"Kau tahu? Anak itu tidak punya niat menolong sama sekali, dia hanya melakukan sesuatu yang dia anggap itu menarik, dulu Ardana juga sama dengannya, karakternya menurun ke anaknya."
"Aku lupa kalau dia cucu original Rossan. Dia tipe yang tidak suka menonjol. Tapi fakta bahwa dia dekat anak anakmu bahkan Alfa, berarti mereka berempat memiliki hubungan persahabatan yang dekat bukan? Coba pikirkan."
"Aku ini sedang memikirkannya sialan!"
"Saat aku berbicara dengannya di kafe, dia tipe yang hard level, kalau diajak bicara, mengungguli terus. Aku seperti berbicara dengan diriku sendiri." Taka kesal. Ia mengakui bahwa Arvy memiliki usia yang sama dengannya (dari segi penampilan luarnya Taka mempunyai usia yang sama dengan Arvy.)
" Apa Ardana sering bertemu anakmu? Coba kau tanya mereka."
"Ah ya." Holan menjentikkan jarinya.
"Dio dekat dengan Ardana. Akhir akhir ini aku sering kelupaan hal hal yang penting."
"Ya wajarlah kau kan sudah tua." olok Taka.
Holan menyipitkan matanya. "Bisakah kau berhenti mengejekku dan bicara serius, Kakek Rataka?"
"Maaf maaf silahkan lanjutkan. Aku tidak bisa berhenti tertawa." Taka menahan tawanya.
"Memang apa bagusnya jadi makhluk immortal?"
Taka terkejut Holan berani mengatakannya.
"Kau benar." Taka tersenyum miris.
"Ah tapi… Dio tak bisa menemuinya sekarang."
"Ha? Kenapa?"
Holan menghela napas.
"Dia sakit, aku memindahkannya di rumah sakit cabang luar kota."
"Kenapa? Apa ada masalah?"
Rataka melihat reaksi Holan yang murung.
"Dio.. anak itu tidak baik baik saja." bahu Holan turun dan ia menunduk sembari menatap wine di dalam gelasnya.
Taka terdiam memahaminya, ia menepuk bahu kawannya itu.
"Dia pasti tersiksa karena menyembunyikannya selama ini di hadapan semua orang. Aku masih belum cukup baik untuk jadi wali mereka."
"Kau sudah bekerja keras. Selain menangkap penjahat kau juga menyelamatkan anak anakmu yang sebelumnya ada di panti asuhan."
"Tidak, bukan aku." Holan mengingat kembali, bahwa Raziva lah yang mengadopsi Dio dan Amy yang datang sendiri ke kediamannya. Jadi secara harfiah ia merasa tidak melakukan apa apa.
"Berhentilah menyalahkan diri sendiri atas semua hal buruk yang menimpa anakmu. Jangan selalu menganggap mereka anak kecil yang selalu bersembunyi di ketiakmu. Mereka sudah dewasa, kalau kau ingin mereka sembuh, kau harus percaya, percaya pada mereka bahwa anak anakmu bisa melewatinya, ajarkan mereka bahwa inilah yang dinamakan hidup, inilah yang dinamakan kedewasaan, inilah yang dinamakan journey. Jangan menyalahkan dirimu sendiri sebagai orang tua, namun ajarkan ke mereka bahwa itu semua bagian dari hidup mereka."
"Aku baik baik saja."
"Jadi apa rencanamu?"
"Aku tidak tahu bagaimana cara mengawali percakapan dengannya. Dia sangat membenciku, aku yang membuat kakaknya koma, isterinya juga koma, dan Ardana selalu merasa bahwa Rossan pilih kasih denganku. Hidupnya hancur pasca isterinya sakit, setelah itu dia hanya sekali datang ke pertemuan keluarga, Arvy….Arvy tidak pernah datang ke acara keluarga, kecuali sejak kelulusan Dio saat Sma, saat itu adalah pertama kali, dia dekat dengan Dio. Dio yang paling dekat dengan Arvy. Aku lega ia punya teman dekat, Dio tidak pernah mengeluh padaku, tidak pernah menolak perintahku, dia sangat penurut dan juga sangat kelelahan."
"Aku tahu kalau istrimu paling dekat dengan putramu."
"Bagaimana tidak, ia merawatnya sejak bayi. Dio adalah kebanggaan Nadia. Ah kenapa aku harus membicarakan ini." Holan menatap ke atas agar air matanya tidak jatuh. "Maaf aku jadi tidak profesional. Aku benar benar menua, sial!" Holan tertawa miris.
"Kita bicara saja lain kali."
"Maafkan aku."
