■
Ⅵ
■
Hati seseorang yang telah terikat sebuah janji akan berbeda dengan orang yang belum membuat sebuah janji. Perbedaannya jelas terletak pada rasa tanggung jawab yang tinggi akan janji tersebut.
■
Aku akan menepati janji darimu.
Mataku kembali terbuka karena suara kicauan burung yang menandakan malam akan segera datang. Benar saja, atmosfer itu sekarang hampir tidak meneruskan sinar Matahari. Namun kilauan akan lampu-lampu kota mulai terpantulkan di langit menggantikan sinar Matahari itu sendiri.
Aku bangkit dari tidur, melihat Miyu yang duduk termenung di sisi sungai. Hatiku senang bukan main karena masih bertemu dengan Miyu. Sangat-sangat senang, bagaimana aku bisa menggambarkannya?
Aku kira dia sudah meninggalkanku, tapi ternyata sosok kecil bermata ungu itu kini masih hidup.
Aku mendekati Miyu. "Kau ternyata masih hidup, Miyu. Ke mana saja kau selama ini?!"
Miyu sangat kaget ketika mendengar pertanyaanku. "Kak, kau su—"
"Kenapa kau tidak kembali waktu itu Miyu?! Apakah kau diancam lagi oleh bajing*n itu?!"
"Begini, Ka—"
"Kenapa kau tidak bilang padaku Mi—"
"KAK!!!" Miyu berteriak.
Aku terdiam.
"Tolong dengarkan aku dulu."
"Tapi kau harus menjelaskannya dengan benar alasanmu, ya?" Aku duduk di sebelah Miyu, menghadap sungai yang mengalir dengan tenang.
"Terima kasih, Kak, telah menyelamatkanku di toilet terbengkalai kala itu. Saat itu perasaanku senang dan kagum akan aksimu, Kak, lelaki itu juga benar-benar kau kalahkan dalam waktu 3 detik."
Aku masih mendengarkan ceritanya.
Miyu menghela nafas. "Kau tahu, Kak, saat orang itu kembali mengancamku, aku ingin bicara padamu. Namun aku takut. Aku takut, Kak ..." Air mata mulai keluar dari matanya.
Aku sebenarnya sedang menampung air mata juga di balik kelopak mata ini, akan tetapi aku masih ingin mendengarkan alasan Miyu tidak menemuiku hari itu.
"Orang itu—hiks—adalah kenalan dari Papa—hiks, dia memegang penuh kendali atas di—diriku, Kak sejak saat itu—hiks." Senggukan tangisannya itu membuat perkataannya terbata-bata.
"Apa maksudmu, Miyu? Kau itu bebas hidup tanpa perlu bergantung pada orang yang menyakitimu!?"
"Semua orang akan berpikir seperti itu—hiks, ta—tapi kenyataannya berbeda, Kak. Meskipun ada dirimu, dia masih ada kakakku yang siap—hiks—untuk jadi penggantiku."
"Pengganti apa?"
Perlahan ucapannya mulai membaik, tapi dia kini tertunduk. "Budak. Aku adalah seorang budak yang memohon makanan setiap harinya, jika aku tidak menuruti mereka, maka tidak ada makanan dan akan mati."
Apa yang terjadi di dunia ini? Budak?
"Budak? Jadi maksudmu burung yang berada di sangkar, pemburu, itu semua berkaitan dengan budak?"
Miyu mengangguk lesu. "Aku hanya wanita hina, Kak, tubuh yang selalu digilir hingga benar-benar ingin melepaskan jati diriku."
Aku merinding mendengar ucapannya.
Bukankah itu adalah termasuk kepada pelecehan dan pelanggaran hak asasi manusia?
Aku menyentuh punggung tangan Miyu dan menatapnya tulus. "Miyu, kau tidak sehina itu. Kau kan hanya makhluk kecil yang ingin bertahan hidup. Justru para ba*ingan itu yang adalah makhluk hina!"
"Lebih bodohnya lagi, aku yang sudah diperlakukan dan melakukan rutinitas seperti itu malah berharap sebuah keajaiban. Haha, benar-benar bodoh." Miyu menggigit bibirnya.
"Tidak ada salahnya untuk seekor burung yang berharap pemiliknya lupa mengunci sangkarnya, Miyu."
