Anika POV
Aku memainkan ujung jari. Ini minggu kedua aku tak berhubungan dengan Satya. Kami tak bertegur sapa, tak saling berkomunikasi, dan juga tak saling menatap lagi.
Aku tak tahu apa yang terjadi dalam diriku. Semua mengalir begitu saja. Tindakanku yang menolak kehadirannya diperkuat dengan tingkah Satya, yang sepertinya menolak kehadirannya juga.
Kami saling menjauh. Tak biasanya Satya langsung mengalihkan mata saat aku menoleh ke arahnya. Dan aku tak begitu peduli—mungkin karena diriku juga bertekad kuat untuk lari dari kejarannya. Sekarang aku tak perlu kerepotan berlari karena pemuda itu lebih dulu berhenti.
Entah angin apa yang bertiup ke arahku, aku merasa kehilangan. Aku baru pertama kali merasakan hal ini. Perasaan tidak suka timbul saat melihat Tina berada di depanku ketika jam makan siang, juga saat Satya mengacak rambut Tina pelan. Pemandangan itu begitu memuakkan.
Mungkinkah aku hanya pelarian kala kerumitan melanda hubungan dua orang itu?
Benarkah?
Aku menggeleng pelan, mencoba tak peduli, tak ingin keadaan menjadi lebih rumit. Aku membenci air mata. Air mata adalah tanda kelemahan, yang dulu sempat aku tumpahkan berhari-hari kepada orang yang tak pantas disebut manusia. Sungguh aku membenci air mata, air mata siapa pun itu, temasuk linangan air mata Tina saat bertemu denganku dua minggu lalu di UKS.
Aku gamang. Itu baru pertama kali, sejak Gwen mengatakan bahwa Tina ingin berbicara denganku di UKS. Aku menggigit bibir bawah, kemudian tanganku mendorong pintu UKS dengan cepat.
Menampilkan sosok Tina yang tertidur lemah di sana.Aku tak memungkiri gadis itu manis, bahkan lebih manis daripada diriku. Garis wajahnya menampilkan kelembutan, berbeda dengan diriku yang selalu menampilkan ekspresi keras.
Tidak terlalu tinggi, dagu tak begitu runcing, bibir mungil, dan hidung mancung yang dimiliki gadis itu membuatku betah membandingkan diriku dengan Tina.
Kenapa aku jadi seperti itu sih? Membandingkan diriku dengan gadis lain!
Tina membuka mata pelan. Saat matanya bertemu dengan mataku, aku tersenyum masam, dan berdiri kaku di tempat, tak berniat mendekat.
Tatapanku berubah saat Tina menampakkan wajah serius.
Dalam hati aku mengakui keberanian gadis itu untuk memanggil diriku ke UKS.
Aku menyipit, membalas sorot matanya yang mengeras.
Membuktikan bahwa sebenarnya aku rival.
Rival?
Untuk apa?
Aku berpikir keras, namun tak berhasil menemukan sesuatu.
Tina menangis. Setitik air mata keluar dari pelupuk, kemudian berlanjut hingga pipinya basah.
Aku mundur selangkah. Bayangan Elisa yang menangis menguasai penglihatanku. Aku masih mengingat bagaimana saudariku itu menangis, kemudian tanpa ragu mengusirku.
Aku menggeleng. Tak seharusnya kenangan itu membuatku trauma. Ya, ada rasa sakit saat aku mengingat Elisa. Yang tak bisa aku jelaskan. Yang membuatku mengepal, yang sakitnya sampai pada aliran darah.
Tina yang terisak membuka mulut. Dia tahu aku tegang, terlihat dari pancaran mataku. "Aku sama Satya… saling suka, sejak awal kami bertemu, kelas 2 SMA."
Aku tetap tenang. Membiarkannya melanjutkan ucapannya.
Aku sebenarnya kaget saat bayangan Elisa dengan semua keluarga gadis itu mendadak menyergap.
Pikiranku tak fokus.
"Anika."
Ada yang memanggil namaku. Anika Pembawa sial.
Aku mundur beberapa langkah. Tidak!
"Anika…"
Aku mengerjap, melihatnya yang menatapku bingung. Aku menghela napas pelan. Pikiranku kacau. Suhu tubuh meningkat, jantung berdetak cepat, dan darah mendidih.
"Kamu paham, kan? Kebersamaanmu dengan Satya hanya akan membuatmu sakit hati. Dia menjadikanmu pelarian atas masalahnya denganku."
Aku mengangkat alis. Tertohok. Kenyataan macam apa itu? jelas tak bisa menerima ucapan Tina. Memangnya gadis itu siapa?
Cih. Dia tak berhak lagi mengurusi pemuda itu. Dan satu lagi, dia tak berhak mengurusiku. Hatiku terasa sakit.
Aku mencoba berpikir. Hatiku ngilu karena ucapannya.
Namun, aku mencoba menyangkal, menantang matanya kuat-kuat setelah mendapatkan kata-kata yang pas untuk gadis itu.
"Hanya itu?" ucapku telak.
Aku berjalan mendekatinya. Tatapanku tak fokus. Pikiranku terbagi-bagi. Aku tak ingin berada di ruangan ini. Sungguh. "Aku tidak ada apa-apa dengan kekasihmu," terangku, jelas-jelas ada nada penyindiran. "Aku tidak rugi kalau tidak tahu kisahmu dengan pacarmu." aku menajamkan pandangan. "Dan apa yang kamu bicarakan tadi, sama sekali tidak ada hubungannya denganku."
Tina tepekur saat mendengar kalimat yang begitu sinis keluar dari mulutku.
"Jadi, kamu bisa kan menjauh darinya?" Dan inilah inti segala ucapan panjang lebarnya.
Ceklek.
Aku dan Tina sama-sama menengok ke arah pintu. Tampak sosok yang sedang dibicarakan masuk. Aku menatap Tina dingin, kemudian mengangguk.
Aku menarik napas panjang mengingat kejadian itu. Bukankah aku yang menyetujui bahwa aku akan pergi dari pemuda itu?
Lantas kenapa saat ini aku...
Ponselku berdering keras. Dari nadanya aku yakin satu pesan singkat masuk. Tanpa pikir panjang aku menyambar ponsel,kemudian membuka pesan tersebut.
Aku membelalak. APA?
Pesan itu nyata dan Om Sultan yang mengirimnya.
Aku menarik napas panjang karena sulit mengontrol detak jantungku yang berlarian. Rasa sakit yang datang diteruskan jantung ke semua pembuluh darah.
Sialan! rutukku sambil mencengkeram ponsel.
To Be Continued