"Tadi kau bilang dia psikopat pembunuh berdarah dingin kan?"
"Aku hanya khawatir dia bersekutu dengan polisi."
"Dasar bodoh! Jika dia bersekutu dengan polisi kau sudah ada di penjara sejak dulu. Apa kau takut pada manusia biasa sekarang?""
"Sudah kubilang dia bukan manusia biasa."
"Kalau begitu kuubah pertanyaanku, kau takut bertemu dengannya lagi?"
"Jadi orang itu, yang bernama Arvy, harus kita apakan?"
Okta terdiam berpikir. Ia mengelus elus dagunya.
"Orang bernama Arvy itu, sepertinya dia cukup bahaya jika kau bertemu lagi dengannya. Dari ceritamu sepertinya dia tidak akan membiarkanmu kabur lagi kalau melihatmu."
Valen menelan ludah dengan susah payah. "Benarkah begitu?"
"Tapi dia bukan ancaman untuk organisasi kita. Dia hanya punya dendam padamu, mungkin si Alfa itu bukan saudaranya, tapi teman atau kerabat jauh atau hanya seseorang yang dikenalnya."
"Jadi aku hanya perlu bersembunyi agar dia tidak menemukanku kan?"
"Kau takut padanya kan?"
"Eh.. eh itu…"
"Siapa bilang kau hanya perlu bersembunyi darinya?! kau harus bersembunyi dari seluruh orang di negara ini, kau lupa kalau kau buronan? Sialan kau! Berhentilah membuat bebanku bertambah."
"Ma maafkan aku pilar nomor 2."
"Aiiishhh kau ini. Kau harusnya ke rumah bordil dan jadi Valentina saja."
"APA? Apa anda bercanda?!"
"Kalau begitu kau mau ke sana beneran?"
"Tentu saja, tidak." Valen menunduk takut.
***
Amy memandangi surat dari client nya itu. Itu adalah tulisan tangan yang terlihat sangat panik, kacau dan khawatir. Terlihat jelas bahwa seseorang yang menulis itu tengah ketakutan seolah ada sesuatu yang mengancamnya. Amy memegang surat itu, lalu ia berbaring di ranjangnya dengan masih menatap guratan guratan tulisan di dalamnya.
Terkadang apa yang kita pikirkan mengenai keadaan orang lain hanya lah permukaan yang tidak banyak kita ketahui, Amy adalah anak panti asuhan yang hanya dilihat dari permukaan merupakan seorang anak perempuan yang bermasalah. Dirinya ditempatkan di gedung utama karena bermasalah. Ia ingat bagaimana Bu Sari setiap hai memukulnya dan mencaci makinya. Padahal ia hanyalah anak berusia 9 tahun. Sejujurnya Amy terlalu emosional ketika membaca surat itu. Seorang ibu yang mencari putrinya. Ia berpikir apakah ibunya mungkin akan mencarinya kalau dirinya hilang? Namun nyatanya itu tidak pernah terjadi.
Ia juga ingat dahulu, anak anak panti membencinya. Tidak ada yang ingin bermain dengannya, hanya Alfa dan Rama. Amy tersenyum bagaimana Alfa dan Rama sering bertengkar. Alfa adalah anak pendiam yang suka membaca buku sedangkan Rama anak yang aktif bermain dengan teman yang lain. Ia sangat menyukai sepak bola, menyukai kegiatan fisik seperti lari lari, kejar kejaran, bermain di luar dengan yang lain.
Amy memegang surat itu di dadanya sembari memejamkan mata mengingat Rama. Senyumnya lucu dan dia banyak bicara. Sedangkan dirinya, hanyalah pemurung, ia hanya memandangi anak anak lain yang bermain, seolah semuanya muncul seperti pop up di atas kepala mereka, aura dan semua sifatnya.
"Aku merindukanmu, Rama."
Amy mengangkat surat itu lagi dan melihatnya lama.
"Aku ingin menyelamatkan anak ini (anak dari client yang berusia 9 tahun)." kata Amy. "Aku juga ingin menemukanmu (Rama)."
---
"Keluar! Keluar kau!" teriak Amanda dari belakang. Ia melempari Marina dengan bantal, boneka dan apapun yang tangannya raih.
"Dasar monster! Kau apakan temanku?!"
"Teman?" Marina menoleh. Ruangan gelap itu sekarang sedikit demi sedikit bersinar akibat tirai jendela yang mendadak terbuka oleh hembusan angin pelan entah dari mana. Sinar rembulan menyinari sisi wajah mereka.
"Dimana Jhony?"
"Jhony? Maksudmu makhluk jelek yang kau sembunyikan di lemari kecil sempit itu? Haha lucu sekali," Marina mendekat ke arah Amanda. "Kau bahkan memberi makhluk burik itu nama. Biar kuingatkan, mungkin kau lupa kalau temanmu adalah makananku," ia mencengkram pipi Amanda dan mengangkatnya ke atas.
