"HA?" terdengar dari seberang telepon suara Arvy dan Dio yang cekikikan.
"Kau bersama Arvy juga? Kalian berdua pasti menertawaiku. Ah sialan. Sudahlah kututup saja. Dasar mengganggu."
Klik.
Arvy dan Dio tidak percaya mereka berdua memiliki password kamar yang sama.
"Mencurigakan sekali," kata Arvy. "Apa mereka berbagi kamar?"
"Aku tidak mau membayangkan yang aneh-aneh. Sudahlah ayo cepat. Kita harus segera ke rumah sakit." Dio memasang wajah tertekuk ketika memasukkan kata kunci ke monitor.
Sesampainya di rumah sakit.
Amy selesai mencuci muka. Arvy duduk di sofa. Dio melipat selimut yang digunakan Amy tidur semalam dan Alfa tengah ganti baju dengan baju biasa. Ia sudah boleh pulang hari ini.
"Kau memberitahu ayah tentang Alfa?" tanya Amy sembari mengusap wajahnya yang basah. Ia mengikat rambut panjangnya ke belakang.
"Em. Ayah kemarin ke sini."
"Apa?!"
Teriakan Amy mengagetkan Dio dan Arvy.
"Apanya yang apa?"
"Apa ayah mengatakan sesuatu?"
"Tidak. Dia cuma membawakan makanan saat aku dan Kak Arvy kemari."
"Benarkah?" Amy melirik Arvy.
Arvy mengangguk.
Alfa keluar dari kamar mandi. Ia berganti pakaian biasa, kaus pendek dengan jaket dan celana hitam.
"Sudah selesai?" tanya Dio.
"Iya," jawab Alfa. "Anu… aku berterima kasih karena kalian telah merawatku selama aku sakit. Aku minta maaf juga karena telah merepotkan. Kak Arvy, Kak Dio, Amy, terima kasih."
Mereka berempat mengangguk dan melempar senyum satu sama lain.
"Ayo sarapan di luar. Aku traktir." kata Arvy. "Aku bawa mobil hari ini."
"Kak Arvy, aku berterima kasih karena kau sudah menyempatkan waktu sering kemari, menjenguk Alfa dan menemani Dio," kata Amy. Ia masih sedikit canggung.
"Oh itu…iya sama-sama." begitu juga Arvy yang tidak berani menatapnya.
"Ada apa dengan kalian?" Dio melihat reaksi keduanya yang aneh.
Mereka melupakan kejadian di bar sejenak setelah kecelakaan Alfa, namun sekarang nampaknya mereka jadi aneh dan canggung lagi ketika mengingatnya kembali.
"Ya sudah mau makan di mana kita?" Dio mencairkan suasana.
"Alfa mau sarapan apa? Kita akan menurutimu hari ini untuk merayakan kesembuhanmu. Jadi ingin kemana hari ini?" tanya Amy.
"Eh boleh begitu?"
Arvy dan Dio mengiyakan.
"Terima kasih semuanya."
Mereka berempat keluar dari ruangan.
***
Alfa dan Amy berada di apartemen Alfa. Mereka berdua menata perabotan yang telah lama tidak terurus. Alfa mengecek tanaman kecil yang berjejer di depan jendela yang agak turun ke bawah, sedang Amy menata selimut dan kasur.
"Kau sudah mengembalikan dispenser elektrik yang kau beli kemarin?" tanya Alfa.
"Dispenser apa?"
(Amy beli dispenser elektrik dari uang black card 400 m jejak keuangan perusahaan Samo, cek bab 59)
"Apa? Jangan bilang kau lupa sudah membeli dispenser elektrik yang notabenenya tidak berguna di kamar apartemenmu?" Alfa menoleh sebal.
"Memangnya itu uangmu? Cih," culas Amy.
Alfa mendekatinya dan mengambil alih bantal yang ia rapikan.
"Biar aku saja yang menatanya sendiri."
"Kau istirahat saja. Biar aku yang merapikan rumahmu yang sudah tak terawat berhari-hari ini."
"Aku malah lebih khawatir kalau kamarmu lebih acak acakan dariku."
"Biar aku saja, Al." Amy mengambil bantal itu kembali.
Alfa tidak habis pikir dengan keras kepalanya Amy. Ia menghela napas dan memilih keluar kamar. Ia menopang lengan di pagar pembatas sembari melihat langit malam yang gelap. Amy melihatnya, ia kemudian mengambil dua kaleng kopi di kulkas lalu keluar.
