Libiena's Perspective.
.
.
"Batu, gunting, kertas!!"
Aku, Yuukiho, dan Miyu terlibat permainan ini untuk mempertaruhkan nasib kami. Siapa pun yang menang, dia akan duduk bersama Rii. Aku tentu saja tidak menyalahkan desain kereta itu, tapi sungguh menyebalkan ... kenapa hanya bisa menampung dua orang tiap barisnya?!
Menyebalkan sekali, ditambah lagi, aku kalah permainan ini. Miyu mengeluarkan gunting, Yuukiho mengeluarkan kertas, dan aku mengeluarkan kertas juga.
Sialan juga Miyu ini, dia datang secara tiba-tiba kemarin dan dia kini lebih mendominasi persaingan untuk mendapatkan Rii. Namun di sisi lain, aku benar-benar bersyukur bahwa dia masih bisa menemuiku dan kami masih bisa bersama.
"Yey!!? Aku menang, ya. Kalian berdua duduk di belakang nanti, biar aku tunjukkan apa artinya cemburu." Miyu tertawa mengejek.
"Sialan kau, ulangi lagi!!" ucap Yuukiho marah.
Yuukiho? Ini kita sudah kalah telak loh, kau pun sudah tahu bahwa ini adalah ketiga kalinya dia menang.
Aku memegang pundak Yuukiho, "Tenang saja Yuukiho, dia itu tidak akan melakukan hal yang membuat emosi," ucapku tersenyum.
"Kenapa?"
Aku tertawa kecil. "Hihi ... karena dia itu takut ketinggian."
"Benarkah—syukurlah jika seperti itu."
Aku menatap ke arah Miyu, dia memang takut ketinggian. Jelas sekali terukir di wajahnya yang lugu itu. Saat dulu juga, dia sangat takut ketika diajak Papa dan Mama naik kereta gantung.
Aku jadi kangen Papa sebelum jadi orang paling brengsek di dunia ini.
"Yah, meskipun aku takut ketinggian, tapi aku memiliki rencana yang mungkin akan membuat ingatannya kembali." Miyu menatap kami serius.
Sebenarnya, saat aku bertemu dengan Rii di alun-alun itu, perasaan ini sangat kaget. Aku saja baru saja sembuh dari rehabilitasi, tapi dia malah hilang ingatan. Apakah menyalahkan Tuhan adalah pilihan yang tepat?
Meskipun baru beberapa hari dia hilang ingatan, sepertinya itu bukan hal yang dapat diremehkan. Aku tidak ingin kehilangan sosok yang sangat berharga, hanya dia satu-satunya orang yang melihatku sebagai wanita biasa.
Aku tidak ingin kehilangan sosok pahlawan itu, sungguh!?
"Apa rencanamu, Miyu?" tanya Yuukiho.
Padahal Yuukiho sama sekali belum kenal dengannya, tapi dia seperti sudah kenal dekat dengan Miyu. Aku juga sama saja, hanya pernah bertemu Yuukiho beberapa kali saja karena rehabilitasi yang ketat.
Miyu menggunakan tangannya untuk membuat sebuah isyarat kepada kami untuk segera mendekat.
"Dengar Yuukiho, Kak Libiena, bukankah kasus hilang ingatan pada akhirnya akan tertuju pada satu hal ini?"
"Apa maksudmu, Miyu?"
"Begini, biasanya jika seseorang mengalami hilang ingatan, maka untuk mendapat ingatan itu kembali, diperlukan sesuatu yang bisa 'trigger' terhadap ingatan lamanya. Jika dilakukan berulang-ulang, maka akan ada kemungkinan ingatan orang itu akan kembali."
"Sesuatu yang berkaitan dengan ingatan lamanya? Berarti itu yang sering kita lakukan di ingatan lama Rii?"
Miyu mengangguk, sementara itu Yuukiho memegang kepalanya dengan serius.
"Aku sih pernah menciumnya berkali-kali, apakah itu akan membuatnya ingat kepadaku?" tanyaku.
"Kau ini ya, Kak Libiena, bukan hal yang seperti itu. Biasanya, momen dengan skala kelompok akan lebih berpengaruh daripada skala individu."
Ya maafkan kakakmu yang bodoh ini, Miyu.
"Bukankah kita tidak pernah bersamanya, ya? Maksudku, Rii itu bersama kita bertiga dalam waktu yang berbeda-beda, bukan?" tanyaku.
"Aduh aku baru ingat, kenapa bisa melupakan hal sepenting itu, sih!!" Miyu terduduk lemas.
"Aku mengerti!!!"