Miyu menutup matanya dan tersenyum. "Maaf, Kak, kau pasti berpikir tindakanku bodoh karena bunuh diri, ya?"
Aku menatapnya serius. "Sama sekali tidak!! Aku saja malah bangga terhadapmu karena masih bisa hidup setelah kau mengalami pelanggaran hak asasi manusia. Bahkan setelah kau dikekang lagi oleh ba*ingan itu, kau masih bisa bersekolah, kan? itu adalah hal yang tak bisa dilakukan oleh banyak orang!!"
Aku menarik napas kembali. "Aku percayai, kebanyakan orang juga akan mengakhiri hidupnya jika dirinya selalu tertekan oleh hal yang sangat menyakitkan!"
Terlebih lagi, aku tidak bisa benar-benar mengerti apa yang dirasakan oleh orang yang sedang depresi hingga mereka mengakhirinya dengan pemghilangan nyawa. Satu hal yang selalu melekat pada pikiran kita hanya selalu mengacu kepada satu hal ketika melihat orang bunuh diri.
Itu dosa besar!
Sebenarnya aku berpikir keras, siapa yang lebih berdosa? Apakah itu orang yang melakukan bunuh diri? Ataukah itu orang yang membuat pelaku bunuh diri melakukan aksinya? Ataukah orang- orang yang hanya asal mengatakan bahwa perilaku bunuh diri adalah dosa besar hingga menghina korban?
Pada akhirnya, manusia hanyalah sebuah alat yang dilengkapi dengan aksesoris yang kerap dinamakan hati. Ya, aksesoris. Hanya sebuah pajangan untuk memperindah alat tersebut, sebuah pajangan tidak mempengaruhi sedikit pun fungsi dan kinerja sebuah alat. Hanya memperelok bagian luarnya.
Sekali lagi, kita tidak tahu apa yang dipikirkan oleh orang yang depresi berat.
"Terima kasih, Kak."
"Jadi kesimpulannya, kau pergi jauh dan tidak kembali padaku karena ingin terbebas dari mereka yang mengikatmu?"
"Benar, salah satu alasannya adalah itu." Wajahnya hanya menunduk ke bawah.
Itu adalah alasan yang masuk akal. Apabila kau berniat meninggalkan sebuah kota karena di dalamnya ada musuhmu, maka kau tidak akan pernah kembali ke kota itu hingga musuhmu binasa. Namun, bagaimana jika musuhmu itu akan terus berada di kota itu? Akankah kau tetap lari dari masalah? Itu yang membuatku sedikit kecewa terhadap keputusan Miyu.
"Lalu kau mengabaikan kakakmu? Bukankah kau menyuruhku untuk menyelamatkannya? Lalu kenapa kau lari Miyu!!?" Aku menaikkan sedikit suara.
"AKU TIDAK LARI!? AKU HANYA TAKUT AKAN KEPALSUAN HIDUP, KAK. KENAPA PAPA YANG DULU ORANG BAIK, DIA MENJADI ORANG JAHAT??"
Miyu berteriak dengan keras.
"Kenapa saat aku ingin terbang, ada orang lain yang bisa menangkapku, Kak? Kenapa!!?" Miyu kembali menangis.
Aku kembali menyadari, pikiran manusia diciptakan dengan asset yang berbeda-beda. Aku tidak bisa memaksakan pola pikirku terhadap wanita yang masih berumur kecil, tapi dia sudah merasakan keperawanannya direnggut oleh banyak orang.
Jika aku tidak bisa memahaminya lebih dari ini, niscaya aku hanyalah orang bodoh yang tidak memiliki moralitas.
Aku mengelus kepalanya. "Maafkan aku, sekarang aku tahu alasanmu pergi saat itu. Terima kasih Miyu karena selalu berada di sisiku saat Yuukaru pergi."
"Hikks. Terima kasih juga, Kak, karena telah menepati janjimu." Sayang sekali janji itu masih berkelana di otak terdalamku, dia belum ingin mengungkapkan kelanjutan dari cerita ini.
"Maaf Miyu, tapi aku masih belum ingat bagaimana ingatan tentang janji itu. Bagaimana aku menyelamatkan Libiena, semua itu otak ini belum bisa mengingatnya."
