"Lapor, Pak," seorang polis masuk ke ruangan Holan di saat ia sedang gundah apakah harus menelepon anaknya atau tidak.
"Oh iya, silahkan."
"Kami mengembalikan data kamera yang sebelumnya terhapus di depan rumah sakit."
"Apa?!"
"Kenapa anda kaget begitu, Pak?"
"Rataka bilang dia yang membawa Alfa ke depan rumah sakit. Sial! Dia bisa tertangkap, sudah kubilang jangan ceroboh kan? Anak itu benar-benar."
"Pak?"
"Ah iya."
"Ini. Kami mendapatkan seseorang yang mencurigakan menggendongnya sampai ke depan rumah sakit."
Petugas itu menaruh satu foto di mana menunjukkan seorang pria bertudung yang basah karena hujan, memakai jaket hitam. Wajahnya tertangkap bagian sisinya. Dan Holan benar-benar shock karena itu memang benar, tidak salah lagi adalah Rataka.
"Begini. Kau tahu korbannya sudah sadar kan?"
"Iya, Pak."
"Kau bisa mengenyampingkan bukti ini, dan dapatkan pernyataan korban sebagai bukti utama."
"Iya, tapi pernyataan korban harus disertai bukti konkret. Kita bisa mulai pencarian secara menyeluruh setelah…"
"Tidak, tidak, tidak." Holan berusaha tegas. "Lupakan bukti ini dan fokus pada pernyataan korban."
"Letnan…"
"Dengarkan apa yang kuperintah. Korban mengetahui detail pelakunya. Pria di foto ini…ah…" Holan menghela napas. "Pokoknya lakukan saja perintahku."
Holan berdiri dan melangkah menuju pintu sembari mengeluarkan ponselnya.
"Jika korban meninggal…" petugas itu tiba-tiba buka suara. "Apa ini akan jadi kasus beku seperti sebelas tahun yang lalu?"
Holan terhenti. Ia menoleh dengan ekspresi wajah serius.
"Apa? Apa yang kau bicarakan?"
"Kasus beku panti asuhan, seorang suster meninggal dengan kondisi yang tak wajar. Bukankah kau yang membubarkan tim dan memutuskannya menjadi kasus mati?"
"Asya!" Holan meneriakkan namanya dengan penuh amarah.
Petugas perempuan itu adalah petugas yang sama yang menangani kasus Marina. Holan mengingat kembali percakapan tim saat itu.
"Mayor, tolong jawab pertanyaan kami. Kami mendiskusikan ini sejak pagi."
"Apa benar mayat kerangka itu adalah tumbal?" (cek bab 2)
Asya melangkah mendekat dan menatap tajam atasan letnan yang dahulunya mayor itu.
"Katakan padaku yang sebenarnya, Letnan." Asya serius. "Apa ini perbuatan orang yang sama? Apa korban yang selamat itu…akan ditumbalkan?"
Mereka berdua bertatapan tajam satu sama lain. Holan diam tak menjawab.
"Letnan…"
"Aku tahu kau memiliki banyak pertanyaan dalam otakmu. Tapi…perintah tetaplah perintah. Lakukan apa yang kuminta. Aku akan mengatasinya. Kau dan tim mu tidak perlu bekerja terlalu keras. Kau tahu maksudku, kan?"
"Apa yang sebenarnya orang-orang itu mau? Apa Letnan mengetahuinya? Kenapa anda diam saja?"
"Asya! Cukup! Cukup sampai di sini."
Asya mundur dan menunduk. Ia mengetahui batasannya.
"Maafkan aku, Pak."
"Bukankah kau ada kencan buta malam ini?"
"Eh?" Asya mendongak kaget. "Dari mana anda tahu?"
"Berdandanlah yang cantik. Jangan bilang kalau kau seorang polis, nanti kau jadi perawan tua selamanya."
Holan menepuk bahunya kemudian tersenyum hangat layaknya pemimpin pada ank buahnya yang setia. Kemudian ia meninggalkan ruangan.
Asya hanya menatapnya dari belakang. Ia menatap foto pelaku yang terekam cctv di tangannya sembari membisu, memikirkan semuanya.
