"Ini untukmu," ujar ayah sembari memberikan kantung makanan pada Dio.
"Apa ini?"
"Kau juga belum makan, kan?"
Dio menerimanya.
"Aku membeli dua porsi. Makanlah bersama Arvy."
"Ayah," panggil Dio sambil menatap makanan yang diberikan ayahnya.
Ayah mengangguk.
"Kapan ayah datang? Bukankah jauh dari ibu kota kemari?"
"Apa? Kau lupa ayahmu ini siapa?" candanya.
"Aku tidak tahu ini akan terjadi. Maafkan aku, Yah."
"Kenapa wajahmu serius sekali?"
Dio menunduk.
"Entahlah," Dio terkekeh, tapi nampak terpaksa. "Akhir-akhir ini aku merasa tidak bisa mengurus Amy dengan baik."
"Sekali lagi kau katakan itu," ayah menatapnya tajam. "Ayah akan mencoretmu dari kartu keluarga."
"Ha?"
"Woy, kau pikir anak ayah cuma Amy? Sadarlah, kau juga anakku! Kenapa kata-katamu mengenaskan begitu?!"
"Aku serius."
"Apa kau pernah minum?"
"Kenapa?"
"Ayo minum lain kali."
"Aku sibuk." Dio mengalihkan pandangannya.
Ayah tertawa.
"Pinjam tangan kirimu."
"Buat apa?"
"Sudahlah cepat."
Dio mengulurkan tangan ke depan, lalu ayah memegang dan memeriksa telapak tangan kirinya. Setelah mendengar bahwa Alfa memiliki kutukan ilusi di tangannya diam-diam yang mirip seperti Amy, ia jadi khawatir jika Dio memilikinya. Namun bukan itu yang di dapatinya, melainkan sebaliknya. Holan melihat betapa murninya aura putranya itu. Ia tahu Dio memang sangat baik dan bisa diandalkan tapi tak pernah membayangkan bahwa semurni itu.
Dio heran melihat ayahnya tersenyum.
"Apa ada yang salah?"
"Tidak. Hanya saja sepertinya kau akan jadi dokter yang baik."
Dio menarik tangannya dan berdehem pelan, malu.
"Apa ayah belajar meramal di sana?"
Ayah tersenyum simpul.
"Tenang saja. Aku bukan Amy yang perlu kau khawatirkan tentang masalah seperti itu. Kau tenang saja."
"Memang apa yang kau lakukan?" ayah mengujinya.
"Ayah tidak perlu tahu."
"Dio, kita harus bicara lebih dalam lain kali. Kau paham?"
"Apa?" Dio tampak menolaknya dari ekspresinya.
"Aku pergi dulu."
Ayah berbalik dan melangkah menjuah di koridor. Ia melambai.
Dio membuka isi kantung makanan itu dan terkejut dengan isinya. Bukan hanya makanan namun juga black card milik ayahnya yang ditinggal di dalamnya.
"Ayah sialan!" umpat Dio dalam hati. Namun tanpa ia sadari, sudut bibirnya terangkat sedikit, senyum tipis itu merekah saat diingatnya kata ayahnya tadi bahwa dirinya juga anaknya. "Dasar, aku juga tahu itu."
***
Rataka berjongkok dan melihat darah yang berceceran di lantai bawah di gedung kosong tempat Alfa tergeletak tak sadarkan diri. Ia meneliti sekeliling dna berusaha jejak bau non-manusia biasa yang masih tersisa. Sialnya gerimis perlahan turun, baunya pun tercampur dengan tanah. Hujan deras sore itu.
"Nomor 2 ya.. hemmm…"
Pilar itu rupanya bergerak lebih cepat. Sejak kapan dia menjadikan sandera Alfa yang notabenenya adalah teman masa kecil Amy, terlebih saat di panti asuhan dahulu. Jika dibayangkan dengan nalar seperti rentang waktu, maka itu terlalu berlebihan karena kutukan di tangan Alfa sangat fatal. Jika tidak dengan pertimbangan dia bisa mati kapan saja jika sang pengguna mantra seenaknya membuatnya gelagapan dengan kesakitan yang luar biasa.
"Alfa…anak itu pasti sudah sangat menderita. Mantra kutukan itu sudah jelas berada di tangannya sejak lama. Sayangnya aku tidak bisa menebak kapan kira-kiranya. Ada satu hal yang paling masuk akal kenapa dia melakukan itu, menjadi mata-mata dua bangsa bukan perkara mudah. Auranya tidak terdeteksi dulu (merujuk pada peristiwa saat Alfa dan Amy di uks sekolah) aku tidak merasakan apapun saat di dekatnya seolah dia murni manusia biasa pada umumnya. Bagaimana aku bisa kecolongan?" batinnya kesal.
Rataka berdiri dan berusaha menelisik jejak bau. Ia berdiri di teras depan dan melihat air hujan yang jatuh tepat di talang-talang depannya. Hujan cukup deras. Aromanya sudah bercampur aduk, ia berhenti mencari dan hanya menghela napas sembari memasukkan kedua tangannya ke saku celana. Kali ini ia sendirian, Liska (pedang emas) berada di kotaknya untuk penyembuhan. Ia sudah memaksanya berlebihan saat itu. Karena terlalu marah akhirnya dia malah membuat Liska sakit.
