. "Cincinku hilang."
"Apa?" tanya Sultan bingung.
Hara menunjukan tangan kirinya, tempat cincin pemberian Anika seharusnya berada. "Aku sudah
kehilangan cincin pemberian Anika. Aku sudah mencarinya di mana-mana. Di rumah dan apartemen Mika, di restoran, tapi tetap tidak ditemukan. Aku tidak bisa kehilangan cincin Anika, Sultan."
Sultan mengerti sekarang.
"Aku benar-benar minta maaf karena sudah mengganggu tidurmu. Aku tidak tahu harus kemana lagi," kata Hara putus asa.
Sultan meraih tangan Hara yang gemetaran.
"Tenanglah, Hara. Aku akan memesan cincin yang
sama persis dengan yang diberikan Anika. Aku akan mengerjakannya secepat mungkin. Kamu tidak
usah khawatir." Sultan tidak tega melihat Hara dilanda kepanikan dan kekhawatiran. Dia akan
melakukan apa pun untuk melenyapkan semua itu dari Hara.
Napas Hara mulai normal. "Aku akan membayarmu. Berapa pun yang kau inginkan."
Senyum Sultan mengembang perlahan. "Kamu tidak perlu membayarku."
"Tapi...," sanggah Hara.
Sultan menggeleng. "Aku tidak mau kamu membayarku. Aku akan memesan cincinnya secepat
mungkin dan memberikannya kepadamu."
"Terima kasih," bisik Hara perlahan. Ia menatap Sultan. Keduanya terdiam sejenak. "Ehm... kalau begitu aku pergi dulu. Kamu bisa meneleponku kalau cincinnya sudah jadi. Aku akan
mengambilnya di kantormu."
Hara pergi meninggalkan rumah Sultan dengan tergesa-gesa.
Setelah kepergian Hara, Sultan langsung berganti baju dan mengambil kunci mobilnya. Tak berapa lama kemudian dia sampai di kantor barunya Rangga. Sultan segera naik ke lantai tiga tempat ruang kerjanya Rangga.
Ketika Rangga naik ke lantai atas enam jam kemudian, dia sedikit bingung melihat omnya sedang bekerja. "Om sedang apa?" katanya pada Rangga.
"Aku tidak tidur semalaman." Sultan meminum gelas kopi ketiganya hari itu untuk membuatnya tetap terjaga.
"Om terlihat kelelahan," komentar Rangga, lalu mendekati omnya. Dia melihat cincin yang
sedang dikerjakan Sultan. Rangga mengenalinya. Dia membuat cincin yang sama beberapa waktu
yang lalu. "Om membuat cincin bintang safir yang sama dengan yang kubuat?"
"Ya," jawab Sultan.
"Apakah ada masalah dengan cincin buatanku?" tanya Rangga bingung.
Sultan menatap keponakannya dan tersenyum. "Tidak ada masalah dengan cincinmu. Aku
membuatnya lagi karena wanita yang mengenakannya tidak sengaja menghilangkan cincinnya."
"Mau aku bantu?" tanya Rangga.
Sultan menggeleng. "Tidak apa-apa. Aku akan mengerjakannya sendiri. Kau bisa mengerjakan
tugasmu yang lain."
"Baiklah." Rangga meninggalkan Sultan sendirian di ruang kerjanya. Kening Rangga berkerut.
Akhir-akhir ini perilaku Omnya memang agak berbeda. Omnya sering memandangi cincin tujuh
bintang buatannya lama sekali. Pernah sekali, Sultan tersenyum seharian di ruang kerjanya saat tidak seorang pun memperhatikan. Tapi pernah juga Omnya itu murung seharian. Rangga tidak pernah meliahat emosi yang berubah-ubah dari Sultan sebelumnya.
Objek kekhawatiran Rangga sedang mengerjakan tahap akhir menempelkan batu safir di tengah-tengah bintang. Setelah selesai, Sultan meneliti cincin berliannya lagi dengan kaca pembesar. Memastikan berlian yang ada di cincin tersebut benar-benar sempurna. Sepanjang Rangga berkelut sebagai pelukis dan seniman, dia sangat jarang melihat Omnya terlihat sangat bahagia menekuni hobinya ini.
Lehernya kaku karena seharian bekerja tanpa henti. Tapi Sultan tidak keberatan sama sekali. Ini pertama kalinya Hara meminta bantuannya. Sultan akan melakukan apapun yang diminta Hara.
Sultan melihat jam tangannya. Pukul 09.30. Dia memperkirakan jarak ke restoran Hara dapat
ditempuh dalam waktu satu jam. Dia tahu Hara menyuruhnya untuk meneleponnya kalau cincinnya sudah selesai, tapi Sultan memutuskan untuk membawanya sendiri.
Sekitar pukul sebelas, Sultan tiba di restoran. Dia membuka pintu restoran. Seorang pelayan
menyapanya dan hendak mengantarkan Sultan ke meja makan. Sultan menggeleng. "Tidak, terima
kasih," kata Sultan sambil meminta maaf. "Saya kemari untuk menemui Hara."
Si pelayan mengangguk mengerti. Dia tahu Sultan sering datang ke restoran karena Hara. "Saya
akan memberitahu Chef Hara kalau begitu."
"Tidak usah," sela Sultan. "Saya akan menemuinya langsung."
Sultan berjalan ke arah dapur. Dari pintu kaca dapur dia melihat Hara sedang memasak spageti. Mata Hara terpejam sesaat dan hidungnya menghirup aroma saus spageti. Lalu ia tersenyum perlahan. Sultan ikut tersenyum melihatnya. Tangannya menyentuh pintu kaca di depannya, seakan-akan sedang menyentuh wajah Hara. Sultan yakin dia tidak akan pernah bosan melihat Hara bekerja.
