"Aku akan terus bersamamu."
Amy memasang wajah bingung dan tidak mengerti.
"Aku akan terus bersamamu, sekarang dan seterusnya. Aku akan menemanimu sampai kapan pun."
"Sampai kapan?"
"Sampai kita dewasa, sampai kita sudah cukup dewasa untuk menjadi sebuah keluarga.
Sampai aku cukup dewasa untuk membuatmu jadi milikku. Karena itu…aku akan menjagamu. Aku tidak akan melakukan hal yang belum boleh kulakukan padamu. Aku akan menjaga diriku untuk tidak melakukan hal yang bodoh pada masa depanmu. Kau tahu? Aku berjanji pada diriku sendiri agar tetap pada batasan. Aku tahu kita tinggal bersebelahan seperti ini. Tapi aku tidak ingin memanfaatkannya. Karena itu aku akan menjaganya. Aku menjaga agar diriku tidak keluar batasan dan melakukan sesuatu yang tidak sepantasnya padamu. Bisakah kau mempercayaiku?"
"Tentu saja," jawab Amy ringan.
Alfa mengerjap ngerjapkan matanya heran mendengar Amy menjawabnya dengan cepat dan percaya diri.
"Emmm…kau paham apa yang aku katakan kan?" tanya Alfa.
"Hehe maaf. Aku tidak begitu paham, tapi mendengar kau berbicara serius kupikir itu pasti sangat penting. Jadi aku akan percaya padamu. Aku percaya pada Alfa apapun yang kau lakukan."
Plak!
Alfa seolah menampar dirinya sendiri di dalam hati.
"Bagaimana bisa gadis ini tidak mengerti apa yang kukatakan? Aaiishh astaga!" jeritnya dalam hati. Toh apa yang ia ucapkan panjang lebar, Amy tidak akan mengerti.
'"Haha, baiklah." Alfa tertawa garing. "Terima kasih sudah percaya padaku."
Tiba tiba Amy mendekat dan memeluk Alfa. Alfa terkejut, namun ia membalas pelukan Amy, ia mengelus puncak kepalanya sembari tersenyum senang.
"Aku tahu banyak yang kau khawatirkan. Tapi aku bersyukur ada kau bersamaku. Bukankah kita harus menikah suatu hari nanti?"
"E..eh?"
Alfa melepas pelukannya lalu menatapnya bingung.
"Aku bercanda, haha."
"Bercanda?"
"Kau tidak tertawa?" Amy kecewa.
"Jangan bercanda seperti itu. Karena aku lebih suka jika yang kau katakan tadi bukan candaan."
Amy tertegun mendengarnya. Wajahnya memerah.
Cup!
Alfa mengecup bibirnya dengan secepat kilat.
"Ayo menikah suatu hari nanti," ajak Alfa. "Aku akan melamarmu dengan benar kalau kita sudah dewasa nanti."
Amy tidak bisa menahan senyumnya. Ia melipat bibirnya ke dalam dan menunduk senang. Alfa merengkuh tubuhnya , lalu memeluknya lagi dengan lembut.
Krwwwuukk
Tiba tiba terdengar bunyi perut Amy. Amy terkejut dan memegang perutnya panik. Alfa menatapnya, keduanya hening sejenak, lalu saling melempar tawa satu sama lain.
"Kau lapar?" tanya Alfa sembari tertawa.
"Tidak. Siapa yang lapar,"
Alfa sadar Amy masih m elak Amy. Ia menahan mau di wajahnya.
"Mukamu merah tuh, haha."
"Tadi itu bukan suara perutku, sialan!" Amy memukul mukul lengannya.
"Iya iya, aku akan pura pura tidak mendengarnya," Alfa masih menahan tawanya dan berlari menghindar dari pukulan maut Amy.
Alfa sadar Amy masih memakai handuk, ia lalu berlari keluar dan menutup pintunya.
Brak!
"Alfa sialan kau!" teriak Amy di dalam.
Ia sengaja keluar agar Amy bisa segera mengganti bajunya.
"Aku tunggu di luar," teriak Alfa.
"Apa?"
"Ayo belanja."
"Ha? Belanja?"
"iya. Cepatlah. Aku tunggu."
***
Di supermarket.
"Kenapa kita tidak makan di luar saja?" tanya Amy sembari mendorong troli, sedang Alfa memilih bahan bahannya.
"Tenang saja. Aku yang akan memasak. Aku tahu kemampuan masakmu buruk."
"Apa? Kau mengejekku? Sial!"
Alfa tertawa kecil.
"Kenapa tiba tiba kau ingin memasak?"
"Aku ingin kau makan masakan rumahan sekali kali. Jangan junk food melulu. Itu tidak sehat."
