Rataka mulai tertarik dengan Rey.
Ia terkejut melihat perubahan wujudnya yang menjijikkan ini, padahal sebelunya Rey terlihat tampan meskipun sebagian wajahnya rusak. Ia tak mengira akan separah ini. Melihatnya mengaum dan berkoar bersamaan seperti hewan buas membuatnya sedikit curiga.
Perubahan fisik dari diri Rey juga terjadi begitu cepat dan teratur, seolah anak ini sebelumnya menggunakan kekuatan yang sama di situasi yang sama. Hampir semua bagian tubuhnya dipenuhi mata berlendir yang berkedip setidaknya dua detik sekali. Kuku-kuku jarinya memanjang dan ada bulu lebat gimbal di sekitar lehernya. Rataka dengan tenang masih mengamati betapa indahnya makhluk yang jaman sekarang jarang ditemui itu.
Lebih gilanya lagi Rey nampaknya masih memiliki kesadaran manusia dan berpikir saat ini. Itu adalah ciri bukan fyber biasa, DNA-nya mungkin berubah sepanjang emosinya, namun tidak bisa disimpulkan secepat itu. Pokonya Rataka harus mendapatkannya hidup-hidup. Ia tersenyum sembari menaikkan salah satu alisnya. Dia akan jadi objek penelitian yang sangat bagus jika benar-benar tidak dinaungi olehSegitiga Merah.
"Kenapa orang itu diam saja melihat perubahanku yang seperti monster ini?" batin Rey.
Sesekali Rey mengaum dan menggeram lagi. Suaranya seperti binatang buas yang dikurung dalam satu tempat.
"Siapa yang memeliharamu?" tanya Rataka dengan tenang.
"A…apa? Dia tahu aku ini peliharaan? Tidak mungkin!" batinnya panik.
Rey panik mendengar pertanyaan pria asing di hadapannya itu. Ia mengambil langkah menyerang dan hendak menjatuhkannya dalam satu kali serang. Dirinya lagi-lagi menggeram keras hingga burung-burung hutan beterbangan keluar. Lendir di tubuhnya makin banyak, intensitas mata di seluruh tubuhnya berkedip semakin tinggi.
"Siapa kau sebenarnya sialaaan!!" Rey berlari dan meninju Rataka yang kecil dengan tubuh monsternya, namun keanehan terjadi.
Hap!
Kepalan tinju yang besar itu ditangkap Rataka dengan mudah hanya menggunakan satu tangan. Ia lalu mengayunkannya ke samping dan membuat Rey terpental hingga menabrak pohon besar.
"Tidak mungkin dia bisa menahan kekuatan fyber-ku. Apa dia benar-benar salah satu bawahannya Arvy? Kekuatannya jauh berkali-kali lipat lebih besar darinya. Dengan tubuh sekecil itu dia menahan tubuhku dna melemparku. Siapa orang itu sebenarnya?" batin Rey.
"Kenapa? Kau penasaran siapa aku?"
"S..siapa kau?! Kenapa kau mencegahku?! Gadis yang dibawa pria tadi adalah milikku!! Milikku! Grrrrrr!! Aku mau gadis itu! Aaaaarrrrkkkhh."
"Dari kata-katanya sepertinya Arvy pernah berhadapan dengannya. Sepertinya ia juga sudah makan banyak jiwa, tapi masih bisa mempertahankan kewarasannya sebagai manusia. Bocah ini benar-benar…" gumam Rataka. Ia menaikkan salah satu sudut bibirnya. "….menarik."
"Aku harus membawamu hidup-hidup."
"Apa katamu, Br*ngsek?!"
Rataka menghampiri Rey yang jatuh di tanah karena pukulannya. Disentuhnya separuh wajahnya yang rusak.
Rey tidak tahu kenapa ia tak menyerang balik di posisi sedekat ini. Tanpa sadar tubuhnya gemetaran. Orang ini bukan manusia biasa, kekutannya berada berada jauh diatas monster sepertinya.
"Wajahmu ini, sayang sekali," kata Rataka pura-pura prihatin. "Siapapun Tuanmu, aku akan mencurimu darinya."
Rey tertegun, ia menggeram seperti binatang peliharaan.
"Monster menjijikkan sepertimu, harus jadi milikku." Rataka tersenyum bak psikopat.
***
"Arvy," panggil Gita dengan napas tersengal. Ia kelelahan berlari hingga mengeluarkan banyak keringat dingin. Lengannya mendadak lemah, lalu perlahan terlepas dari genggaman Arvy. Ia terjatuh ke tanah.
Arvy menyadarinya, lalu menangkapnya sebelum terlambat.
"Gita!" paniknya melihat gadis itu pingsan.
Arvy membawanya ke tendanya, tenda pribadi untuk tamu. Di lapangan masih sepi, beberapa tamu undangan entah pergi kemana dan rombongan penjelajah masih belum kembali. Tiba-tiba seorang laki-laki yang merupakan salah satu tamu undangan, masuk ke dalam tenda membawa sebotol air mineral dan kompres.
Arvy menoleh terkejut.
"Namaku Awan, dari fakultas teknik. Sepertinya kita beda fakultas, tapi masih di universitas yang sama setidaknya." Pria bernama Awan itu mengulurkan air dan kompres. Ia duduk di samping Arvy. "Sepertinya dia demam."
Arvy mengecek suhu tubuh Gita dengan menempelkan telapak tangan di dahinya, dan benar saja ternyata Gita demam. Ia tak mengiranya.
"Darimana kau tahu dia demam?"
"Aku lihat kau menggendongnya tadi. Dia mengeluarkan banyak keringat. Harusnya aku yang tanya, kenapa kau bisa tidak tahu padahal bersamanya dari tadi?"