Sultan menarik napas panjang, lalu membuka pintu dapur. Hara menoleh untuk melihat siapa yang datang ke dapurnya.
"Sultan!" serunya kaget.
Sultan berjalan mendekati Hara. Dia meletakkan cincin bintang yang telah dibuatnya semalaman
di meja dapur. "Cincin bintangmu."
Hara mengambil kotak cincin dari atas meja. Ia membukanya, lalu mengambil cincin tersebut dan mengenakannya di jari tengah tangan kirinya. Ia menelitinya sebentar. Tapi ia tahu, cincin itu sama persis dengan kepunyaannya dulu.
"Kamu seharusnya meneleponku," kata Hara.
"Tidak apa-apa," Sultan menatap Hara dengan sendu. "Aku senang melakukannya."
"Sultan....," ucap Hara tiba-tiba. "Aku minta maaf telah berpura-pura tidak mengenalmu. Aku tidak bermaksud melakukannya. Maaf."
Sultan tersenyum. "Kamu tidak perlu meminta maaf, Hara."
"Kamu sudah makan?" tanya Hara, sambil menahan degup jantungnya yang berpacu cepat. "Aku bisa memasakkan sesuatu untukmu. Aku ingin membalas bantuanmu."
Sultan belum makan seharian, tapi perutnya tidak terasa lapar setelah melihat Hara. "Bagaimana
kalau kamu berhenti menjauhiku sebagai balasannya?"
Hara terdiam tidak bisa menjawab.
"Atau setidaknya bertemanlah denganku lagi," usul Sultan lagi.
Hara mengangguk. "Baiklah. Kamu bisa menjadi temanku." Setelah apa yang Sultan lakukan
untuknya, Hara merasa Sultan berhak mendapatkan keinginannya.
Sultan tertawa senang. "Benarkah? Terima kasih, Hara. Kamu sudah membuatku benar-benar
bahagia hari ini." Sebenarnya Sultan ingin lebih dari sekedar teman, tapi setidaknya menjadi teman Hara bisa menjadi awal hubungan mereka.
"Chef Hara ada pesanan..."salah seorang pelayan menginterupsi percakapan Hara dan Sultan.
Sultan tersenyum. "Aku akan pergi sekarang. Semoga pekerjaanmu lancar."
"Kamu juga," balas Hara.
***
Anika's House
Anika bangkit dari tempat tidur lalu mengembuskan napas, mencoba menghapus bayangan horor yang merasuki pikirannya. Sesi latihan dansa kedua akan dimulai tiga puluh menit lagi di ballroom lantai satu di rumah Wardana. Akhirnya, dengan berat hati ia menyeret kakinya ke arah pintu. Di dekat pintu, ia melirik cermin setinggi badan yang ada di pojok ruangan, dan mengerang ketika melihat refleksi rambutnya. Tampak seperti jamur beracun! Aaargh!
Terdengar ketukan di pintu.
Anika tersentak sedikit. "Wait, I'm coming!" teriaknya sambil setengah mengomel dalam hati. Kalau yang mengetuk pintu Mika, Dara atau Gwen dan mereka menertawakan rambutku, aku bersumpah akan melempar cat kuku di meja rias ke arah mereka.
Anika menarik pintu hingga terbentang dan sontak ratusan kupu-kupu seperti beterbangan dalam perutnya. Napasnya tercekat ketika sebagian dirinya tiba-tiba tersedot ke kadalaman dan keteduhan sepasang mata yang kini menatapnya tanpa kedip.
"Hi, Anika," sapa Satya dengan seulas senyum. Bibirnya yanng tipis melengkung dan sepasang mata yang berbinar membuat seluruh wajahnya seolah berpendar dengan pesona. Kaus polo dan celana panjang katun membuatnya tampil rapi dan terpelajar.
"Hai, Satya..." balas Anika dengan napas pas-pasan dan kaki yang rasanya belum menapak ke bumi. Apakah ini perasannya saja atau Satya memang tampak lebih tampan daripada dua hari yang lalu saat terakhir kami bertemu?
Satya maju dan memeluk Anika hangat. "Bagaimana keadaanmu?"
"I'm great!" jawab Anika sambil menyambut pelukan Satya sambil berkeluh kesah dalam hati. Andai saja ia bisa berlama-lama memeluk Satya.
Satya memperhatikan Anika, kemudian berkata, "Rambutmu bagus. Kapan dipotongnya? Kamu jadi tampak lebih dewasa."
"Thanks. Baru dipotong kemarin," jawab Anika enggan. Ia agak terhibur karena, berani sumpah, mata Satya berbinar ketika mengucapkannya. Namun, berhubung masih depresi dan belum mau membahas rambutnya, Anika buru-buru bertanya. "Ada apa datang ke rumah?"
"Aku tadi ke kantor sebentar untuk bertemu dengan Om Sultan, tapi sepertinya Om Sultan tidak masuk hari ini, jadi aku mampir kesini. Kamu sekarang ada acara apa?"
Pertanyaan Satya mengingatkannya lagi ke urusan berdansa dan Anika merasa dadanya seperti melesak. "Aku ada latihan dansa di ballroom," keluhnya, lalu menghela napas.
Satya tersenyum. "Dari ekspresimu, kelihatannya dansa bukan aktivitas favoritmu, ya?"
Anika melirik Satya dengan sewot. Sebelum ia sempat mengatakan apa-apa, Satya tertawa kecil dan berkata dengan intonasi mengalun yang lembut, "Ayo, aku temani ke ballroom."
To Be Continued