Kampus
Anika memandang Satya tidak suka. Setelah ditinggal di kantin begitu saja, entah kenapa dia ingin marah-marah pada lelaki itu. Tak peduli Satya mengerti atau tidak. Dia hanya ingin menunjukkan bahwa dirinya kesal, dan sebaiknya mereka tak bertemu dulu.
Kesal? Kesal yang tak beralasan!
Selesai kuliah, Satya menghampiri Anika. Membuat Anika kaget, namun memilih membuang wajah ke arah lain.
"Kamu marah?" tanya Satya to the point. Membuat anak-anak di kelas mengalihkan pandangan ke arah mereka, merasa terhipnotis dengan suara lantangnya.
Anika tetap membuang muka. Sebisa mungkin dia menutup telinga rapat-rapat agar tak mendengar penuturan Satya selanjutnya.
Dia tak tahu kenapa dia kesal. Saat melihat wajah Satya, darahnya langsung naik ke puncak kepala.
"Ya sudah, kalau tidak mau bicara denganku. Aku ke UKS liat keadaan Tina dulu."
Ucapan Satya membuat Anika berdiri sambil menyandang tas.
"Bukan urusanku!" balas gadis itu sengit sambil berjalan menuju pintu kelas.
Devan, Lukas, dan Rangga langsung menghampiri Satya yang masih terpana akan perubahan sikap Anika beberapa jam itu.
"Sedang PMS mungkin," bela Devan berusaha netral. Tangan Devan berada di bahu Satya.
Mendengar suara Devan dari belakangnya membuat Satya kehilangan kendali. "berisik!" Ia berjalan ke luar kelas dengan kaki yang sengaja dientak-entakkan.
Devan termenung. Kenapa hari ini semua orang hobinya marah-marah? "Aku tidak tahu hari ini Hari Marah Sedunia," ucap Devan menggeleng-geleng tak paham.
Rangga dan Lukas menjitak kepala Devan pelan. "Berisik!" ucap keduanya bersamaan, menirukan gaya ucapan Satya tadi.
***
Satya mendorong pintu UKS dengan sedikit kasar. Bunyi decitan keras membuat orang di dalam ruangan tersebut langsung menoleh ke arahnya karena kaget. Baru saja masuk selangkah, pemuda itu membulatkan mata tatkala pandangannya tertancap pada mata pelangi itu.
Ah, mata pelangi?
Satya tak tahu sejak kapan dia mulai menyebutnya mata pelangi.
Hari itu, ya… saat mereka berlibur bersama, Satya melihat jelas di mata Anika ada pelangi. Warna-warni itu terpancar indah saat gadis itu bahagia.
Sayangnya mata itu kembali tertutup mendung. Satya merasa pandangan Anika seperti hujan. Badai bahkan. Dingin dan mengerikan.
Anika mengalihkan pandangan ke arah Satya, melirik Tina sebentar, kemudian mundur beberapa langkah. Anika membungkuk cepat, lalu segera meninggalkan dua orang tersebut tanpa memandang keduanya.
Satya berpikir, apa yang dua gadis tak saling mengenal itu bicarakan?
Saat Satya melangkah ke dalam, Tina menyambutnya dengan senyuman manis. Senyum yang dulu membuat Tina bahagia, tapi sekarang kebal rasa, tak merasakan apa-apa lagi. Senyum yang dulu membuatnya rindu berlarut-larut, sekarang tak berarti lagi.
Semua berubah begitu cepat hingga tak menyisakan bekas.
Sampai-sampai Satya sendiri tak menyadari bahwa perubahan itu begitu besar.
Satya mengusap tangan Tina, tersenyum membalas senyuman gadis itu. Yang Satya tidak tahu, senyumnya masih bisa menggerakkan partikel-partikel hati Tina untuk bergerak lebih cepat. Senyumnya masih menawarkan kebahagiaan tersendiri bagi yang menikmati, walaupun yang terjadi pada diri Satya justru sebaliknya.
"Sudah tidak apa-apa?" tanya Satya, menandakan kekhawatiran.
Tina mengangguk layaknya anak kecil. Anak kecil yang mencari perlindungan untuk berteduh.
"Kamu akan tepatin janjimu buat jagain aku, kan?" tanya Tina.
Satya terdiam, tubuhnya kaku. Dia tak mampu menjawab. Bahkan untuk satu huruf pun. Ia menghela napas panjang, kemudian menatap gadis di depannya. Bibirnya terkunci rapat. Wajah gadis lain melintas cepat di kepalanya.
Kenapa Satya menghadapi dilema? Sejak awal, bukankah dia memang hanya menginginkan gadis di depannya ini? Selama bertahun-tahun dia menjalani kasih bersama Tina. Bukankah dia hanya menginginkan Tina?
Lalu apa arti Anika? Apakah hanya sebagai pelampiasan?
Satya membantah dua bisikan yang terus menggema di otaknya. Tidak. Dia tidak menjadikan siapa pun sebagai pelampiasan. Dia tak menjadikan siapa pun berharap kepadanya. Tapi kenapa dia menjadi bingung saat Tina menanyakan hal itu?
Satya mengalihkan pandangan kepada Tina. Gadis itu masih menunggu jawaban. Dia harus mengambil keputusan dengan cepat. Perasaan itu tak boleh terus dibiarkan membelenggu hingga ke dasar jurang.
Satya memantapkan hati, kemudian mengangguk. Senyuman Tina melebar seketika.
Tanpa sadar Satya berjanji kepada anak kecil. Dia tak tahu, apa jadinya jika dia melanggar janji itu suatu saat nanti.
To Be Continued