Menjalin hubungan dengan Dirga selama beberapa bulan membuat Alana paham betul dengan sifat yang dimiliki pria tersebut.
Dirga yang terkadang bersikap semaunya, arogan, tidak bisa terbantahkan sehingga menjadikan wanita yang akrab dipanggil dengan sebutan Al itu merasa lelah hati.
"Sayang?"
Alana membalikkan tubuhnya untuk berhadapan dengan sang kekasih, wanita yang sedang menatap Dirga itu merasa sedikit geram, mengingat Dirga yang tidak paham dengan situasi yang sedang mereka hadapi saat ini.
"Mas, tolong dengerin aku ya?" Ucap Alana lirih. "Ini di kantor, kita bahas lagi nanti." timpalnya meminta pengertian.
Wanita itu memalingkan wajahnya saat mendengar suara decakan pelan dari Dirga seakan Dirga berkata, memangnya mengapa jika mereka ada di kantor?
"Jelasin dulu, papa bicara apa saja sama kamu?" tanya Dirga memaksa, kekasihnya pun menjauhkan tubuhnya saat Dirga mencoba untuk memeluknya dari belakang.
"Iya, aku cerita tapi kamu yang tenang ya jangan emosi seperti biasanya. Aku heran sama kamu mas, kenapa nggak bisa menahan emosi? kasihan dengan anak buah kamu yang jadi korbannya." peringat Alana.
Sudah seringkali Alana mewanti-wanti Dirga untuk bisa meredam emosinya, banyak rekan kerjanya yang berkeluh kesah mengenai sifat tempramen atasannya itu.
"Iya, maaf sayang."
Bahkan pria itu tak tinggal diam, menciumi surai lembut sang kekasih bertubi-tubi. Namun, pergerakan yang dilakukan Dirga semakin membuat Alana gelisah, Alana takut jika pada akhirnya mereka akan dipergoki oleh karyawan yang lain.
"Mas nanti ada yang masuk, aku rasa sudah terlalu lama berdiam di sini. Janji hari ini aku masak makan malam di unit kamu ya?"
Saat merasakan Dirga mulai mengendurkan pelukannya, Alana sedikit bernafas lega. Rupanya rayuannya mempan untuk kali ini karena biasanya tak akan mudah bagi Alana untuk membujuk sang kekasih, membujuk seorang Dirga merupakan hal yang paling sulit untuk Alana lakukan.
"Janji ya? sekaligus jatah aku nanti."
"Enak di kamu itu, ingat! kita belum sah." sanggah Alana.
Dirga terkekeh pelan, menatap sang kekasih dengan tatapan memuja, "Kan kamu yang selalu menolak aku ajak menikah." balasnya santai.
Dirgantara tidak salah dengan ucapannya itu karena memang benar adanya, kekasihnya yang selalu mengganti topik ketika mereka sedang membahas perihal pernikahan.
Bukan karena tidak mau, melainkan Alana belum siap untuk ke arah sana terlebih dirinya masih trauma dengan pernikahan yang sebelumnya.
Tangan Alana tergerak untuk mengelus pipi kanan sang kekasih, "Bukannya menolak mas, aku belum siap dan juga status aku... aku nggak mau menikah tanpa restu dari orang tua kamu."
"Kita belum pernah mencobanya sayang, mengapa kamu selalu pesimis? aku yakin orang tua aku akan menerima kamu terlepas dari status kamu. Sebagai orang tua harusnya mereka ikut senang melihat anaknya bahagia karena bahagia aku ada di kamu dan Elena."
Sebagai jawaban, Alana hanya memejamkan matanya sesaat. Dia mulai menyadari bahwa Dirga belum mengenal ayahnya dengan sangat baik.
•••
Mendudukkan diri di atas kursi, kedua tangan Alana mengusap wajahnya lelah. Dirinya tidak tahu bagaimana lagi caranya untuk menjelaskan kepada kekasihnya yang keras kepala itu.
"Astaga Ajun!" serunya karena tiba-tiba rekan kerjanya mengetuk mejanya tanpa aba-aba.
"Gua perhatiin hari ini lo kebanyakan melamun. Ada masalah? udah Jam 12, ayo makan?"
Mata lawan bicara Ajun melirik ke arah jam yang menempel di dinding, tanpa ragu Alana mengiyakan ajakan rekan kerjanya itu, "Ikut ya, lo duluan aja nanti gue menyusul. Tolong pesanin gue menu yang biasa. Terima kasih Ajun."
Lima belas menit waktu yang Alana butuhkan untuk ada di hadapan teman-temannya. Menu makanan favoritnya pun sudah ada di depan meja tepatnya di depan kursi yang tak berpenghuni, tentu saja kursi tersebut mereka siapkan untuk dirinya.
"Duduk Al, makanan lo makin dingin nanti."
"Thanks Jun."
Ajun mengangguk, tanpa menunggu lama Alana menduduki kursi yang telah disediakan, wanita itu menatap teman-temannya satu- persatu yang mulai menyantap menu makan siangnya masing-masing.
Hening, tak ada suara obrolan pun dari mereka, hanya suara sendok dan garpu yang sedang bersahutan.
Chandra yang merupakan pegawai Divisi Keuangan mendadak di dibuat heboh kala melihat Dirga yang mendatangi area kantin, "Itu pak Dirgantara lagi bosan makan di luar ya? ada angin apa makan di sini?" tanya Chandra keheranan.
