CHAPTER III
SCARLET SKY
♦
"Aku tidak mengetahui apa itu artinya sebuah kilauan yang benar-benar bersinar, perlukah aku menghapus segala hal yang gelap hanya untuk melihatnya? Ataukah memang aku tidak ditakdirkan untuk melihatnya oleh Tuhan."
♦
Ⅰ
DAY 3
Langit yang ada di timur itu masih berwarna merah tua, Matahari tentu saja belum menampakkan dirinya. Aku dan You sedang bersiap untuk berangkat menuju ke kampus untuk mengikuti Ospek.
"You, kita ke kampus mau jalan kaki?" Aku masih sibuk mengikat tali sepatu.
"Gila betul, jarak kampus ke rumah kita itu ibarat dua kali jarak rumah kita ke alun-alun kota tau!"
"Lalu, apakah ada angkutan umum di pagi buta begini?"
"Kita naik mobil peninggalan Dad." You mengulurkan tangannya dan aku menggapainya.
Bagaimana ini, aku tidak tahu cara mengemudikan mesin dengan roda empat itu. Jika aku yang mengemudi, bisa-bisa bukannya pergi ke kampus, kami malah pergi ke rumah sakit. Aku benar- benar melupakan caranya.
"Cepat masuk, Mave! Biar aku saja yang mengemudi." You membuka pintu mobil dan mulai menyalakan mesinnya.
Tunggu—dia beneran bisa? Heiheihei—ini taruhannya nyawa, loh, mana mungkin aku bisa percaya kepada You yang kerjaannya hanya menjahili tubuh ini.
"Kau benar-benar bisa? Jika tidak, ayo kita cari angkutan umum saja!" Aku terpaksa memasuki mobil dan duduk di samping You.
"Serahkan saja padaku!? Jika nanti terjadi apa-apa, salahkan saja dirimu. Karena kau yang mengajariku mengemudi dulu, hehe."
Sialan!!
Apa yang harus kulakukan? Mengikuti arah takdir? Atau melawan arah takdir? Seseorang tolong tubuh lemah ini.
"Jangan bercanda, You!! Aku baru tiga hari di dunia ini, jika kau membuatku mati di sini, maka hidupku hanya sebatas tiga hari saja!!" Aku menatap You yang sudah mulai memacu mobil ini.
"Tiga hari? Apa maksudmu?"
"Bukankah dengan ingatan baruku, berarti sama dengan hidup baruku? Masa kau tidak mengerti?"
"Heh ... tapi aku merasa kau tetap hidup selama 20 tahun, dan tiga hari itu hanya mimpi buruk."
"Aku akan sangat senang jika ini hanya mimpi buruk, sayangnya kejadian ini nyata."
Aku melihat jam yang ada di tangan You mulai menunjukkan pukul 4 pagi, panitia Ospek harus datang lebih awal daripada peserta. Namun, You memaksa untuk ikut bersamaku, mana mungkin aku bisa menolaknya, kan?
Mobil ini berjalan melalui tenangnya suasana pagi hari kota, terlihat bahwa jalanan ini masih sepi dari urusan duniawi.
"Anggaplah semua ini mimpi buruk, Mave. Jadi jika waktunya kau sadar nanti, mimpi ini akan segera terlupakan. Mana mungkin ada orang yang ingin mengingat mimpi buruk, kan?" tutur You.
Benar juga, mana ada orang yang ingin mengingat tentang mimpi buruk. Saat aku menganggap hilang ingatan ini adalah mimpi buruk, maka saat ingatan yang tersesat itu pulih, maka otak ini langsung bisa melupakan mimpi buruk yang sedang terjadi.
Ide yang sangat brilian You, aku akan mencobanya. Tumben sekali otakmu berguna, You.
●●●
Mobil kami telah memasuki area yang mungkin disebut dengan kampus, sorot lampu mobil dan motor berserakan di mana-mana.
"You, awas!!" Mobil kami tersenggol oleh motor yang datang dari depan.
Apa-apaan motor itu, kenapa dia melajukan motornya dengan cepat. Sudah tahu ini area sempit yang hanya bisa diakses beberapa kendaraan.
"Bang*at!! Semoga dia dapat karmanya!?" You menoleh ke belakang dan mengumpat.
Gila, You berkata kasar!?
Aku terkejut melihat sosok di samping itu, lagi-lagi kalimat trauma pada lelaki tidak bisa melekat dengan benar di otakku.
"Hush, sudah terus jalan saja," ucapku menenangkan You.
Saat You mulai memasuki tikungan menuju ke suatu area, aku sepertinya mengingat area itu. Ya benar, aku mengingat tempat ini.
