Di kantor, ruangan direktur Rossan.
Arvy berjalan di koridor kantor menuju ruangan direktur. Ia menuju ke meja sekretaris di samping kantor.
"Apa kakek, ah maksudku Direktur ada di ruangannya."
"Ah Tuan Muda Arvy. Direktur pasti sangat senang anda berkunjung kemari," Sekretaris perempuan itu tersenyum lebar.
"Apa aku boleh langsung masuk ke dalam?"
"Tentu saja. Silahkan masuk saja, Tuan Muda."
Setelah dipersilakan, Arvy berdiri di ruangan direktur sembari membawa sebuah vas bunga kecil yang berisi bunga tulip kuning di dalamnya dan juga sebuah foto. Ia memandangi foto itu lama, lalu ia masukkan kembali ke saku coat-nya Setelah ragu-ragu ia akhirnya memutuskan masuk ke dalam.
Namun ia terkejut, kakeknya ternyata memiliki seorang tamu di dalam. ia hendak keluar namun kakeknya menghentikannya.
"Arvy, masuklah. Tidak apa-apa."
"Baiklah."
Ia berjalan masuk dengan canggung kemudian duduk. Di ruangan tersebut ada beberapa kursi dan dengan satu meja di tengah. Direktur sekarang tengah duduk berhadapan dengan seorang laki-laki yang terlihat seumuran dengannya.
"Duduklah, Vi." kakek mempersilakan duduk. Ia menuangkan teh ke cangkirnya.
Anehnya, Arvy melihat sudah ada satu cangkir yang ditempatkan di sana sebelumnya, aeolah-olah mereka tahu akan ada tamu yang datang. Tamu yang terlihat muda itu tersenyum menyapanya.
"Aku senang sekali kau mampir ke sini," kata Kakek sembari tersenyum lebar.
"Oh ya, aku membawakan vas bunga untukmu, Kek."
Arvy memberikan vas bunga mini itu.
"Wah cantik sekali. Aku akan menyimpannya." Kakek menaruhnya di meja kerjanya, kemudian duduk kembali.
"Ah ya, Arvy. Dia teman lama Kakek." Kakek memperkenalkan pria yang duduk di hadapan Arvy.
"Teman lama?"
"Maksudnya, saya adalah anak dari teman lama direktur,"
Jawab pria itu.
Kakek gelagapan, ia memita maaf karena sudah tua dan agak pikun sembari tertawa garing.
"Perkenalkan, namaku Rataka." pria itu mengulurkan tangannya untuk bersalaman.
Arvy menerimanya dengan sopan.
"Aku Arvy."
Arvy memperhatikan Rataka dengan seksama.
"Apa kita pernah bertemu sebelumnya?"
Rataka menanggapinya dengan tenang, kecuali direktur yang agak gugup.
"Entahlah."
Rataka tersenyum dengan ekspresi yang tidak jelas di wajahnya. Entah penuh kebohongan atau air muka yang menyembunyikan sesuatu dengan handal. Arvy masih menatapnya dan memperhatikan ekspresi dan gesture-nya dengan intens. Mereka masih bersalaman dengan erat. Arvy tersenyum tipis kemudian mengatakan.
"Sepertinya kita memang pernah bertemu sebelumnya."
Rataka dan Arvy masih saling bersalaman dengan erat. Arvy tersenyum tipis kemudian mengatakan.
"Sepertinya kita memang pernah bertemu sebelumnya."
Mereka melepaskan tangan.
"Mungkin saja. Aku sudah menemui banyak orang selama hidupku, bisa jadi kau salah satunya." Rataka tersenyum tipis.
"Sepertinya kita seumuran."
Direktur melihat interaksi keduanya.
"Arvy, apa yang membawamu kemari?" sela direktur di tengah-tengah percakapan mereka.
"Ah itu…"
"Sepertinya saya masih ada urusan, Direktur," Rataka menyela, ia berdiri. "Kalau begitu terima kasih atas waktunya. Saya permisi dulu."
"Baiklah." Direktur tersenyum.
Setelah Rataka meninggalkan ruangan, barulah direktur berbincang dengan Arvy.
"Kakek, aku ke sini…."
"Sepertinya kau bukannya tanpa alasan membawakanku hadiah," tebak Direktur sembari tersenyum. "Apa masalah ada, Vy?
"Bukan masalah besar. Aku cuma ingin mencari seseorang. Bisakah Kakek menemukannya untukku?"
"Sayang sekali, bunga tulip yang kau bawakan terlalu cantik. Aku jadi tidak bisa menolak. Jadi, siapa orang yang ingin kau temukan?"
"Bukan siapa-siapa. Cuma teman kuliahku dulu."
"Perempuan?"
"Iya." Arvy memalingkan mukanya malu.
"Yess!" Direktur mengepalkan tangannya dan meninju pahanya pelan.
"Kenapa?"