"Eh? Jadi kau hanya mengingat tentang aku saja? Memang kau ditakdirkan untuk bersamaku saja, Kak!" Miyu kini tersenyum dengan bekas air mata di wajahnya.
Sifat riang ini, dia benar-benar Miyu.
Miyu, sosok yang dulu sangat lugu dan bodoh, semenjak hidup denganku dia menjadi meniru sikap Yuukaru. Alasannya sendiri adalah karena aku yang selalu menyarankan untuk bertingkah mendominasi ke lawan jenis. Namun hasilnya? Dia malah bersifat mesum, ya ... itu ada keuntungan untukku juga ... sih.
"Jadi, Miyu, aku sungguh ingin menangis sepuasku sekarang. Maukah kau menjadi bantalanku?"
Miyu tersenyum. "Tentu saja, Kak. Menangislah sepuasmu di pelukanku. Oh—kau boleh menangis di dadaku, Kak!"
"Bodoh, kau merusak suasananya!"
Air mata perlahan mulai keluar dari mataku, sekarang tubuh ini hanyalah milik orang lemah yang memiliki dua masa kelam di masa lalunya. Entah cerita itu akan kembali berlanjut sedih setelah janji itu kuingat atau akan beralih ke kebahagiaan, masih tidak tahu.
Aku sangat bersyukur bisa bertemu lagi dengan Miyu, aku dulu selalu berpikir bahwa Miyu telah mati tenggelam atau terbawa arus sungai, tapi kenyataannya dia masih hidup.
Terima kasih, karena telah merubah sifat burukku, Miyu.
Aku menarik tubuhku dari pelukan Miyu setelah puas menangis. Namun Miyu kembali mendekapkan tubuhnya kepadaku.
"Nanti dulu, aku masih ingin memelukmu."
Ugh. Sesak sekali.
"Hei, coba lihat bendamu dulu, sialan!? Apa kau mau aku menyedotnya???"
Miyu melepaskanku dan matanya melihat ke tubuhnya itu, tepatnya ke bagian dada.
"Da—dasar mesum!? Apa yang k—kau maksud??" Wajah Miyu memerah.
Aku tertawa, melihat sosok yang selama ini kucari kembali muncul di depan.
"Miyu, ada satu hal yang ingin kutanyakan."
"Tanya saja, Kak."
"Berarti, dua hari ini, itu kali pertamanya aku bertemu denganmu setelah kejadian waktu itu?"
Miyu mengangguk. "Benar, Kak. Aku kembali bertemu denganmu saat di tangga itu."
Angin berhembus, malam kian bertambah, sore kian berkurang, kesunyian datang di antara kami berdua.
"Kak?"
Aku menengok ke arahnya. "Apa?"
"Mau membakar lilin ini sekarang?" tanya Miyu. Ah benar juga—aku juga penasaran akan lilin itu.
"Boleh."
Aku yang sedang menghadap sungai mulai memutar tubuhku untuk membelakanginya. Miyu berdiri dan duduk di depanku ditemani alas yang berisi lilin beserta korek api berbentuk bunga mawar.
"Hei Miyu, kita seperti dukun saja."
"Bodoh!? Tidaklah, ini itu namanya romantis."
Romantis, kah?
Miyu memberikan korek api kepadaku. "Bakarlah sekarang!"
Aku melihat korek api itu, sama persis dengan apa yang Miyu tunjukan hari itu. Aku berpikir bagaimana mungkin korek ini akan menyala jika saat itu pemiliknya terbawa arus deras air.
Api mulai membakar lilin bunga mawar itu, dia berwarna ungu pada awalnya. Api yang dihasilkan perlahan merubah warna asli lilin itu. Sekarang, lilin itu mulai berubah warna menjadi merah, tepat seperti bunga mawar pada aslinya. Miyu tidak berbohong akan pernyataan bahwa warna lilin itu akan berubah warna.
Lilin itu kini sudah habis, menyisakan miniatur bunga mawar yang kini berwarna merah.
"Mawar ini buatmu, Kak." Miyu menyodorkan miniatur bunga itu kepadaku.
"Terima kasih."
"Seseorang yang sangat lelah akan cerita sedih, maka dia harus membuangnya, atau membuatnya dengan yang baru. Layaknya mawar ini, dia berwarna ungu pada awalnya, tapi dengan terbakarnya warna itu, maka terbentuklah warna baru, yaitu merah." Miyu menatapku lembut.