Yuukiho berteriak dan aku melompat kaget, begitu pun dengan Miyu.
"Meskipun kita tak pernah bersama, tapi bukankah masing-masing dari kita itu sering menjahilinya?"
"Itu dia!?" Aku dan Mii berteriak bersama.
Benar.
Aku, Miyu, dan Yuukiho memang baru dipertemukan beberapa hari yang lalu. Ada banyak alasan, seperti aku direhabilitasi, Miyu menghilang dan dinyatakan meninggal, hanya Yuukiho saja yang selalu bersama Rii, itu pun sepertinya hanya beberapa waktu belakangan ini. Namun di balik itu, masing-masing dari kami memiliki satu hobi yang sama, yaitu menjahili Rii.
Rii juga memiliki masa kelam, yang aku tahu adalah sosok kami bertiga secara perlahan bisa mengubah depresinya itu. Dahulu saat aku mencoba menjahilinya, dia tidak marah kepadaku dan hanya memberikan sebuah hukuman.
Pijat tubuhku!
Rii itu memang mesum sekali.
"Miyu, lakukan hal yang membuatnya khawatir dengan memanfaatkan ketakutan atas ketinggianmu itu!" Yuukiho berpendapat.
"Yokai, serahkan saja padaku." Kami bertiga tersenyum dan tertawa bersama.
Mungkin bagi orang lain akan menganggap kami bodoh karena memperebutkan satu lelaki. Mereka juga akan berpikir bahwa Rii adalah playboy kelas kakap, tapi anggapan itu benar-benar salah. Jika saja wanita di dunia ini mengetahui sisi malaikat Rii, maka mereka juga akan menyukainya.
Aku jamin itu.
Kami bertiga berjalan mendekati Rii yang sepertinya sudah membeli tiket untuk wahana itu. Semoga berhasil Miyu atas rencanamu itu.
Maverick's Perspective
.
Nama tokoh utama sekarang adalah aku, Maverick, ada tiga orang wanita yang menganggap diriku sangat berharga. Ingatan ini tidak bisa mengenali mereka, tapi sikap mereka seperti tidak masalah dengan itu.
Setelah kejadian tadi, aku berhasil menemukan mereka yang sedang berada di depan gerbang suatu wahana. Apa yang ingin mereka kunjungi setelah ini?
"Kalian bertiga, sudah cukup bermain-main denganku. Apa maksud kalian tadi?!"
Libiena berlari dan memelukku. "Aku juga korban mereka Rii." Pelukannya semakin erat.
"Pembohong, pengkhianat, apa maksudmu?!" Miyu menarik tubuh Libiena yang sedang memelukku.
"Sudah-sudah, kami lakukan itu karena ingin mencoba mengembalikan ingatanmu lagi, Mave."
Aku tidak ingin memperpanjang masalah, sekarang saatnya untuk bermain lagi.
"Lupakan itu saja!? Aku akan mencoba memaafkan kalian nanti. Pokoknya, sekarang kita cari wahana lain!!" teriakku menyemangati mereka.
"Yey!!!" Libiena saja yang berteriak.
"Loh, cuma perasaanku saja atau gimana ya, bukankah kau jadi seperti anak kecil kak?" Miyu menatapku heran, wajahnya tampak berpikir keras.
"Atau jangan-jangan, kak Libiena sudah menyebarkan virus kekanak-kanakannya?" Sekarang dia menatapku penuh khawatir.
"Abaikan ucapannya, sekarang ayo kita cari wahana yang lainnya!!"
Libiena menarik tanganku dan kami bertiga pun berjalan mencari wahana yang menarik.
Hingga di depan kami ada pemandangan yang menarik, pemandangan yang seolah-olah aura hitam telah menyelimuti kawasan ini.
Ghost Town.
"Woah!? Rumah hantu!?" Aku berteriak kegirangan.
"Ha-ha-hantu?"
Genggaman tangan Libiena padaku seketika terlepas. Apa—oh begitu, dia kan tadi malam juga lari terbirit-birit ketika melihat kain putih di pohon. Kesimpulannya, dia takut dengan hantu. Namun, apa yang harus kulakukan? Aku tidak memiliki dendam khusus kepadanya.
"Ayo kita masuk!" perintah Miyu.
You dan Miyu berjalan masuk ke dalam wahana itu, aku juga berjalan mendekati gerbang dan berniat menyusul mereka, akan tetapi Libiena itu masih terpatung dan tak kian melangkah.
"Ada apa?" tanyaku kepada Libiena.
"Huh? Apa maksudmu?"