Secara otomatis Alana mengedarkan pandangannya guna mencari sosok yang dibicarakan oleh Chandra dan sialnya pandangan mata mereka pun bertemu.
Alana baru menyadari tatapan tajam yang dilontarkan Dirga kepadanya, dia lupa jika hanya dirinyalah perempuan yang ada di meja itu dan sudah dapat dipastikan bahwa Dirga sedang dalam mode cemburu.
"Eh, pak Dirga jalan kemari?!"
"Santai Chan."
"Bolehkah saya bergabung? tempat yang lain sudah penuh, lagi pula saya tidak suka makan sendiri." ucap Dirga meminta ijin.
Tak bergeming, Alana memilih kembali fokus pada makanannya, Sean yang menyadari ada kecanggungan diantara mereka pun mulai angkat bicara, "Boleh pak, silahkan."
Bertepatan dengan itu semua orang yang ada di sana memberi ruang untuk Dirga. Sepertinya Dewi Fortuna sedang berpihak pada Dirgantara kali ini.
Entah mengapa dari sekian banyak ruang, salah satu teman Alana menarik kursi yang tak jauh dari dirinya lalu membiarkan Dirga untuk duduk tepat di hadapan sang kekasih.
"Kamu marah dengan saya?" pertanyaan Dirga yang tiba-tiba,
Alana sendiri memilih untuk kembali diam dan tidak menanggapi sedangkan temannya yang lain menatap Dirga penuh keheranan, dengan siapa sebenarnya pria itu berbicara?
Ajun yang mulai menyadari sang atasan masih setia menatap temannya pun menyentuh lengan Alana pelan.
"Kenapa Jun?" tanya Alana dengan suara berbisik, pasalnya Ajun duduk tepat di sebelahnya.
"Lo ditanya pak Dirga." jelas pria berwajah oriental itu.
Merasa tidak enak dengan tatapan yang lain, Alana mulai berbicara dengan Dirga, "Maaf pak, bagaimana ya pak?" tanya Alana dengan wajah kebingungan.
"Lupakan."
Apa dia marah denganku? ada apa dengannya? Aneh sekali, tiba-tiba makan di kantin dan menanyakan hal yang tidak penting di depan pegawai lain, pikir Alana.
Pria itu memang sulit sekali untuk ditebak.
"Saya sudah selesai, Saya duluan ya dan terima kasih sudah mengijinkan Saya untuk bergabung." pamit Dirgantara, pria yang memiliki jabatan tinggi dari yang lain memilih untuk meninggalkan area kantin tanpa menoleh.
"Dia udah selesai? dan baru memakan sesuap nasi?" Gumam Alana pelan, tak percaya dengan apa yang baru saja dirinya saksikan.
Dirgantara tidak pernah seperti itu sebelumnya, pria itu tidak akan pernah menyia-nyiakan makanan sedikit apapun.
"Ada apa dengan pak Dirga Al?" tanya Sean.
"Entahlah mas, tadi gue cuma membicarakan perihal kepindahan gue ke Divisi Pemasaran karena pak Arka yang meminta." balas Alana sedikit berdusta.
"Lo dipindah Al?!" pekik Chandra.
"Chandra, bisa bicara pelan?" protes Juna.
"Maaf, gue cuma kaget." sahut Chandra.
"Apa alasannya sampai lo dimutasi? setahu gua Divisi Pemasaran lagi kacau selama ditinggal Pak Yudha." timpal Ajun.
"Gue juga kurang paham, mungkin karena latar belakang pendidikan gue yang mengharuskan gue di pindah ke sana." ujar Alana asal, dia pun tidak tahu alasan tepat dirinya dimutasi.
"Lalu bagaimana dengan Chandra? sepertinya bukan karena itu. Lihat... Chandra udah di Divisi Keuangan dari jaman pegawai baru sampai saat ini kan? itu berarti udah hampir 5 tahun dia ada di sana." jelas Juna diikuti anggukan kepala dari Chandra.
Tentu, Alana juga membenarkan perkataan Juna dan semakin berpikir alasan Arka memindahkannya, apakah pria paruh baya itu ingin menjauhkan anaknya dari Alana?
"Bang Sean, apa nggak tahu sesuatu?" tanya Janu yang sedari tadi hanya diam.
Sean terdiam sesaat, kemudian melirik ke arah Alana, "Lo tahu Al? Kepala Divisi Pemasaran yang baru mulai bekerja Lusa?" tanyanya.
"Iya, Pak Arka juga meminta gue untuk segera pindah besok."
"Selamat Datang di Divisi Pemasaran Al." ucap Sean menatap Alana penuh arti.
"Hampir jam 1, ayo kembali ke ruangan masing-masing." Ajak Chandra dan disetujui oleh yang lainnya.
Alana terpaku, menatap layar ponselnya yang dipenuhi notif pesan dari Dirga yang memaksanya untuk segera ke ruangannya terlebih dahulu.
Tentu saja untuk membicarakan perihal kepindahannya ke Divisi lain, bahkan pria itu hanya memberinya waktu 10 menit untuk sampai di sana, sungguh menyebalkan sekali jika sifat buruk pria itu sedang muncul.