"Arvy, ada apa kau ke sin…" belum sempat kakek menyapanya. Arvy mendekati Rataka . Lalu tiba tiba…
"Kau ini sebenarnya siapa, br*ngsek!" teriak Arvy sembari meraih kerah Rataka lalu meninjunya tanpa ragu. Ia menjatuhkan dokumen yang dibawanya tanpa sadar tepat di depan kakeknya.
Buaghh!
Pukulan sepihak itu terjadi sekali namun secepat kilatan mata hingga membuat tubuh Rataka terlempar sejauh beberapa meter.
Sekretaris yang melihatnya dari jauh berteriak kaget, namun ia tidak berani memanggil security karena Arvy adalah cucu direktur. Kakek Rossan yang berdiri di samping Rataka, hanya bisa melongo dan tak bisa mencegahnya, sedang dirinya saja memakai tongkat untuk berjalan. Ia hanya bisa membelalakkan matanya dan bertanya tanya. Ia melihat ke arah Taka terlempar dengan panik, lalu menatap cucunya yang dimakan api amarah.
Tak sampai di situ, Arvy masih mengepalkan telapak tangan kirinya dan menatap Rataka yang terpental jauh ke belakang.
Rataka mengusap darah di sudut bibirnya, ia jatuh dengan posisi terlentang di lantai, ia terduduk dengan menyangga lengannya di di lutut. Ia menatap Arvy dari jauh dan sengaja memberinya senyum smirk lagi, seolah berkata.
"Akhirnya kita bertemu lagi. Kali ini dengan cara yang tepat. Salam kenal, inilah aku yang sesungguhnya."
"BR*NGSEK!" batin Arvy.
Arvy hendak melangkah mendekatinya, namun tiba tiba kakeknya mencekal lengannya. Ia baru sadar bahwa ada kakeknya di sana. Ia tersentak.
"Hentikan," pintanya.
"Kenapa?" tanya Arvy seolah menantang. Ia melepaskan tangan kakeknya.
"Sudah hentikan."
"Aku tanya, kenapa?!" teriak Arvy.
"Hentikan sikap tidak sopanmu ini!" balas kakek meneriakinya.
"Tidak sopan? Aku? Pada siapa? Orang itu?" Arvy menunjuknya.
"Ada apa sebenarnya denganmu? Apa yang salah denganmu?"
"Aku salah. Dari awal aku yang salah, Direktur." Arvy merubah panggilannya dengan lebih sopan namun penuh penekanan "Saya yang salah karena terlalu mempercayai anda."
Kakek dan Arvy saling menatap tajam satu sama lain. Hingga kakek akhirnya memanggil security.
"Satpam!"
Arvy menganga, ia semakin tidak percaya dengan situasi yang dialami saat ini.
"Bagaimana bisa kau…" Arvy mengepalkan tangan kanannya sembari menatap kakeknya. Namun kakek hanya menatapnya datar, tanpa rasa bersalah sama sekali.
"Jika kau meneruskan ini, aku akan meminta satpam menyeretmu keluar."
"Apa kau bersungguh sungguh?"
Arvy sebenarnya ingin menolak, bahwa kakeknya memang sedari dulu tidak pernah menyukai keluarganya, selalu pilih kasih dengan putrinya (Nadia) dan keluarganya juga berlaku berbeda pada putranya (Ardana).
Kepalan tangan Arvy semakin bergetar karena amarah, namun kakeknya hanya membuang muka seolah tidak mengakui semua kesalahan yang telah diperbuatnya. Dari awal kakeknya memang tidak pernah menganggapnya keluarga. Garis darah ini hanyalah omong kosong semata.
Rataka berdiri dan melangkah pergi dari sana. Arvy menangkap dirinya yang hendak lari.
"Kau!" teriaknya. "Mau ke mana kau?! Mau kabur lagi?!"
Arvy mengejarnya namun tiba tiba dua orang satpam datang dan menghadangnya.
"Bawa dia keluar." perintah kakek.
Dua satpam itu saling pandang dan tidak berani menyentuh Arvy, namun direktur berteriak untuk segera membawa cucunya sendiri keluar dari gedung. Satpam itu terpaksa memegang kedua lengan Arvy dan mencegahnya untuk mengikuti Taka. Sedang Arvy berusaha berontak demi mengejar Taka, namun ia tidak bisa melepaskan diri dari satpam kekar itu.
Sementara Taka yang menatapnya dari jauh melempar tatapan yang tidak biasa pada Arvy, seolah meraih kepuasan telah mengacaukannya hari ini. Ia meliriknya lalu melangkah berbelok ke koridor lain. Arvy hanya menatapnya pergi dari sana. Jejaknya tidak bisa ikuti.
"Rataka…." gumam Arvy. "Aku pasti akan menemukanmu lagi. Pasti!"
"Tuan Muda, tenanglah, atau kami harus mengeluarkan anda secara paksa!" kata satpam itu.