"Ini salahku. Aku mengajaknya ke sini tanpa memberitahunya lebih dulu." Arvy menghela napas.
"Setidaknya dia terlihat senang. Bukankah di juga sukarela mengikutimu?"
Arvy kaget dengan Awan juga mengetahui itu. Ia menoleh ke arahnya.
"Jangan curiga dulu. Aku tidak bermaksud ikut campur urusan kalian."
"Aku tidak mengatakan apapun."
"Aku melihatnya tadi, dia terus di belakangmu meskipun kau tidak menanggapinya. Bukankah kau tidak memaksanya untuk mengikutimu? Itu artinya bukan salahmu. Ini pilihannya jika terluka bersamamu. Dan kau harus menghormati pilihannya, bukan menyalahkan dirimu sendiri."
Arvy tertegun mendengar ceramahnya.
"Pastikan kau menemaninya."
Awan berdiri, ia menyingkap pintu tenda.
"Tunggu!" Arvy menatapnya. "Terima kasih."
Awan tersenyum sembari mengangguk sopan. Ia kemudian keluar tenda.
Arvy menemaninya di dalam. Ia melihat raut wajah Gita yang tertekuk, kesakitan dan ketakutan.
Sekitar hampir tengah malam kelompok penjelajah satu per satu mulai kembali ke perkemahan. Salah satu pembimbing mendapati Arvy tengah duduk di depan api unggun kecil dengan melamun. Ia mengambil dua cangkir kopi dan menghampirinya.
"Kau belum tidur?" tanya pembimbing sembari memberikan segelas kopi lalu duduk di sampingnya.
Arvy mengangguk dan berterima kasih..
"Bagaimana dengan teman yang kau bawa?"
"Dia tidak enak badan."
"Dia sakit? Ada kotak obat di markas. Mau kuambilkan?"
"Tidak perlu. Kau tahu kalau dia perempuan?"
"Ha? Jadi teman yang kau maksud itu perempuan?" Pembimbing tidak percaya. Ia kemudian tersenyum menggoda. "Apa dia pacarmu?"
"Tidak."
"Setelah kulihat-lihat lagi, kau hanya pakai kaus pendek dari tadi. Kalau kau butuh selimut aku akan mengambilkannya untuk pacarmu."
"Sudah kubilang bukan pacarku, kan?"
"Iya, iya, percaya." Pembimbing masih menggodanya.
Gita keluar dari tenda dan menghampiri mereka. Pembimbing melihatnya dan menyadari bahwa dia adalah gadis yang dimaksud. Ia sadar diri dan langsung meninggalkan mereka berdua.
"Kalau begitu aku kembali dulu untuk memastikan anggota yang lain sudah beristirahat."
"Em, kau juga istirahatlah."
"Coba lihat di sana, sepertinya temanmu itu sudah baikan."
Arvy menoleh dan mendapati Gita melangkah mendekat ke tempat ia duduk. Pembimbing sudah kabur lebih dulu.
"Arvy," panggil Gita.
"Kenapa tidak istirahat saja?"
"Bolehkah aku duduk bersamamu?"
Arvy mebersihkan karpet lalu mempersilahkan Gita duduk.
Malam ini tidak terlalu sunyi. Anggota jelajah sebagian besar sudah terlelap karena kelelahan. Para tamu undangan ngopi santai bersama pembimbing di markas atau tenda besar nan panjang yang lebih hangat. Ada beberapa juga anak-anak yang menghabiskan waktu dengan main gitar dan bernyanyi di depan tenda mereka masing-masing. Begitu juga Arvy dan Gita yang duduk di depan api unggun kecil yang terletak agak jauh dari tenda-tenda, bukan api unggun utama di tengah lapangan.
"Bagaimana keadaanmu?" tanya Arvy. Ia menatap api unggun yang menyala.
Gita tersenyum mendengar Arvy.
"Kenapa?" Arvy heran melihat Gita yang senyum-senyum, sepertinya ia sudah membaik.
"Aku cuma senang mendengar suaramu."
"Ha?"
"Suaramu seperti gula."
Arvy hanya terdiam menatapnya dalam.
"Terima kasih dan juga maaf. Kau selalu menolongku tapi aku menyusahkanmu lagi dan lagi."
Gita membuka kemeja yang melingkar dipinggangnya lalu memberikannya pada Arvy.
"Kenakan pakaianmu."
Arvy tersenyum. Ia mengambilnya namun menutupkannya pada kaki Gita. Ia melihat lututnya yang memerah karena dingin.
"Kau mengkhawatirkanku?"
"Iya."
"Jujur sekali. Katamu suaraku seperti gula, kan?
Gita mengangguk. "Apa semua suara pria punya suara halus dan lembut sepertimu?"
"Tidak. Hanya suara pria yang disukai perempuan yang bisa seperti itu."
"Benarkah?" Gita tersenyum dan tersipu. "Aku ketahuan."
"Bukankah kau akan pergi ke Toronto?"
Gita tidak ingin mengingat itu. Ia menunduk sedih mendengar Arvy mengatakannya.
Arvy mengangkat dagunya. Gadis itu sendu dan berkata seolah tak ingin pergi ke manapun.
"Aku takut kau akan terluka jika terus bersamaku. Semua hal yang terjadi padamu selama ini, bukanlah salahmu atau kecerobohanmu. Itu adalah takdir, takdir karena kau bertemu denganku. Kau masih suka denganku setelah semua ini?"
"Aku…"
Arvy tak ingin mendengar jawabanya. Ia menarik pinggang kecil Gita mendekat, mengangkat dagunya dan menempelkan bibirnya di bibir merah muda itu. Keduanya saling menutup mata dan berciuman lembut.
"Aku tidak akan pernah membiarkanmu pergi dari sisiku," kata Arvy dalam hati.