Hah!? Apa maksudnya dengan bertanya 'apa maksudmu', ketika di raut wajahmu tercermin ekspresi yang ambigu itu.
"Meskipun aku baru dua hari bertemu denganmu, jangan anggap remeh perasaanku. Kau itu takut hantu, kan?"
Aku menatap Libiena serius, sesaat sebelum matanya berkaca-kaca.
"Makasih, Rii, iya ... aku takut hantu, sangat."
"Libiena, di belakangmu!!"
"Hiiih—ada apa?!"
Libiena berlari ke arahku dengan kencangnya, dia menerjang tubuhku dan memeluk erat. Aku suka dengan pelukan Libiena, seakan benar-benar merindukan pelukan itu. Terlebih lagi ada bantalan empuk yang mengenai dada bawahku—ehehe.
"Tidak ada apa-apa, aku kan hanya bilang di belakangmu, apakah ada yang salah dari kalimat barusan?"
Libiena melepaskan pelukannya dan menatapku kesal, kemudian berteriak dengan kencangnya.
"Bodoh!!!"
Aku tertawa meluapkan semua hal lucu yang baru saja terjadi. Namun sepertinya situasi tidak mendukung, banyak orang yang menatap ke arah kami. Aku tidak suka itu—ternyata mereka bukan hanya menatap ke arah kami, para lelaki hanya menatap ke arah Libiena.
Aku menarik tangan Libiena sedikit keras dan menuju ke wahana rumah hantu.
"Hei, Rii!! Tanganku sakit."
Aku mengabaikannya, hingga benar-benar tidak ada yang bisa melihatnya baru aku akan melepaskan tanganku.
"Nah itu Miyu dan You." Aku melepaskan tangan Libiena.
"Oi kalian berdua, kita sudah membeli tiket untuk kalian!!" teriak You.
Aku dan Libiena berjalan mendekati mereka, tapi dengan wajah pucat Libiena yang sangat tertera.
"Kak Maverick, dia kenapa?"
"Kau tahu sendiri, kan, Miyu, jangan bilang kau melupakannya?"
"Ups, ini rumah hantu, ya? Aku lupa—soalnya tempat ini tidak seram, sih ...."
Miyu sepertinya mencoba untuk membakar sumbu dari Libiena agar keluar dari zona takutnya, mungkin sama dengan apa yang You lakukan kepada Miyu.
"Hei Libiena, hantunya pasti tidak seram. Pukul saja jika bertemu dengannya nanti." You menajamkan matanya dengan tangannya yang mengepal.
.
.
Sudah satu jam aku dan tiga wanita mesum ini berkeliling di festival yang sedang berlangsung. Dua wahana telah kami coba dan bisa membuatku sangat senang. Namun berbeda dengan Miyu dan Libiena yang malah terlihat tidak menikmati wahana tersebut.
"Wah, Libiena beneran memukul hantunya hahaha, aku jadi kasihan kepada petugas itu!?" You tertawa hingga memegang perutnya.
Aku bisa melihat wajah Libiena yang memerah karena malu.
"Itu kan ... karena katamu pukul saja hantunya."
"Tapi aku tak menyangka Kak Libiena akan memukulnya beneran." Miyu mengikuti pembicaraan.
"Aku akan membalasmu karena memanfaatkan ketakutanku, Miyu!?"
"Uhh, aku diancam kakak sendiri. Jangan bilang kau sekarang jadi lebih penakut?"
"So—soal itu ... bukan urusanmu, dasar adik durhaka!?"
"Terima kasih, Kak Libiena, aku masih tidak bisa menyangka akan melihat senyumanmu kembali."
"Eh?? Miyu ... kau tidak perlu khawatir, dunia gelap kita sudah berakhir sejak kedatangan Pahlawan itu, kan?"
Mereka berdua mulai bercerita hubungan keluarga masing-masing, sementara itu aku dan You masih mendengarkan mereka dengan santai. Tidak ada salahnya melihat kakak-adik itu saling mengobrol urusan mereka.
Tak lama kemudian, pelayan rumah makan yang sedang kami singgahi meletakkan makanan yang kami pesan.
"Dua buah chicken katsu, satu buah udon, satu buah nasi goreng seafood, dan empat buah es dawet, ya, Kak?"
Aku kaget karena yang tadi aku hanyalah memesan air putih biasa, bukannya es dawet.
"Maaf, aku sepertinya tidak memesan es dawet, aku hanya pesan air putih."
Pelayan itu melihat kembali daftar pesanannya dan memberikannya padaku, "Sesuai, ya, Kak, mungkin teman Kakak yang menambahkan tadi." Pelayan itu berlalu pergi setelah memberikan senyumannya.