Fakultas Hukum.
You masih melajukan mobil ini, sepertinya dia ingin menuju ke tempat parkir, seolah dia sudah tahu seluk-beluk tempat ini. Lorong parkir yang berada di bawah tanah ini hanya dihiasi oleh cahaya remang-remang berwarna putih. Namun ada pos sekuriti di sini, jadi tidak perlu takut akan hantu ataupun sejenisnya itu.
You melajukan mobil ini menuju pos sekuriti itu, sepertinya untuk mengambil tiket parkir.
"Hei apa kabar, Rick? Kapan kau akan mengajariku MMA lagi?" Satpam itu menatapku sembari memberi kertas kepada You.
Ah ... maaf, aku tidak ingat kau Pak Tua, jadi lupakan saja diriku.
Mana mungkin aku akan berkata begitu, kan?!! Apa yang harus kulakukan?
You menyikut tanganku dan mengisyaratkan sesuatu. "Sapa saja!"
"Ah iya, Pak, besok-besok aku akan ajari lagi itu ... NNA ... atau sejenisnya itulah!? Ahaha …." Aku menggaruk kepala dan tersenyum.
"Hei Dik, apa Rick sedang sakit? Yang benar itu MMA bukan NNA, kan?" Satpam itu bertanya kepada You dengan heran.
"Ah ti—tidak, Pak, dia me—mang kalau pagi sering begini, nyawanya ma—sih belum terkumpul."
Sialan!? Padahal bicara saja terbata-bata, tapi dia selalu memanfaatkan setiap kesempatan untuk mengejekku.
"Aku baru tahu ... baiklah jika begitu. Hati-hati parkirnya, ya. Sampai nanti Rick!!" ucap satpam itu.
"Ya terima kasih, sampai nanti, ehehe ...." Aku kembali menggaruk kepala.
You melajukan kembali mobil ini mencari tempat kosong untuk mobil.
"You, siapa dia?"
"Mana kutahu, kan aku baru kuliah hari ini."
Kenapa aku bisa berteman dengan orang tua itu? Lalu tadi dia memintaku untuk mengajarinya ... apa itu ... NNA? Bukan— sepertinya ... MMA? Ya itu dia—MMA.
Benda apa itu MMA?
"You, MMA itu apa?"
"Hah?! Kau tidak ingat??"
"Beritahu saja, aku tidak tahu benda apa itu."
"Mau detail atau ringkas?"
"Biasa."
You menghentikan mobilnya karena sudah mendapat tempat yang cocok untuk parkir.
"Tidak ada pilihan itu, bodoh!"
"Singkat, cepat jelaskan!!"
"Kau lihat tubuhmu? Bukankah sudah penuh dengan otot?"
"Iya." Aku mengangguk.
"Menurutmu kenapa kau memiliki alat olahraga di kamarmu? Itu tidak lain untuk memperkuat tubuhmu."
"Lalu?"
"Apakah menurutmu dengan modal badan berototmu itu, kau sudah bisa melindungiku?"
You, bisakah kau langsung ke intinya? Aku sungguh tidak ingin memperpanjang dialog di tempat sunyi ini, loh.
"Mungkin belum?"
"Tentu saja tidak cukup, badanmu itu adalah sebuah hardware. Lalu MMA itu adalah sebuah software, beladiri yang kau pelajari sejak saat kecil. Mix Martial Arts atau seni beladiri campuran." You membuka pintu mobil.
Aku merenung sejenak. Mata ini juga memandang You yang sudah turun dari mobil, langkahnya itu terlihat melalui kaca depan mobil.
Klunk.
Begitu, ternyata MMA itu beladiri yang kutekuni. Pantas saja satpam itu memintaku untuk kembali mengajarinya MMA.
Mana mungkin satpam itu meminta tubuh ini untuk mengajarinya hitung-menghitung, kan?
Jarak You sekarang sudah agak jauh, tentu saja aku harus segera menyusulnya, tapi—
"Hei, You, aku terkunci, sialan!!!" Aku berteriak dan mencoba membuka pintu mobil akan tetapi tidak bisa.
"Hahaha!! Kau di dalam saja sudah. Siapa suruh tidak ikut keluar mobil." You melihatku dari luar mobil dan tertawa.
"Hei tolong buka pintu ini, You, aku mohon. Bagaimana jika ada makhluk lain masuk ke mobil ini?" Aku menggedor-gedor kaca mobil.
"Bo—bodoh, jangan bilang yang tidak-tidak!?" You menekan sesuatu di tangannya.
Klunk.
Pintu mobil ini akhirnya bisa terbuka, aku langsung berlari menghampiri You.