Asya adalah salah satu polisi perempuan di tim yang saat itu menangani kasus Marina, namun ia masih muda untuk bergabung di unit investigasi kejahatan berat, ia salah satu anggota yang diam saja ketika ketua tim protes mengapa kasus Marina menjadi kasus beku. Saat itu ia tidak berani menyanggah. Namun kali ini, ia naik jabatan menjadi kapten dan mendapat akses penuh pada kasus kejahatan, salah satunya kasus penyerangan Alfa.
***
"Ngomong ngomong, ini pertama kalinya kita bertemu, kan, Nak Alfa?"
"I…iya Om, eh Pak maksudnya."
Alfa duduk dengan tegap, tangan berada di atas paha. Ayah Amy, Holan menatapnya dengan tajam.
"Bernapaslah. Aku tidak menyuruhmu menahan napas," kata Ayah.
"T..tidak Pak. Saya bernapas kok."
"Bercanda."
"Eh?"
Amy keluar dari dapur dan membawa satu nampan berisi tiga gelas minuman.
"Ayah, ini bukan investigasi. Jangan melempar lelucon menyeramkan seperti itu."
Amy sudah menduga ayahnya akan menjadi seperti ini. Namun ia senang, karena memiliki keluarga normal seperti gadis pada umumnya. Dikhawatirkan ayahnya seperti ini membuatnya tenang.
"Kalau begitu ayah minta maaf." Ayah memperbaiki duduknya dengan santai dengan menyandarkan punggungnya di sofa.
Mereka bertiga duduk di sofa tengah, di mana di sampingnya ada kolam dan taman terbuka. Alfa terpukau dengan rumah yang mirip istana itu. Ia tak habis pikir Amy malah tinggal di apartemen. Ia jadi paham mengapa ingin membeli semua barang-barang tidak yang diperlukan, mengingat Amy kemarin-kemarin membeli dispenser elektrik tak berguna.
"Jangan terlalu tegang berbicara dengan ayahku, Al," kata Amy.
Ia duduk di samping Alfa. Ayahnya meliriknya tajam, memberi tanda dengan dagu agar duduk di sampingnya, namun Amy malah menggeleng.
"Minum dulu, Alfa."
"Iya."
Mereka bertiga meminum teh yang disuguhkan di meja. Namun tak sedetikpun pandangan mata Holan lepas dari Alfa, hingga membuatnya terbatuk-batuk.
"Apa pekerjaanmu?"
"Ayah!" sentak Amy tiba-tiba.
Ayah dan Alfa sama-sama kaget dan menoleh.
"Apa? Apa aku mengatakan hal yang buruk?" Ayah balas meninggi.
"Maaf. Hanya saja… jangan tanya tentang orang tuanya. Alfa berasal panti asuhan yang sama denganku." Amy menunduk.
Hening seketika.
Tiba-tiba Ayah tersenyum sembari mencondongkan badannya ke depan.
"Ayah sudah tahu itu."
"EH?" Amy dan Alfa sama-sama terkejut.
"Pak Holan…sudah tahu?" Alfa tak menyangka. Ia merasa diselidiki diam-diam.
"Benarkah? Ayah tahu dari mana?" tanya Amy.
"Kau lupa ayahmu ini seorang letnan? Semua informasi warga sipil bisa kudapatkan dengan mudah. Jangankan warga sipil, kriminal, narapidana, buronan, semua ayah tahu." Holan membanggakan diri.
"Syukurlah kalau ayah sudah tahu."
"Maksud ayah tadi pekerjaannya Nak Alfa, bukan orang tuanya."
"Oh itu…saya seorang…"
"Penulis," sahut Amy memotong kalimat Alfa.
"Penulis?" Ayah bertanya-tanya. "Anak zaman sekarang memang bervariasi ya pekerjaannya. Hobi menjadi profesi. Benar-benar menarik. Jadi kau suka menulis?"
"Iya, Pak. Saya menulis di blog free, company matter, freelance, project desk, content creator, platform writer, social medi…."
"Sudah sudah sudah. Ayah percaya kok. Lagipula kau jelaskan aku juga tidak paham." Ayah pusing mendengar penjelasan Alfa.
"Lalu apa yang Amy lakukan? Kudengar kalian tinggal bersebelahan. Kalian juga magang di perusahaan yang terkena kasus itu kan? Jadi sebelumnya apa pekerjaan Amy?"
"Ayah bertanya karena tidak tahu?" tanya Amy.
"Dia membeli dispenser elektrik kemarin, Pak," ungkap Alfa tiba-tiba hingga membuat Amy menganga.