"Lepaskan!"
"Tuan Muda!"
"Lepas!" Arvy akhirnya melepaskan diri.
Setelah direktur mendapati Taka sudah pergi, ia akhirnya meminta satpam melepaskannya. Satpam akhirnya melepaskan Arvy.
"Direktur, anda tahu apa yang sudah anda lakukan?" tanya Arvy dengan menatapnya tajam, masih tidak percaya dengan perlakuan kakeknya sendiri padanya.
"Pergilah, jangan mengacau di sini."
Direktur berbalik dan berjalan pelan mendahului Arvy, dua satpam itu hendak membantu namun direktur mengangkat tangan kanannya dan memberi tanda bahwa dia baik baik saja. Kakek berjalan pelan dengan dibantu tongkatnya, ia masuk ke ruangannya.
Arvy hanya diam menunduk, berusaha memadamkan amarahnya. Ia memandangi dokumen cokelat yang dibawanya yang jatuh ke lantai. Diambilnya lalu ia pergi dari sana. Ketika melewati meja panjang sekretaris direktur, ia menaruh map itu di sana.
Sekretaris perempuan itu tidak berani bertanya atau melihatnya.
"Berikan ini pada direktur. Katakan aku tidak butuh informasi palsu darinya," pesannya dengan dingin.
"Ba…baik Tuan Muda." sekretaris itu mengangguk.
Arvy kemudian keluar dari sana.
Dirinya hanya duduk melamun di dalam mobil. Ia menengok ke samping dan melirik buku catatan skema di kursi jok. Arvy tidak mengucapkan sepatah katapun, hanya menatapnya nanar dan membisu.
***
Direktur duduk di kursinya sembari mengingat dokumen yang jatuh yang dibawa Arvy tadi. Ia menatap telapak tangan kanannya yang gemetaran. Membayangkan kembali akan betapa sakit hatinya cucunya itu ketika ia mengusirnya tadi. Namun hanya itu yang bisa ia lakukan. Ia tidak tahu apa yang sudah Rataka perbuat, tapi yang pasti itu adalah hal yang mengganggu Arvy. Ia tahu betul cucunya yang satu itu tidak suka membuat onar apalagi sampai membuat kekacauan di perusahaan. Rossan juga tahu Arvy bahkan tidak tertarik pada apa yang terjadi di sekelilingnya, jadi tidak mungkin tiba tiba dia datang dan marah marah.
"Direktur, anda tahu apa yang sudah anda lakukan?"
Ia mengingat lagi pertanyaan Arvy tadi yang terdengar kesal padanya.
"Apa yang sebenarnya terjadi padanya?" Direktur bertanya tanya.
Tiba tiba sekretaris mengetuk pintu dan masuk ke ruangannya. Ia mendekat ke meja direktur dan meletakkan dokumen yang dititipkan Arvy padanya. Direktur mengenalinya karena sempat melihat map itu jatuh di lantai saat tadi Arvy datang.
"Ini titipan dari Tuan Muda sebelum pergi, Direktur. Ia ingin saya menyampaikan pesannya."
Direktur menatapnya diam, menunggu kelanjutan pesan itu.
"Katanya, ia tidak butuh informasi palsu."
"Baiklah. Keluarlah."
Sekretaris itu mengangguk sopan lalu keluar ruangan.
Seorang pria masuk ke dalam tiba tiba, tanpa diundang. Ia adalah bawahan langsung direktur untuk mengawasi cucu cucunya, dengan kata lain tangan kanannya.
"Maaf direktur, saya mendengar ada kekacauan tadi di sini. Apa yang terjadi?"
Direktur menunjuk dokumen di depannya dengan dagu."
"Ini. Kau bilang dokumen ini tidak akan bisa diketahui kepalsuannya oleh orang biasa kan?"
"Iya, direktur."
"Anak itu sudah tahu, kalau ini palsu."
"Apa?" pria itu terkejut. "Tidak mungkin! Kalau bukan orang yang paham medis dan hukum, dokumen itu tidak akan bisa dideteksi dengan mudah. Saya tidak yakin kalau Tuan Muda Arvy bisa mengetahuinya."
"Dia pasti mengacau gara gara ini. Bagaimana kau bekerja selama ini?!" teriaknya.
"Maafkan saya, Pak. Tapi dokumen itu dibuat dengan cara yang sangat sulit dideteksi kepalsuannya. Saya yakin seratus persen."
"Tapi Arvy tahu kalau aku menipunya! Aiishh padahal setelah sekian lama dai akhirnya mau berbicara dengan kakeknya, tapi sekarang semuanya selesai gara gara dokumen ini!"
Tiba tiba pria itu memikirkan sesuatu.
"Direktur, mungkinkah ada seseorang yang berlatar belakang medis atau hukum yang memberitahunya?"
Direktur menoleh dan sepertinya menganggap itu alasan yang masuk akal.
"Apa maksudmu?"