You yang bertugas untuk menyerahkan daftar pesanan itu ke pelayan, pasti dia pelakunya.
"You?" Aku menatapnya.
"Yah ketahuan deh—setidaknya dengan ingatan barumu itu, kau harus merasakan nikmatnya minuman lokal itu." You menutup mata kirinya dan mengacungkan jempol kepadaku.
"Benar itu, kau tidak melupakan bahwa dawet ayu ini adalah minuman khas kota ini, kan?" Miyu menambahkan argumen You.
Baiklah para Ratu, semoga ucapanmu itu benar.
"Oke Tuan Putri."
Bola mata ini mengamati mereka bertiga yang sedang makan, dan tentu saja aku juga sedang makan. Wanita dengan rambut putih emas itu adalah Libiena, di sampingnya ada wanita berambut Moccasin yaitu Miyu, kemudian adikku sendiri adalah wanita dengan rambut berwarna pirang sepertiku. Mereka memiliki gaya rambut masing-masing yang berbeda, tapi tentu saja itu yang menambah daya tarik mereka.
Ding-dong-ding-dong.
Tiba-tiba, suara dari speaker pengumuman terdengar, mengagetkan telingaku.
"Harap semua pengunjung segera meninggalkan tempat ini, Badan Penanganan Bencana mengatakan bahwa sudah terjadi gempa bumi pada 200 meter arah barat daya di dasar laut. Potensi tsunami akan sangat memungkinkan."
Speaker itu berhenti mengeluarkan suara untuk sementara.
"Selanjutnya kepada para warga sipil sekalian untuk menindaklanjuti risiko yang akan terjadi, diharapkan untuk segera menuju ke bunker A-G yang sudah sepenuhnya terbuka. Badan Penanganan Bencana memprediksi bahwa 20 menit lagi, kota ini akan berpotensi terkena tsunami. Mohon pengertiannya dan segeralah menuju ke bunker yang sudah disediakan."
Speaker itu benar-benar mati sekarang.
Aku masih bingung akan hal ini, tsunami, bunker, gempa bumi? Apa maksudnya semua itu? Bukankah gempa yang dimaksud reporter kemarin dulu itu tidak akan menyebabkan tsunami?
"Hei Mave, jangan bengong!!" You berteriak kepadaku.
Aku melihat sekeliling dan orang-orang sedang berlarian keluar rumah makan ini. Katakan kepadaku bahwa ini hanyalah sandiwara kalian bertiga, tidak mungkin kan akan terjadi tsunami?!
Aku ini tidak mengingat kehidupan lama, kenapa dunia baru di mana aku ingin merampas kembali ingatan lama ini akan terjadi tsunami? Bohong, kan? Hei kalian bertiga, katakan kepadaku!?
"Mave!! Sadarlah, jangan memikirkan apa pun selain pergi ke bunker dulu!!"
Aku tersadar dari lamunan dan berlari mengikuti mereka bertiga yang secara kompak menarik tangan ini. Betapa memalukannya, berlari saja ditarik dengan tiga orang wanita.
"Aku sudah baik-baik saja, ke mana kita akan pergi?" Aku melepaskan genggaman tangan mereka satu-persatu.
"Kita akan ke bunker B," balas You.
Suasana di luar benar-benar buruk, semua orang panik dan berlarian ke sana-sini sembari berteriak memanggil nama seseorang yang mereka kenal. Namun kenapa rasanya aku seperti mengalami sebuah Deja Vu? Aku merasa pernah berlari di kondisi chaos seperti ini dengan seseorang, tapi siapa? Kenapa aku mengingat tayangan aneh itu meskipun sekejap?
Kami berempat berlari menjauhi tempat festival berada, lalu apakah makanan tadi itu gratis? Hei—kenapa aku malah memikirkan itu? Sekarang yang lebih penting adalah kota ini akan berpotensi terkena tsunami, sebelum itu terjadi, kami harus mengungsi di bunker.
Apa ini? Tiba-tiba gempa bumi terjadi, hei—bukankah ini terlalu besar untuk ukuran gempa bumi??
Lantas, kami berempat langsung berhenti berlari dan menunduk dengan menutupi kepala dengan kedua tangan. Untung saja, kami berada di jalan raya, yang mana hanya terdapat mobil dan beberapa tiang listrik di area ini, sehingga akan sedikit aman dari benda terjatuh.
Huh?! Sudah berhenti? Aku tidak mengira bahwa gempa itu akan terjadi di kota juga. Tunggu—aku tidak salah dengar berita, kan? Gempa yang akan terjadi itu harusnya benar di kota, bukan terjadi di laut, itu yang reporter katakan saat itu. Lalu, kenapa tadi ada gempa di laut juga?!