"Kenapa kau minta maaf terus! Aku ini kan di pihakmu. Aku ini ajudanmu untuk menjaga anak anakmu, kau sudah lupa? Apa kau juga lupa kalau aku ini sakti?"
Holan tertawa kecil, ia tahu Rataka ingin menghiburnya.
***
"Kau baik baik saja?" tanya Alfa pada Amy.
Amy diam saja.
Mereka melangkah melewati koridor menuju kamar apartemen. Sepanjang jalan, Amy tidak bicara sepatah katapun. Ia hanya diam dan murung, di mobil ia hanya menatap keluar jendela dan melamun.
Alfa tahu ia memikirkan kakaknya, Dio.
Sampai di depan kamar, Alfa mendekatinya. "Kau mau makan sesuatu?"
Amy menggeleng dan menunduk, ia menatap sepatunya.
"Oh ya, ada bubur ayam yang enak sekali di dekat sini. Kau mau ke sana?"
Amy menggeleng.
"Bagaimana kalau kita order online saja, bagaimana?"
"Tidak," murungnya. "Aku tidak selera makan. Aku mau tidur saja." Amy membuka pintunya dan masuk.
Alfa melihatnya sembari menghela napas panjang.
"Apa yang harus aku lakukan untuk membuatnya ceria kembali?"
Di dalam kamar Amy duduk di depan kaca dan melihat foto di atasnya, itu adalah foto saat kelulusan, ada ayah, dirinya dan juga Dio.
"Kenapa?" Amy berkaca kaca. "Kenapa kau pindah dan pergi?" ia menangis.
"Dasar Do sialan! Dio br*ngsek!" umpatnya sembari menangis.
Alfa mendengarnya dari luar pintu dan hanya membisu.
***
Di bar Rataka menikmati wine ya sesudah Holan pergi. Ia mengingat percakapannya dengan Alfa yang tidak berhasil karena Alfa sedih mengingat masa lalunya, sekarang hal yang sama terjadi pada temannya, Holan, yang masih terus menyalahkan dirinya sendiri, padahal dahulu Holan adalah orang yang tegas, keras, dipikul atau dicambuk 100 kali tidak akan menangis, namun sekarang dengan mudah air matanya luruh saat membicarakan anak anaknya. Ia sendiri tidak bisa membayangkan karena ia tidak dalam posisi yang sama dengan nya.
"Apa rasanya begitu menyakitkan ya?" pikirnya. "Apa aku akan menangis jika aku di posisinya?" Rataka mulai membayangkan dirinya memiliki keluarga dan anak. Sayangnya hal itu buyar. Ia hanya tertawa miris, menertawakan dirinya sendiri. Ia juga ingat kata kata Holan.
"Memang apa bagusnya menjadi makhluk immortal?"
"Tidak ada bagus bagusnya sama sekali." kata Taka seolah menjawab pertanyaan itu. "Tidak ada yang bagus dari itu."
Ia mendadak mengingat masa lalunya. Ia menyaksikan orang orang yang dicintainya menua, dan meninggal. Salah satunya adalah wanita yang dicintai sejak era penjajahan dan era monarki.
"Aku…tidak akan mencintai manusia lagi."
***
Genio masuk ke kamar Rowlett dan mendapati anak 17 tahun yang nampak imut nan cantik bersamaan itu tertidur. Wajahnya tenang dan nampak terlihat seperti bayi. Genio tersenyum melihatnya.
"Anda seperti sedang melihat anak anak," kata Lily di belakangnya.
"Aku memang menyukai mereka (anak anak). mereka polos, murni, jujur, patuh dan tidak tahu betapa kejamnya dunia ini." Genio menyelimutinya dengan lembut.
"Anda harus menikah suatu hari nanti. Saya akan jadi pengiring anda."
Lily tersenyum.
"Mungkin aku akan mati lebih dulu sebelum melakukannya," Genio tersenyum ringan namun terdengar miris.
"Tuan!" teriak Lily tanpa sadar.
Genio menoleh menatapnya.
"Maaf, tuan. Saya kelewatan. Saya hanya…"
"Tidak apa apa Lily." Genio tersenyum hangat. Ia memegang pundaknya, "Jangan lupa bawakan air minum untuknya (Rowlett)." sembari menunjuk dengan dagunya bahwa gelas di meja samping Rowlett tinggal sedikit.
"Baik, Tuan. Saya akan mengisinya kembali."
Setelah itu Genio keluar dari kamar. Lily menatap punggungnya.
"Lily hanya patuh pada pilar 1," kata Lucas bersama seorang bawahannya di tepi kolam renang. "Dia bukan bawahannya Ramon, Lily hanya milik Genio seseorang. Apa aku harus membunuh si muka es itu untuk mendapatkannya ya?"