"Kau tahu betapa frustasinya aku dan ayahmu, anak sialan! Ayahmu selalu datang mengeluh bahwa kau tidak pernah dekat dengan wanita manapun sejak dulu. Dia mengkhawatirkanmu! Apalagi sekarang istilah 'itu' semakin marak di internet. Kau tidak tahu betapa hampir gilanya ayahmu?!"
"Ayah tidak pernah bertanya."
"Itu karena kau sangat dingin. Aku bertanya-tanya AC merek apa yang kau letakkan di otakmu, sampai jadi sedingin ini."
"Kenapa Kakek jadi memarahiku?"
"Maksudku, lebih terbukalah dengan ayahmu. Sekarang ini dirinya sudah tidak muda, dia khawatir melihat putra satu-satunya tumbuh tanpa cinta. Perbaikilah hubungan keluarga kalian."
"Iya iya, Kek. Tadi maksudnya 'itu' apa?"
"Iya 'itu' loh. Yang pria tidak menyukai wanita, tapi menyukai…"
"Apa?! Ayah mengira aku g*y? Gila sekali. Kenapa kita jadi membahas ini?"
"Berapa usiamu sekarang?"
"Jangan menyuruhku menikah." Arvy memalingkan wajah.
"Jadi gadis mana yang ingin kau dapatkan?"
"Dia hanya temanku, Kek! Aku kan sudah bilang tadi!"
"Iya iya Vas bunga itu hanya untuk menyogokku. Dasar. Tidak apalah setidaknya kau agak normal hari ini."
Arvy hanya berdehem. Ia kemudian mengeluarkan sebuah foto dari balik coat-nya. Lalu diletakkan di meja.
"Dia," Arvy menatap foto itu lama. "Dia temanku semasa kuliah dulu."
Direktur mengetahui dari tatapan matanya.
Mata itu, menggambarkan sebuah kerinduan yang tertahan, rasa ingin meyampaikan sesuatu yang terdalam, namun berhenti ditengah-tengah, lalu perlahan tenggelam. Perasaan manusia adalah bagian yang lemah dan rentan. Sekuat apapun fisik manusia, sebagian besar dari mereka dikalahkan oleh perasaan.
Direktur mengambil foto itu. Memperhatikan gadis manis berambut panjang agak kecoklatan. Kemudian menghela napas panjang, diliriknya Arvy yang berekspresi tidak biasa.
"Arvy…kau tahu kan mudah menemukan orang lain bagi kakekmu ini. Tapi maukah kau jawab dengan jujur satu pertanyaanku?"
Arvy diam sejenak kemudian menjawab dengan mantap. "Baiklah. Aku akan menjawab apapun itu."
"Mendengar jawabanmu sepertinya gadis ini benar-benar penting untukmu."
"Tidak. Aku hanya berhutang padanya. Karena itu aku ingin membalasnya."
"Kuharap kau benar-benar jujur. Aku bukan tipe orang yang murah toleransi seperti ayahmu. Selama ini, apakah kau bisa melihat sesuatu yang seharusnya tidak dilihat orang biasa?"
Degh
Arvy membulatkan matanya, beberapa detik kemudian ia menghindari tatapan serius kakeknya. Ia tidak ingin menjawabnya. Entah bagaimana kakek tahu tentangnya sebanyak itu. Padahal dia sengaja menghindar dari keluarga utama.
"Apa maksud, Kakek?"
"Aku tanya apa kau indigo?"
"Kenapa tanya hal tidak masuk akal seperti itu?"
"Kau hanya perlu menjawa iya atau tidak, kan. Kenapa kau kelihatan kesulitan?"
"Bukan begitu, aku hanya…" Arvy menatap kakek, sepertinya ia tahu apa yang dipikirkannya. "Aku kira kau sudah tahu jawabannya."
"Sejak kapan?"
"Bukannya tadi Kakek bilang satu pertanyaan?"
"Arvy…Aku tidak tahu persis kenapa kau menyembunyikannya. Tapi kau bisa mengonslutasikannya dengan…"
"Berhenti, Kek." Arvy menatap dingin kakeknya. "Seperti keputusanku salah untuk datang ke seini."
Arvy berdiri hendak meninggalkan ruangan namun kakek mengatakan sesuatu yang mencegahnya.
"Amy, keponakanmu…kau paham kondisinya sekarang?"
"Itu bukan urusanku."
"Tentu saja itu urusanmu. Aku hanya ingin tahu sejak kapan kau menjadi anak indigo."
"Kenapa, Kek? Kenapa baru sekarang kau peduli?! Apa karena Amy?" Arvy menatap kakeknya dengan benci.
Direktur Rossan sendiri terkejut melihat reaksinya. Ia tidak tahu Arvy bisa mengeluarkan emosi seperti itu. Perlahan kakek menunduk, sepertinya ia mengerti apa yang sedang dibicarakannya.
"Jawab pertanyaanku, Kek?"