"Semoga saja kisah sedihku berakhir di sini."
"Belum, Kak Maverick. Kisahmu dengan Kak Libiena juga sepertinya kisah sedih, kan?"
"Benar juga, aku mau tahu kenapa Libiena bisa ada di rumah sakit. Apakah kau tahu cerita—"
Sakit.
Kepalaku tiba-tiba sakit, tidak lagi, aku baru saja mendapatkan ingatan itu, kan?
"Kak!!" Miyu memegang tanganku.
"Tidak apa-apa, Miyu, ini hanya sakit kepala biasa."
"Syukurlah kalau begitu."
.
Miyu kembali duduk di sampingku dan menatap ke sungai yang luas itu. Sementara itu aku berbalik dan mengikutinya. Pemandangan air yang mulai berwarna hitam karena Matahari akan terbenam membuat hatiku tenang.
Sampai sebelum sebuah suara mengagetkanku.
"Hei apa-apaan kalian berdua!!!"
Gawat. Suara itu jelas sekali milik You.
Aku memutar pandangan ke belakang.
Benar, You dan Libiena berlari menghampiri kami berdua dengan wajah yang kesal.
"Rii, kenapa kau berduaan di sini dengan Miyu?!"
Libiena dan You, mereka kini mengeluarkan aura hitam yang pekat di belakang tubuhnya.
"Ja—jangan salah paham dulu. Aku hanya kebetulan diajak Miyu ke tempat ini saja, tidak ada maksud lain, kok." Aku berusaha menenangkan mereka berdua yang kepalanya mulai mendidih.
Aku menatap Miyu dan berbisik. "Hei, kenapa mereka berdua bisa ada di sini?"
"Tentu saja aku yang memberitahunya."
Ap—
Bodoh sekali kau Miyu!!!
Argh—aku tidak tahu ingin marah atau senang sekarang.
Aku harus segera memikirkan sebuah cara yang dapat membuat dua wanita itu tenang. Otak ini mungkin kini sedang berpacu memutar dengan sangat ceepat layaknya hard disk yang sedang menyimpan dan mengolah data.
Benar juga, gunakan saja alasan ini.
Aku menghela nafas sejenak, "Aku berhasil mengingat kejadian bersama Miyu," tuturku kepada You dan Libiena.
"Benarkah??" ucap mereka serentak.
Aku menganggukkan kepala.
Libiena menatapku dengan matanya yang bersinar. "Berarti, kau ingat saat pertama bertemu denganku, Rii?"
Aku menggelengkan kepala.
"Yah ... padahal kejadian itu satu tahun setelah kau cerita Miyu terjun ke sungai." Wajah Libiena kini terpuruk dalam kekecewaan.
Satu tahun? Kenapa lama sekali, apakah aku melupakan janji yang telah dibuat? Atau mungkin sangat sulit untuk menepati janji itu?
"Maaf."
You mendekatiku secara perlahan, wajahnya menunduk dan auranya terlihat berbeda.
"You?"
Dia terus berjalan hingga memegang kerah baju ini. Di belakangku hanya ada sungai sehingga aku tidak bisa mundur.
Oi, kau seriu—
Byurrr.
"Sialan kau You!!"
Dia mendorong tubuhku ke sungai.
"Fuah, hei apa maksudnya ini, You?!" tanyaku kepada You kesal.
"Hehe, cuma ingin mengisi ulang air matamu lagi. Sudah habis tadi, kan?"
Bangs*tt!!!
Apa-apaan dia!? Sungguh alasan yang sangat tidak logis.
Aku menepi dengan tubuh yang basah kuyup, untung saja pakaian hari ini berwarna coklat sehingga tidak ada bagian dalam tubuh ini yang tembus pandang. Sekilas indra pelihat ini melihat Libiena yang berpakaian putih, itu adalah musuh alami air, tentu saja karena jika dua komponen itu bersatu akan menyebabkan tembus pandang. Rasanya aku ingin melihat apa yang ada di dalamnya it—bodoh, apa sih yang kupikirkan.
Aku mengibaskan pakaian yang masih dipakai untuk mengeringkannya, mana mungkin aku melepasnya di depan tiga wanita cantik.