Ia menatap langit mendung yang sesekali bersuara gemuruh. Pandangannya nanar, ia agak stres.
Swiiiiingggg
Tiba-tiba terasa aura kuat di sekitar area gedung itu. Seolah hawa milik seseorang yang cukup kuat. Rataka kaget sejenak namun ia kembali tenang. Dikeluarkannya telapak tangannya dari saku celana dengan perlahan.
"Ada seseorang selain aku di sini," batin Rataka.
"Kakak?" terdengar suara seseorang yang lemah dari belakang.
Rataka menoleh ke belakang. Ia mendapati seseorang yang menarik.
Ia adalah seorang pria berwajah imut, berbadan kecil memakai seragam sma namun bagian kemeja atasnya ada beberapa goresan noda darah. Rataka menyipitkan mata melihatnya.
Ekspresi anak itu seketika berubah ketika Rataka menoleh menatapnya.
"Eh? Bukan kakak?"
Rataka menyadari bahwa aura kuat itu datang dari bocah itu. Ia sadar dan segera membuat aura dirinya sendiri menurun agar bocah itu tak menaruh kecurigaannya.
"Loh? Sudah hilang?" kata anak itu dengan heran.
Rataka semakin yakin dia bukan bocah biasa. Ia lalu membuka jasnya dan mengambil sebatang rokok dan korek api. Lalu menyulutnya dan mulai merokok. Ia mendekati bocah itu.
"Kau mengenalku?"
"Ti…tidak, Kak. Kukira tadi kau kakakku. Ternyata aku salah orang, hehe." bocah itu mengengeh. Ia meggaruk rambutnya dan terlihat malu.
"Apa aku mirip kakakmu dari belakang?" tanya Rataka sembari mengeluarkan napas berasap, yang tidak sengaja tercium olehnya hingga terbatuk-batuk.
"Uhuk uhuk uhuk."
"Kau tidak suka pada bau rokok?"
"Tidak kok. Aku baik-baik saja."
"Baguslah. Pria dewasa banyak yang suka merokok, apa kakakmu tidak begitu?"
Bukannya berhenti, Rataka makin mengeluarkan banyak asap dari mulut dan hidungnya. Terlihat bocah itu menggenggam tangannya dengan erat dan menahan panik. Urat-urat lehernya yang berwarna hijau terlihat jelas, ekspresinya menahan amarah yang amat sangat. Namun beberapa detik kemudian ia kembali, anak itu tersenyum dan berusaha baik-baik saja.
"Kalau kau tidak tahan bau rokok, bilang saja. Aku bisa membuangnya."
"Tidak perlu!" teriaknya tiba-tiba.
Rataka tenang menghadapinya. Ia pura-pura terkejut.
"Oh maafkan aku."
"Tidak tidak tidak. Aku tidak marah."
"Sebenarnya kau sekolah dimana?" Rataka menatap celana dan kemejanya. "Kemejamu kotor, apa sesuatu terjadi padamu?" ia mendekat dan hendak menyentuh seragam putihnya yang terdapat beberapa bekas darah yang cukup jelas.
Disentuhnya noda darah itu. Rataka tersenyum miris, "Ternyata memang darah rupanya." matanya berubah tajam dan memicing.
Bocah itu tiba-tiba berbuah, kali ini lebih cepat dan ganas dari tadi, urat-uratnya keluar tidak dari leher saja, namun semua area tubuh seperti tangan dan wajah. Wajahnya yang imut kini berubah garang. Ia mendorong Rataka hingga terpental keluar halaman sejauh berpuluh-puluh meter dari gedung utama. Beruntung halaman cukup luas dan ia tak menabrak pohon.
Srrrrraaaaakkk
Rataka menahannya dengan kaki, hingga ia mendarat dengan mulus.
"Kekuatannya cukup besar ternyata."
Dari jauh terlihat bocah kecil itu tiba-tiba berteriak hingga menggelegar, tubuhnya tiba-tiba membesar hingga mirip raksasa hulk, hanya saja ia tak berubah warna. Rataka tersenyum. Ia menduga akan bertemu seseorang yang menarik jika datang ke gedung tempat dimana Alfa dipukuli. Dan ternyata memang tak sia-sia.
Secepat kilat ia yang berada jauh dari bocah itu secepat kilat tiba-tiba ia sampai di hadapannya. Wujud bocah yang nampak lugu itu sangat berbeda jauh, ia tampak mengerikan seperti raksasa.
"Siapa kau?!" teriak bocah itu. Amarah menguasainya.
"Harusnya aku yang bertanya itu. Tapi sayangnya aku sudah mengetahui tentangmu lebih dulu," Rataka hanya memiliki satu ekspresi yaitu senyuman yang penuh arti.
"Kau tahu siapa aku?"
"Tak kusangka kita akan bertemu secepat ini…Rowlett."