"Ini." Amy memberikan satu minuman kaleng itu ke Alfa.
Mereka berdua menikmati malam dengan menatap langit gelap bersama di depan kamar apartemen.
"Sedang memikirkan apa?" tanya Amy sembari meminum kopinya.
"Tidak," Alfa masih menatap langit. "Hanya saja aku bersyukur bisa melihat langit lagi."
Amy menatap wajah teduh Alfa dari samping. Ia lalu tersenyum diam-diam.
"Itu memang patut disyukuri. Dulu kita juga melihat langit penuh bintang bersama di aula panti saat tahun baru."
"Aku ingat. Kita menyalakan kembang api banyak sekali." Alfa tertawa kecil mengingat kenangan mereka masa kecil dahulu.
"Bukankah langit malam ini begitu cantik?" Amy memandang ke atas sembari tersenyum lebar.
Alfa menatap Amy dari samping. Ia tersenyum dengan indah. "Iya, cantik."
Mereka menyeruput kopi masing-masing.
"Oh ya, siapa yang mengambil pakaianku tadi pagi?" tanya Alfa penasaran
"Dio dan Arvy."
"Apa? Jangan bilang kau memberitahu passwordnya pada mereka?"
"Iya. Lag ipula password pintu kita kan sama."
"Astaga…" Alfa memegang kepalanya. "Memalukan sekali. Kau tahu kalau sandinya hari ulang tahunmu kan? Ah aku pasti akan diolok habis habisan."
"Haha. Tenang saja mereka bukan orang seperti itu kok."
"Benar-benar kau ini."
Amy tertawa melihat Alfa yang panik karena malu.
"Kau tahu, Alfa. Aku sangat takut kemarin."
"Hem?"
Amy menoleh. "Aku bilang aku sangat takut kemarin."
Mata mereka saling bertemu, keduanya bertatapan cukup lama. Alfa akhirnya mengalihkan matanya. Ia meremas kaleng minumannya.
"Aku lebih takut."
"Mana mungkin. Aku yang lebih takut kau tidak akan kembali. Dasar!" Amy cemberut, ia memalingkan wajahnya.
"Aku takut kau akan membenciku." Alfa menunduk. "Aku takut kau tidak ingin melihatku lagi."
"Ha?! siapa yang memberi tahumu begitu? Memang siapa yang bilang kalau aku akan membenci sahabatku yang berada di ambang kematian? Apa kau sudah gila?"
"Kau…tidak ingin bertanya siapa yang membuatku koma kemarin?"
"Tidak." Amy meminum kopinya sembari menatap ke arah lain.
"Amy."
"Aku tidak ingin tahu."
"Amy. Lihat aku." Alfa berdiri menghadap Amy sembari menatapnya dalam.
"Apa? Apa? Kenapa kau memanggilku seperti itu? Membuat orang tidak nyaman saja."
"Kak Dio dan Kak Arvy juga tidak bertanya apapun. Sebenarnya kalian ini kenapa sih?"
"Ya tanya saja sendiri sama mereka. Kenapa tanya padaku, tentu saja aku tidak tahu.
"Maafkan aku, My. Aku sudah membuat kita semua dalam situasi yang sulit seperti ini."
"Kau ini dasar… woy Alfa, setelah ini kau harus introspeksi."
"Introspeksi?"
"Iya. Kau harus bilang padaku kalau kau ada masalah. Jangan memendamnya seorang diri. Aku ini kau anggap apa? Orang asing? Dasar teman tidak tahu diri kau!"
Alfa tersenyum, hampir menahan tawa.
"Eh? Kau tertawa barusan? Sialan."
"Bukan begitu, hanya saja, kau gadis indigo. Aneh kalau kau mengatakan itu."
"Aku juga tidak tahu. Cuma kau yang tidak terbaca. Cuma kau yang tidak bisa kuduga apa yang sedang kau pikirkan," jawab Amy, tentu saja hanya di batinnya.
"Aku…aku sudah berubah sekarang. Aku…" Alfa terhenti.
"Aku menjadi orang biasa akhirnya. Aku menjadi orang yang sangat biasa sekarang," sambungnya dalam hati kemudian.
"Aku apa?"
"Aku akan bilang kalau ada sesuatu. Aku tidak akan menyusahkan banyak orang lagi. Sudah kapok, hehe." Alfa mengengeh, agar Amy tenang dan tidak khawatir.