"Bercandamu kelewatan, You, ingat saja besok aku akan membalasmu."
"Coba saja, wlee." You hanya menjulurkan lidah.
Sial. Dasar adik durhaka!!
"Sudah hampir malam, pulang saja, yuk!?" Libiena melipat alas yang tadi digunakan untuk membakar lilin.
"Benar juga, besok kan aku kuliah pagi sampai sore," balas Miyu.
Aku mendekati Libiena dan berbisik kepadanya. "Sebenarnya kau hanya takut jika sudah gelap, kan?"
Libiena merengus dan mencubit pipiku. "Bo—bodoh!? Bukan seperti itu, tau!?"
"Ahahaha."
Suara tawa kami seakan memisahkan rasa duka yang baru aku alami akan ingatan ini. Berarti dugaan saat itu benar, tubuhku saja bisa selamat saat hanyut, berarti Miyu juga bisa selamat.
Syukurlah, terima kasih Tuhan karena lewat hilang ingatan ini, Miyu kembali ada di depanku.
Aku benar-benar bersyukur.
Hanya saja, aku tidak tahu apa yang direncanakan oleh Tuhan.
●●●
Makan malam sudah selesai, hari yang semakin larut memaksaku untuk segera tidur. You sendiri langsung pergi tidur setelah makan malam tadi, sepertinya dia sangat kelelahan.
"Akhirnya aku bisa mengingat tentang Miyu, berarti tinggal mengingat tentang Libiena dan juga penyebab aku hilang ingatan," gumamku.
Masalah You aku sudah ingat, dia adalah benar-benar adikku, tapi hanya itu saja. Kejadian saat aku menyelamatkannya dari orang jahat, bagaimana aku bisa akrab dengannya, dan lainnya masih belum bisa aku ingat.
Aku kembali ke kamar tercinta, rasanya seperti satu tahun tidak tidur di ranjang itu. Memang, ranjang di rumah Libiena dan Miyu sangat empuk, tapi kata 'Sweet Home' bukanlah sembarang kata biasa.
Masih dalam posisi tidur, aku menggerakkan tangan ini untuk mengambil buku catatan dan pensil di meja untuk melanjutkan hasil analisis tentang hilang ingatan ini.
Aku duduk di ranjang dengan peralatan menulis yang ada di genggaman tangan. Lalu, aku menarik nafas untuk bersiap melanjutkan menulis kesimpulan tentang hal yang menarik akan hilang ingatan ini.
6). Jika ingin mengingat masa lalu, sepertinya harus ada pemicu yang mendorong otak untuk menduplikat atau menggambarkan masa lalu lewat mimpi saat pingsan. Memang benar sebelum pingsan sudah ingat, tapi mimpi di pingsan itu sendiri yang akan memperjelas detailnya.
7). Ingatan yang berhasil kuingat, sepertinya semua itu berurutan berdasarkan tahun. Hal itu bisa kusimpulkan karena dua ingatan yang berhasil kembali berada pada lini waktu yang berurutan.
8). Aku ternyata memiliki sahabat bernama Yuukaru, dan Miyu ternyata berhasil selamat setelah kejadian bunuh dirinya dulu. Pertanyaanku, ke mana Yuukaru sekarang?
9). (Belum kutemukan fakta menarik lagi).
Aku menutup kembali catatan itu dan meletakkan miniatur bunga mawar tadi di samping lil—
Huh??!
"Hei jangan bercanda, di mana lilin itu??" gumamku kebingungan.
Pikir saja dengan positif, mungkin Miyu meminjam kunci ke You dan masuk ke kamarku. Alibinya bisa kuat mengingat dia telat datang tadi sore, besok akan kutanyakan saja kepadanya.
Berakhirlah hari kelima di dunia baru ini. Seperti layaknya bunga yang baru ditanam, ingatan ini akan terus tumbuh seiring dengan bertambahnya jam yang kulalui.
Hari yang melelahkan. Selamat malam.
Aku tidur.
Lalu, saat aku tertidur, mimpi itu tidak muncul.
Aku bertanya-tanya kenapa, biasanya aku selalu memimpikan hal yang sama.
Creation is hard, cheer me up!
Your gift is the motivation for my creation. Give me more motivation!