"Nakal, ya, sekarang!!" Aku mencubit pipi You.
"Heentiikan iituu!!"
Aku berhenti mencubitnya setelah dia mengeluarkan kalimat yang tidak jelas, tapi tentu saja kemarahan di tubuh ini belum usai.
Waktunya untuk balas dendam!?
"Cup-cup, jangan menangis, ya!" Aku mengusap rambutnya berkali-kali.
"Duh … rambutku jadi berantakan!" You menyilangkan tangannya dan merengus kesal.
"Aku tidak peduli. Kau yang memulai, kan?"
"Duh!!! Mave, dasar bodoh!!!"
Padahal dia yang tadi mengunciku di dalam mobil, tapi sekarang, malah dia yang marah.
Dasar You aneh.
●●●
Aku masih bersama You berjalan menuju ke gedung Prodi, tujuannya adalah mencari Libiena. Tepat sekali, aku sangat membutuhkan bantuan Libiena untuk menjelaskan kondisi yang kualami sekarang kepada yang lainnya.
"Rii, Yuukiho, sebelah sini!!"
Suara itu familiar untukku, itu suara Libiena. Aku mencari sumber suara itu sebelum sesaat You menyenggol pinggangku.
"Itu di lantai dua." You menatapku dan mengacungkan jari telunjuknya ke arah Libiena.
Lantai dua? Kenapa kata itu membuatku merasa ketakutan? Aku menatap ke arah You dengan wajah melas.
"You? Lantai dua?"
"Iya, itu Libiena ada di lantai dua."
Aku tahu, aku tahu itu!! Tapi bukan itu masalahnya!!!
Saat keringatku mulai mencoba untuk keluar, suara Libiena berhasil menahannya.
"Tenang Rii, di kampus ini tidak ada eskalator."
Safe ....
Napasku mengalir lega, keluar melalui hidung dengan semestinya. Akhirnya tidak ada mesin penggiling itu di tempat ini.
Syukurlah.
You menggandeng tanganku dan mulai mencari di mana letak tangga berada. Hatiku sungguh bersyukur, di depan sudah ada tangga dan—itu bukan eskalator.
"Rii, Yuukiho, aku rindu pada kalian!?" Libiena memeluk kami berdua tanpa malu.
"Hei malu dilihat orang lain." Aku melepaskan pelukannya.
"Hmph!! Bagian mana yang bikin malu jika berpelukan dengan kekasihnya sendiri?!" Libiena merengus dan membuang muka dariku.
Aku mencubit pipinya yang sedang mengembung itu, "Jangan marah, karena mukamu itu selalu ingin kucubit saat sedang marah," ucapku.
"Rick!!"
"Mave, Libiena, kita bisa lanjutkan urusan ini di rumah nanti. Kalian berdua sudah dipanggil teman, tuh." You menengahi kami berdua.
Kami bertiga menghampiri orang yang memanggilku, siapa dia? "Rick, sudah hampir jam setengah lima. Ayo kita mulai lima belas menit lagi!" Lelaki di depan menepuk bahuku.
"Iya, ayo kita bersiap," balasku.
Aku sebenarnya tidak tahu siapa dia, hanya mengikuti alurnya saja. Lagi dan lagi, tidak mungkin jika aku mengatakan bahwa tak kenal dirinya.
"Oh ya, adikmu lebih baik mulai mencari teman dan kelompoknya," ucap lelaki itu.
Sepertinya di kehdiupanku dahulu, aku sering menceritakan tentang You kepada teman-teman, karenanya mereka paham bahwa wanita itu adalah adikku.
"You, kau tidak apa jika mulai mencari temanmu? Jangan takut!? Seperti yang kau katakan tadi, anggap saja masa SMA yang kau lewati itu hanya sebuah mimpi buruk." Aku mengelus-elus kepala You.
"Apakah … tidak apa-apa?" You menundukkan pandangannya.
Aku melihat kondisi You, dia benar-benar beda dari sosok aslinya ketika membicarakan orang lain. Rasa trauma yang dialami You seolah menusuk ke tulang terdalamku. Aku juga bisa merasakan rasa sakit itu.
"Yuukiho, saat ini kau sudah kuliah dan di sini bukan lagi SMA. Jangan takut berbicara pada seseorang. Jika ada yang macam- macam denganmu, panggil saja Rii. Benarkan, Rii?" Libiena mencoba menenangkan You.
Aku menganggukkan kepala untuk menjawab pertanyaan dari Libiena.
"Baiklah, aku akan berusaha. Sampai nanti kalian berdua." You melambaikan tangannya dan berlari menuju tangga.
