Taka juga memberi satu kartu namanya untuk Arvy.
"Kau bekerja di perusahaan keamanan?" Arvy tidak percaya. "Apa kau juga stuntman film?"
"Haha tidak. Aku hanya menerima menjadi pengawal dan security biasa."
"Yah tubuhmu memang bagus dan kekar. Dengan wajahmu kau juga bisa menjadi aktor." Arvy balas memujinya.
"Kalau begitu bagaimana kalau kita berdua debut sebagai aktor saja. Kau jadi tokoh utama dan aku akan jadi stuntman mu."
Arvy tertawa, diikuti Taka.
"Humormu lumayan juga."
"Genre komedi juga bagus."
"Sepertinya usia kita juga sama."
"Aku 25."
"Benarkah?" Arvy terkejut. "Aku juga."
"Wah," Taka menutup mulutnya tidak percaya.
"Kenapa ekspresimu begitu?"
"Sepertinya kita benar benar harus jadi aktor."
"Astaga, haha." Arvy tertawa melihat kekonyolan Taka.
"Bukankah ini takdir."
"Dasar cosplayer aneh."
"Pantas aku merasa kita akan jadi teman tadi."
"Instingmu tidak buruk."
"Tentu saja. Karena itulah aku bisa menemukan teman baru yang cerdas dan tampan sepertimu di sini."
"Kau mau terus melawak? Kapan kau akan pergi bekerja?"
"Ah iya!" Rataka berdiri. "Aku pamit duluan."
"Pergilah. Selamat bekerja."
Taka mengangguk lalu melambai, begitu juga Arvy yang juga melambai padanya. Taka melangkah keluar lalu meninggalkan kafe.
Tiba tiba ekspresi keduanya kembali serius. Di trotoar, Taka menatap kartu nama itu dengan air muka dingin. Begitu juga Arvy yang menatap kartu nama Taka dengan ekspresi datar.
"Menarik sekali orang ini," batin keduanya dalam hati.
Alfa menghubungi Taka kembali.
"Apa kau sudah keluar dari kafe, Kak?"
"Em."
"Ah syukurlah. Anu…meskipun kau sakti mandraguna. Tapi Kak Arvy memiliki insting dan intuisi yang sangat peka dan jeli. Kau sudah lihat ekspresi datarnya kan? Dia benar benar bisa membunuh hanya dari tatapan matanya. Saat kami berkumpul dengan Amy ataupun Kak Dio, Kak Arvy banyak diam tapi dia juga perhatian dengan kita."
"Untuk informasinya terima kasih. Tapi ada yang harus kau lakukan."
"Apa itu?"
"Kau bilang kalian sering main kan dengan yang lain."
"Iya."
"Buang semua pakaian yang kau kenakan sekarang."
"Apa?!"
"Buang, bakar, sumbangkan terserah. Jangan sampai kau memakai satu aksesoris yang sama seperti hari ini di depannya. Termasuk topi, sepatu, dan masker."
"Ah padahal ini hoodie kesayanganku." Alfa memanyunkan bibirnya. "Baiklah kalau begitu."
"Untuk hari ini kita jangan bertemu dulu. Aku kan menghubungimu lagi nanti."
Taka mematikan panggilannya.
"Membunuh hanya dengan tatapan mata? Cih" Taka tersenyum sinis. "Pantas saja dia sombong. Sepertinya dia frustasi karena tidak bisa membaca diriku."
Sementara Arvy di kafe ia mendapat telepon ari Yohan.
"Dio… apa kau tidak mau menjenguknya."
Arvy terdiam membisu sembari menatap nanar udara.
***
Praanggg!
Sebuah vas kaca dibanting di lantai. Okta, snag pilar nomor dua berdiri dari kursinya dan mendekati anak buahnya yang gemetaran ketakutan.
"Apa katamu tadi?" Okta mengatakannya dengan halus namun mematikan.
"Ma..maafkan aku, Tuan. Sepertinya luka Tuan Raven belum sembuh sepenuhnya akibat serangan Tuan Pilar saat itu. Energinya sangat lemah dan kami sulit mendeteksinya."
"Jadi maksudmu ini semua salahku?"
"A…Ampun, Tuan. B..bukan itu maksud saya. Tuan Raven me non-aktifkan energi dan auranya. Untuk saat ini dia masih bersembunyi. Kami khawatir jika dia sudah keluar ibu kota."
"Tidak mungkin. Dia tidak mungkin keluar dari ibu kota dengan mudah." Okta melirik televisi di ruangannya. Ada berita tentang Valen di sana. "Lihatlah. Dia tidak akan bisa keluar dari ibu kota."