"Kan bisa order makanan, mereka akan datang sendiri."
"Ckckc." Alfa menatapnya sembari menggeleng miris.
"Kenapa?"
"Pokoknya kau akan kuajari memasak, titik."
"Tidak mau! Apa kau ibuku? Cih."
Alfa tidak menggubris keluhan Amy, karena sibuk memilih bahan makanan di rak. Amy melihat Alfa sangat serius memilih bahan bahan yang bagus di rak. Tomat segar, sayuran, buah buahan dan lainnya. Ia akui Alfa memang cermat ketika berbelanja, buktinya dia yang lebih sering ke supermarket dari pada Amy, menata bahan makanan di kulkas dan almari dapur, mengecek semua kebutuhan pokok seperti seorang ibu.
"Haruskah kita menikah lebih awal?" Amy tiba tiba nyeletuk tanpa pikir panjang.
Alfa terkejut, ia menatap Amy dan tidak percaya ia akan mengatakannya semudah itu seolah sedang mengajak pergi ke sekolah.
Tanpa sadar ada dua ibu ibu yang sedang mengobrol tidak jauh di samping Alfa uang juga tengah berbelanja bahan makanan.
"Kau ini bicara apa sih?" Alfa mendapati dua ibu ibu itu menatapnya aneh sembari senyum senyum. "Ini kan tempat umum." bisiknya.
"Kenapa? Apa ada yang salah? Kan kau tadi yang mengajaknya menikah."
Sontak dua ibu ibu itu menatap mereka berdua lagi dengan tatapan yang kita semua sudah tahu apa artinya.
"Anak zaman sekarang memang sangat terang terangan ya, bunda," bisiknya salah satu dari mereka.
"Ahaha, iya. Lihatlah mereka. Bukankah keduanya masih sangat muda. Sepertinya mereka berdua masih sekolah, kalau tidak ya paling usianya baru 20 tahunan."
"Dulu di zaman kita jangankan pacaran di depan umum, surat suratan saja harus mengumpulkan keberanian yang sangat besar. Itu membuat hati berdebar. Anak zaman sekarang pasti tidak mengerti itu."
"Iya, namanya juga anak muda. Mereka punya zamannya sendiri. Sepertinya mereka seumuran dengan anak kita."
Keduanya berbisik bisik sembari menahan tawa melihat Alfa dan Amy.
Alfa hanya mengangguk sopan ketiak mereka tidak sengaja bertatapan mata satu sama lain.
Dua ibu ibu itu melewati mereka berdua dengan menahan tawa. Alfa sangat malu, sedang Amy bahkan tidak menyadarinya, ia masih biasa saja dan menganggap tidak ada yang aneh dari percakapannya.
"Apa kalian pacaran anak muda?" tanya ibu ibu itu.
"Ah anu begini bu…" Alfa garuk garu kepala. Ia berusaha menjawab dengan sopan.
"Iya, kita memang pacaran." jawab Amy sumringah, tanpa beban.
"AMY!!!!" teriak Alfa dalam hatinya. "Bisakah kau diam saja. Aaargghhh!" Alfa mematung menatapnya.
"Kalian masih terlalu muda untuk memutuskan menikah."
"Ah tentu saja tidak, haha. Ini tidak seperti yang ibu ibu pikirkan." Alfa berusaha membuat ibu ibu itu membuang pikirannya.
Namun ibu ibu itu malah memberinya wejangan atau nasihat. Alfa dan Amy terpaksa mendengarkannya. Dua ibu ibu itu saling bergantian memberi nasihat
"Menikah itu perlu kematangan semua aspek, Nak. Kesiapan mental, hubungan keluarga dan yang paling penting kesiapan finansial, jangan hanya mengandalkan cinta. Cinta tidak akan membuat kalian kenyang. Jika kalian bertambah usia nanti dan memiliki anak namun finansial kalian tidak berjalan baik, kalian pasti akan menyesal karena memutuskan menikah dini," kata ibu ibu yang pertama.
"Iya betul. Meskipun kalian anak orang kaya dan orang tua kalian masih hidup dan membiayai kalian. Apa kalian akan terus tergantung pada mereka?" timpal yang satunya.
"Kalian juga masih kecil, nikmati saja masa remaja kalian, jika nanti sudah berumah tangga, perempuan akan menghabiskan waktunya di rumah dan mengurus anak begitu juga yang laki laki tidak akan ada waktu bermain, karena harus bekerja untuk anak isterinya. Kalian tidak boleh menyia-nyiakannya."
"Apalagi sekarang banyak yang terjerat pergaulan bebas. Kalian berdua harus berhati hati dan jangan melewati garis saat pacaran."