"Selamat berjuang, You!!" ucapku.
Aku menatap Libiena dengan heran, kenapa dia bisa menyuruh You untuk tidak takut berbicara kepada seseorang. Namun Libiena sendiri sepertinya takut berbicara kepada seseorang?
Aneh.
"Hei Libiena, bukankah kau juga takut berbicara pada seseorang? Kenapa kau menasehati You dengan kalimat itu?"
"Umm, itu ...." Wajahnya kaget dan berubah sedikit pucat.
Gawat, jadi benar dia takut berbicara kepada seseorang? Sepertinya memang benar dia ini memiliki masa lalu yang tidak jauh beda dengan You.
"A—aku hanya takut pada orang yang lebih tua dariku." Libiena menatap ke arah lantai.
"Sudah lupakan itu, sepertinya kau memiliki masa yang kelam seperti You." Aku mengusap punggung Libiena.
"Rick siscon!! Rick siscon!! Rick siscon!!" Suara di belakangku memecahkan suasana.
Apa itu siscon? Siapa suruh mencontek? Seburuk itukah aku di kampus ini—hingga menjadi daftar hitam di kampus?
"Hei Libiena, siscon itu apa?" Aku menatap Libiena dengan heran.
"Pecinta adik sendiri." Libiena membalasku dengan senyuman.
Aku terdiam tanpa kata, jadi hal yang selalu menghantui otak ini saat You kerap menggodaku, nama lainnya adalah siscon? Sama sekali tidak ada kamus itu di otak lama, hanya ada kamus pecinta adik sendiri.
Ilmu baru.
"Hei kalian, jangan meledek Rii, ya!!" Libiena menarik lenganku dan menghampiri mereka.
"Hahaha!! Dia memang siscon. Rick sang siscon, di balik gelarnya yaitu sang singa petarung." Mereka tertawa secara bersamaan.
Gelar apaan itu? Terdengar menggemaskan.
Sepertinya mereka adalah teman-teman di Komisi Kedisiplinan ini, ada enam orang di depan. Berarti total dari komisi kedisiplinan ini berjumlah delapan orang.
Baiklah, meskipun tidak tahu siapa mereka, setidaknya aku tahu tugas komisi kedisiplinan ini. Terlebih lagi, aku memiliki kartu AS di sini, yaitu Libiena.
"Rick, ayo kita mulai!!" ucap wanita di sebelah Libiena.
"Baiklah, Libiena, tolong beritahu mereka arahannya!" Aku menyenggol bahu Libiena.
Libiena mengangguk paham. Lalu, dia mulai menyuruh kami untuk berbaris dan mengumandangkan arahannya kepada kami.
"Jadi, mari kita buat adik tingkat itu mengerti apa itu arti sebuah kata 'disiplin', jika ada yang melanggar di antara mereka. Jangan ada kekerasan, batas maksimal kita hanya bentak dengan tegas. Lain halnya jika mereka yang melakukan kekerasan, kita boleh membalasnya, tapi dengan pelan. Mengerti semua?" Libiena memulai komandonya.
"Siap, Bu!!?" Jawab kami serentak.
"Ospek kita tidak aneh-aneh, mereka tidak disuruh untuk memakai hal bodoh yang membuat diri mereka malu. Mereka hanya memakai kemeja dan sabuk dengan sepatu yang rapi, jika mereka tidak bisa memenuhi peraturan sederhana itu, maka mereka termasuk orang yang tidak bisa taat peraturan. Kalian mengerti?!!" tegas Libiena.
Libiena tampak seperti sosok yang benar-benar layak dihormati. Benar-benar seperti bunga mawar ungu yang sangat layak untuk dijunjung keindahannya. Rambut putih—perak emas itu layaknya tangkai bunga yang patut untuk dilindungi.
"Siap, Bu!!?"
"Cukup sekian, pagi ini tugas kita hanya memeriksa mereka akan peraturan sederhana tadi. Bubar!?"
"Siap, Bu!!"
Kami yang memiliki delapan anggota langsung turun menuju lapangan fakultas untuk memulai aksi kami. Apalagi kalau bukan memberi adik tingkat arti kata 'disiplin'.
Sejenak aku berpikir, ternyata Ospek di universitas ini tidak seburuk yang dibayangkan. Tidak ada kata mempermalukan mahasiswa baru atau sejenisnya, melainkan hanya menancapkan kata disiplin akan peraturan.
Ospek dimulai.
Benarkah Ospek ini aku ketuanya? Kenapa aku tidak percaya, ya? Lihat saja, Libiena jauh lebih pantas untuk menjadi ketuanya.