Sebuah berita menayangkan sketsa wajah Valen yang sudah selesai dibuat dan disebarkan di seluruh penjuru negara. Di setiap perbatasan kota wajib memeriksa ID warga siapa yang akan keluar dan masuk, di terminal, bandara, pelabuhan, hotel dan tempat umum lainnya.
"Seorang pria pengedar narkoba, berusia 30 tahunan, telah melakukan penyerangan terhadap warga sipil dan memaksanya untuk menjadi pecandu. Korban dianiaya hingga tidak sadarkan diri dan koma berminggu minggu. Diharapkan warga bisa bekerja sama dan segera melapor ke 911 jika anda melihat buronan yang terpampang di layar televisi anda. Kami akan memberi imbalan yang sepantasnya."
"Pengedar narkoba? Aisshh si Alfa anak sialan itu." sumpah serapahnya pada Alfa. "Harusnya dia kuhabisi sejak dulu."
"Kau bisa bekerja dua kali lipat dari polisi polisi sampah itu, kan?!"
"Tentu saja, Tuan. Saya akan berusaha menemukannya."
"Jangan berusaha!"
Buaghh!
Okta memukulnya.
"Bawa hasilnya! Aku tidak butuh usahamu!"
"Baik. Saya mengerti, Tuan."
"Keluarlah!"
Anak buah itu pergi dan meninggalkan ruangan Okta dengan tergesa dan ketakutan.
***
"Dio," panggil Arvy.
Ia berlari dari kafe dan segera tancap gas ke rumah sakit. Ia sangat khawatir pada kondisi keponakannya itu.
"Maafkan aku." Arvy mengangguk.
"Apa Kak Arvy…" Dio menatap keluar jendela. "…Jijik padaku?"
"Apa yang kau bicarakan? Kenapa kau berpikir seperti itu?"
"Kalau begitu…" Dio menoleh menatapnya. "Apa kau kasihan padaku?"
"Dio…"
"Aku tidak akan marah."
"Dio! Bukan itu yang penting sekarang."
"Tapi ini penting untukku!" teriaknya.
Arvy memandangi wajahnya yang pucat pasi, bibirnya memutih, matanya sayu dan jari jarinya masih gemetaran.
"Kakak… kenapa kau bicara padaku saat itu?"
"Saat itu?"
"Di acara kelulusanku. Kau mulai berbicara padaku sejak saat itu. Kau memberiku buket bunga wisuda. Kau tahu betapa bahagianya aku?" Dio berkaca kaca. "Aku merasa punya seorang kakak yang bisa kuandalkan. Aku tahu kau dingin dan tidak peduli. Tapi…"
"Tidak! Itu tidak ada hubungannya dengan saat ini. Aku menganggapmu sebagai adikku, Dio! Andalkan aku! Datang padaku jika kau butuh bantuan! Kenapa kau diam saja, padahal aku sudah mengajakmu bicara sejak kelulusan? Kenapa aku harus baru tahu sekarang? Kenapa kau masih tidak bisa mengandalkanku?"
"Kak Arvy…"
Dio tidak percaya Arvy mengatakan itu. Baru kali ini Arvy berbicara banyak sekali padanya.
"Apa hubungan kita sebenarnya?"
"Apa?"
"Ibu kita sama-sama koma. Ayah kita sama-sama sibuk. Kita harus dewasa dengan cepat, kita harus bertahan apapun yang terjadi. Karena itulah aku mengajakmu bicara saat itu."
Dio menitikkan air mata di pipinya.
"Karena kita keluarga." Arvy berkaca kaca. "Karena kita keluarga, Dio."
Arvy mendekat dan memeluk adiknya itu. Dio menangis dan memeluk kakaknya.
"Tidak peduli seberapa sakitnya kau, tidak peduli seberapa kacaunya kau. Kita tetap keluarga bukan? Kau tetap adikku. Itu tidak akan pernah berubah."
"Maafkan aku, Kak."
"Apanya yang minta maaf. Jangan pernah katakan itu!"
Arvy menepuk punggungnya menenangkannya.
Yohan berada di ruangannya. Ia memandangi ponselnya sedari tadi. Hingga akhirnya ia memutuskan untuk menelepon seseorang.
"Halo, ini aku, Yohan."
"Ada apa?" tanya seseorang dari seberang telepon.
"Tuan Muda Dio, membutuhkan perawatan lanjutan, Pak."
Orang yang di telepon Yohan adalah Holan.
"Kau yakin sudah separah itu?"
"Kita harus menjauhkannya dari Nona Muda."