Ini sebabnya tidak perlu percaya kepada berita 100%.
"Rii!? Ayo kembali berlari, jangan duduk saja."
Benar. Kenapa dari tadi pikiranku malah berpikir yang tidak penting, sih? Nyawa ini sedang dipertaruhkan, dasar bodoh!!
Aku kembali berlari mengikuti mereka bertiga yang berjarak 2 meter sedang menuntun jalan ke bunker B berada.
Krieettt.
Aku mendengar suara benda ingin jatuh. Tidak!? Ada tiang listrik yang kira-kira berada 50 meter di depan itu akan jatuh. Aku ingin berteriak ke mereka, tapi mereka terlalu fokus pada jalan di depannya. Mataku terus melihat tiang itu yang semakin kehilangan keseimbangannya.
Syukurlah kami berhasil melewati tiang itu meskipun mereka bertiga tidak memedulikannya.
Bruakkk!!!
Sudah jelas suara itu dihasilkan oleh tiang listrik yang jatuh di belakang kami. Mereka bertiga kompak berhenti dan menoleh ke belakang, mungkin untuk memastikan benda apa itu yang terjatuh.
"Terus lari, kita tidak tahu kapan tsunami itu terjadi!!" Aku berteriak pada mereka.
Kami melanjutkan perjalanan hingga menuju ke suatu lahan yang ramai akan warga sipil. Sudah dipastikan bahwa ini adalah bunker yang kami tuju. Aku tidak bisa menggambarkan bagaimana paniknya penduduk dan juga kami sendiri, pengumuman itu terjadi secara tiba-tiba.
Di depan sana, aku bisa melihat sebuah bangunan berlapis baja yang terlihat sangat kokoh. Bangunan itu dijaga oleh puluhan tentara yang sedang mengatur masuknya warga sipil.
"Nona Satourii, bagaimana kabarmu?!" Tentara yang bertugas menjaga pintu bunker memberi hormat kepada You.
Apa-apaan itu? Nona?
"Tuan Maverick!! Lama tak bertemu!!"
Sungguh aku tidak tahu, apakah tentara ini mengenal kami berdua?
You membalas hormat yang diberikan tentara itu. "Aku dan Mave baik-baik saja, bicara saja di dalam saat suasananya sudah normal, izinkan kami masuk, Letnan!!"
"Baik!!?"
Heiheihei, apa sih yang terjadi?? Aku tidak salah dengar, kan? Tentara itu berpangkat Letnan, loh?! Apa yang membuatnya memanggil kami dengan sebutan seseopan itu?
"Ayo cepat masuk, Mave!"
Sebelum aku benar-benar masuk ke dalam bunker, di pintu masuk bunker itu terdapat tulisan 'Bunker B Project Safety' tertera jelas sekali. Kemudian saat aku berhasil memasuki pintu, aku bisa melihat tangga yang menuju ke bawah tanah. Mereka bertiga langsung turun ke bawah secara bergantian dengan orang lain.
Aku bergegas menuju ke tangga itu sebelum sesaat mata ini melihat sebuah pajangan pada dinding. Aku mengurungkan niat menuruni tangga dan melihat pajangan itu. Pajangan itu berupa foto yang berisi dua orang sedang berjabat tangan di depan sebuah bangunan. Mata ini melirik ke arah bawah foto, terdapat dua tanda tangan yang tertera.
Kyla Ceraft dan Vitaliy Satourii.
Satourii ... bukankah itu marga keluargaku? Aku menajamkan mata ini melihat sosok lelaki yang berada di foto tersebut. Cepatlah dalam memproses ingatan wahai otak—aku masih tidak mengenalinya.
Bukannya otak ini memproses dengan benar, ia malah membuat tubuh ini tidak karuan. Aku pusing, aku mual, aku tidak bisa berdiri dengan baik.
Secara perlahan aku mengerti sekarang, penyebab kenapa sosok Letnan di depan tadi memanggil kami dengan sopan. Alasan aku merasa kejadian ini seperti sebuah pengulangan, dan kini aku paham mengenai sedikit masa lalu yang hilang hilang itu.
"Oh ... jadi begitu. Aku mengerti sekarang, Mom, Dad, kenapa kalian pergi begitu ce—"
Setelah itu, mataku tidak bisa mendeteksi apa pun. Sudah dipastikan, aku pingsan lagi. Mungkin setelah mengingat itu, otak bodoh ini juga akan segera merebut kesadaranku.