"Dasar makhluk terkutuk! Kau pikir aku takut?" Amanda meninju perutnya hingga Marina terjengkang ke belakang. Ia bangkit dan meringis menekan perutnya, sembari mendecih dan memutar kepalanya hingga bersuara keretek keretek.
"Rupanya kau melatih tubuhmu yang payah itu ya sekarang. Aku heran bagaimana bisa ibu panti melihat makhluk itu tadi saat ke kamarmu."
"Jhony…adalah manusia."
"Apa?"
"Dia adalah manusia Fiber, Jhony bukan hantu."
Marina terlonjak kaget. Ia melihat kembali telapak tangannya dan melihat tanda segitiga di tangannya tadi yang berwarna merah kini berubah warna menjadi biru. Marina tercengang dan menganga.
"Bagaimana mungkin…bagaimana mungkin aku tak menyadarinya?" Marina berjalan mundur.
"Manusia Fiber lahir dari serat-serat jiwa yang terkumpul dan menyatu menjadi sebuah hasrat dan ambisi yang kuat. Aku tahu kau akan menelannya, bersiaplah makhluk rendahan. Sebentar lagi kau akan dibakar oleh jiwa-jiwa yang dibakar amarah dalam makhluk itu.
"Aaaaaaaaaaakkk," (cek bab 1)
Amy terlelap dalam tidurnya dan bermimpi tentang malam itu. Ia masih memegang erat surat itu. Kilas balik hidupnya mendadak berputar kembali seolah playlist dalam otaknya. Amy meringkuk, matanya terpejam, berkeringat dan napasnya tersengal seolah mimpi itu menghabisinya.
"JHONY!!"
Teriak Amy dengan tiba tiba. Ia membuka matanya tergesa sembari memegang dadanya yang berdetak sangat kencang an keras. Ia bernapas dengan tersengal sengal. Keringat mengalir di pelipisnya. Ia menoleh dan melihat jam di dinding. Ia ketiduran sembari memikirkan kasus kali ini hingga terbawa mimpi mengenai kilas balik hidupnya.
"Akkkhh," Amy memegang kepalanya yang nyut nyutan.
Mendadak ingatan itu datang kembali di otaknya tanpa minta izin darinya. Kenangan kenangan yang seperti puzzle di masa lalu terus berputar di pikirannya.
"Akkhh."
Flashback.
"Ini diriku yang sebenarnya! Fisikku memang berusia 9 tahun tapi aku menyadari duniaku dengan baik. Kau bisa memanfaatkan kekuatan indigo milikku."
"Indigo?" Mayor tersenyum miris. "Itu tidak cukup. Sama sekali tak sepadan. Ada sekitar 7 jiwa di dalam dirimu, Nak. Kau bukan dirimu yang sebenarnya, tanpa sadar kau tengah memberi makan jiwa-jiwa lain yang inang dalam tubuhmu.
Mayor mengangkat tubuh kecilnya, sesaat sebelumnya ia berbisik di telinganya.
"Aku akan membesarkanmu menjadi manusia seutuhnya." (cek bab 3)
Flashback end
Amy berusaha bangun dan berdiri.
"Kenapa aku mengingat kejadian itu lagi?"
Ia meraih ponselnya dan melihat wallpaper ponselnya. Ia fokus pada ayahnya. Entah kenapa ia tiba tiba merindukan ayahnya, dan juga Dio.
kruuuuwk
mendadak suara cacing di perutnya berbunyi. Ia memegangnya dan baru sadar kalau belum makan. Seharian ini ia hanya memikirkan tentang menyusun rencana untuk kasus anak hilang itu. Lagi lagi ia terlalu kepikiran sampai ketiduran dan mengingat masa lalunya. Ia duduk di depan cermin dan memegang kedua pipinya, lalu menepuknya pelan.
"Woi kalian! Kalian ini sebenarnya kebermanfaatannya apa? Dasar fyber fyber tidak berguna. Aku tahu kalian ada di sana dan mendengarkan keluhanku dan juga mimpi buruk dan kilas balik masa laluku. Kalian bagian dari ini tapi lari menyerahkannya padaku semua. Sialan kalian!"
Amy berbicara pada pantulannya sendiri di cermin. Namun sebenarnya ia sedang berbicara dengan jiwa jiwa yang ada di dalam dirinya.
"Bukankah kalian terlalu tenang akhir akhir ini? Kenapa? Kenapa kalian tiba tiba begitu tenang?"
"Keluarlah dan bantu aku sialan!"
"Bantu aku menangani kasus ini sialan!"
Tiba tiba… ting tong!
Amy menoleh ke arah pintu dengan terkejut.
Crraaassshh
Seolah ada kilatan petir melewati otaknya. Ia seolah tertidur dan dirinya yang lain bangun menggantikan kesadarannya. Ia hampir pingsan namun berusaha bangun dan mengawasi apa yang dilakukan fyber fyber parasit itu dalam tubuhnya.
"Jangan! Jangan ambil alih tubuhku! Jangan keluar dulu!"