Kampus
Rangga menjemput Gwen sore harinya, saat Gwen duduk di sampingnya, wajah wanita itu terlihat masam.
"Ada masalah?" Rangga bertanya sambil menjalankan kendaraannya meninggalkan kampus.
"Aku sedang kesal."
Rangga menoleh, menatap lekat istrinya. "Kenapa?" Ia bertanya dengan suara lembut.
"Tidak ada apa-apa," ujar Gwen setelah terdiam beberapa saat, menatap ke arah jendela dengan tatapan sendu.
"Gwen, katakan padaku ada apa?" Rangga menyentuh punggung tangan Gwen.
"Aku baik-baik saja." Gwen menarik tangannya menjauh lalu memejamkan mata. "Aku hanya lelah. Mas tidak perlu cemas."
Tapi Rangga saat ini sudah cemas setengah mati. Hanya saja ia tidak mampu memaksa, jadi yang bisa ia lakukan hanyalah diam dan menunggu Gwen menceritakan apa yang telah terjadi padanya. Ketika mobil Rangga melewati jalan yang juga menuju Ruby's Store, pria itu dengan segera menghentikan mobilnya disana.
"Kenapa kita berhenti?" Gwen bertanya sambil membuka matanya.
"Tunggu sebentar disini." Rangga turun dan langsung masuk ke Ruby's Store, tidak lama kemudian pria itu keluar sambil membawa bunga Lavender berwarna ungu. "Kuharap perasaanmu bisa menjadi lebih baik." ujar Rangga meletakkan bunga itu di pangkuan Gwen.
Gwen menatap buket bunga dan tersenyum kecil, ia menatap Rangga sambil mengucapkan terima kasih. Rangga lega bisa melihat senyum itu, meski hanya sebuah senyum singkat. Tapi wajah Gwen tidak lagi semuram sebelumnya.
Mobil kembali melaju menuju rumah mereka, Rangga hanya diam dan tidak lagi bertanya, hanya sesekali melirik Gwen yang masih menatap kosong keluar jendela.
"Tadi Pak Rama telfon aku." Gwen memulai cerita setelah terdiam cukup lama.
Rangga segera menoleh, "Ayahku?"
"Ya." Gwen mendesah sambil memejamkan mata.
"Apa yang dia lakukan padamu?" Ia bertanya gusar.
"Tidak ada. Hanya ingin memastikan bahwa aku masih mengingat dimana posisiku dalam pernikahan ini."
Brengsek. Rangga menahan makian itu di ujung lidahnya. "Jangan dengarkan dia."
"Gwen, aku serius. Jangan dengarkan dia." Rangga menoleh dan menatap lekat Gwen. "Apapun yang dia katakan, lupakan saja."
"Tidak bisa." Gwen berujar serak. "Apa Mas lupa bagaimana pernikahan kita yang sebenarnya?" Gwen membuka mata dan menatap Rangga dengan matanya yang memerah. "Apa Mas lupa apa yang Mas katakan padaku waktu itu?"
"Gwen, aku..."
Gwen menggeleng bersamaan dengan sebulir airmatanya yang jatuh. "Aku tidak ingin mendengar apa-apa lagi."
Rangga menggigit lidahnya kuat-kuat agar ia tidak berteriak saat ini. Amarah yang membakar di dadanya benar-benar terasa menyesakkan. Apa yang sudah Mr.Wardana sialan itu katakan kepada istrinya?
***
Wardana's Corp
Anika POV
Sikap gamang Satya membuatku kehilangan mood habis-habisan
sepanjang hari. Aku tak pulang bersamanya. Aku memutuskan untuk pulang duluan, diantar Devan. Sekarang aku tengah berkutat di ruang Om Sultan.
Aku tak ingin memikirkan Satya dan segala kebimbangannya. Urusan cinta tak boleh mengganggu konsentrasi dalam menjalankan hal yang seharusnya aku lakukan. Seharusnya?
Aku menatap jenuh ke arah tumpukan laporan di depannya. Aku muak.
"Anika, kamu jenuh?"
Aku menatap Om Sultan yang hari itu bersikap seperti peramal, bisa menangkap keanehan gerak-geriknya. Aku menggeleng pelan. Sial, kenapa aku terus-terusan memikirkan Satya? Kenapa pula pemuda itu tidak menghubungiku dari tadi? Sibuk pacaran?
Amarah terus menguasaiku sepanjang hari. Bahkan tidur pun tak akan membuatku merasa lebih enak.
"Kamu lagi ada masalah?"
Aku menatap Om Sultan datar. "Masalahku ada pada keluarga Hilmar, Om," ucapnya gamblang, berusaha menutupi keresahan hati yang betah singgah. Lalu aku buru-buru menyibukkan diri dengan membaca laporan.
"Bukan masalah itu, Anika. Masalah hatimu. Kamu seperti jengkel. Atau terguncang?"
Aku mencelos, tak terguncang, hanya ingin marah. Entah pada siapa. Tiba-tiba aku membanting laporan di tangan sekuat tenaga. "Om, I've had enough!" seruku frustrasi.
Om Sultan tersenyum lega lantaran sejak tadi pun mengerti keadaan Anika yang sebenarnya. "Kamu selesaikan dulu masalah hatimu, lalu baru fokus ke sini lagi. Kamu bekerja terlalu keras akhir-akhir ini. Om bisa melakukan ini sendiri."
"Om akan menghancurkan mereka, kan?" tanya Anika, seolah meminta jaminan.
Om Sultan tertawa renyah. "Of course. Mereka harus membayar apa yang telah mereka perbuat, Anika."
Aku menarik napas. "Aku yakin yang melumeri rokok ayah dan stir mobil dengan kalium sianida itu Papa Elisa, Om."
Om Sultan menerawang, sendu. "Ya... kasusnya sudah bertahun-tahun tidak diangkat. Kita harus bergerak cepat dan teliti."
Aku mengangguk. "Depresi yang dialami Mina dan yang membuat memarnya..." Ucapannya terputus, teringat sesuatu.
Tak ada yang berkata-kata.
"Om!" teriakku mengejutkan Om Sultan. "Sidik jari orang itu pasti ada di sana, Om!" Aku berpikir keras, mencoba mengingat foto Mina yang pernah dikirim Mama melalui e-mail.
"Di mana?"
"Di barang-barang kesayangan Mina!"
Dahi Om Sultan langsung berkerut, berpikir keras.
"Kita harus ke Bali!"
***