Kampus
Satya mengepal keras saat melihat Anika pergi begitu saja meninggalkan kelas. Dia sangat kesal. Kenapa gadis itu harus cari masalah dengannya?
Dan benar, kehidupan bukan drama, yang bisa memaafkan begitu saja. Ada beberapa hal di dunia yang sulit dimaafkan, seperti kejadian tadi.
Satya menatap langit, terlihat jelas bayangan Tina, cinta pertamanya, terlukis di sana. "Seharusnya itu hadiah ulang tahunmu yang paling spesial. Seharusnya," ucapnya lirih.
Terbayang olehnya kenangan indah bersama gadis itu, dan kembali hatinya tertohok. Kenangan bisa menyakiti kapan saja.
Andai itu tidak terjadi, pasti sampai saat ini mereka tetap baik-baik saja. Satya tak perlu memutuskan hubungan mereka dan mereka berdua bisa menemukan kebahagiaan yang sesungguhnya.
Andai saja, ulang Satya dalam hati. Lantas kenapa setiap pengandaian itu terlalu menyakitkan saat diingat? Terlalu sakit untuk disimpan sebagai angan-angan?
Satya menikmati sentuhan angin di rambutnya, seolah menyerukan untuk tak menyelesaikan masalah dengan emosi. Bagian luar gedung olahraga memang tempat favoritnya saat ingin menenangkan pikiran. Hanya tiga temannya dan Tina yang tahu kebiasaan itu.
Satya menatap langit dalam-dalam. Dia menyukai langit. Entah karena apa.
Lelaki itu menghabiskan jam kuliah yang tersisa dengan tidur di sana, tak peduli kondisi gadis yang tadi dicacinya. Dia tak peduli. Oh, bahkan sangat tidak peduli. Apa gadis itu benar-benar ingin mati atau tidak, dia juga tak peduli.
Satya terbangun dari tidur beberapa jam kemudian oleh getar ponsel. Nama Om Sultan tertera jelas di sana.
"Halo, Om?" ucap Satya malas-malasan. Suara derap kaki berlari datang dari arah tangga. Satya segera berdiri dan mendapati ketiga temannya yang dengan panik menghampiri.
"APA?"
Keempat lelaki itu langsung berlari menuruni tangga. Satu hal yang mereka pikirkan saat itu, yaitu gadis yang tiba-tiba terlihat sangat lemah, gadis yang seperti hilang kesadaran saat menerima cacian Satya.
Anika.
To Be Continued