webnovel

Parafrenia

"Mayor, ijinkan aku tinggal sendiri," pinta Amy dengan tegas. Wajahnya serius.

Namun Mayor menanggapinya dengan candaan. "Wajahmu kalau begini tidak ada cantik-cantiknya. Aku akui sandiwaramu sebagai putriku yang manis memang mengesankan, tapi…tidak bisakah kau mengangapku sebagai ayahmu yang sesungguhnya? Tidak bisakah kau memanggilku ayahmu ini tanpa embel-embel mayor? Asal kau tahu aku ini sekarang Letnan, bukan Mayor."

"Aku cuma terbebani tinggal bersama Dio. Lagipula kau selalu di kantor, kalau tidak ya tugas di luar kota. Kau sudah tua, Mayor, berhentilah jadi polisi."

"Justru itu," air muka Mayor berubah serius. "Karena aku sudah tua. Aku harus mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya selama aku masih menjadi polisi. Bukankah ini kesempatan yang bagus?"

"Bagaimana kalau kau mati?"

"Sekarang kau baru khawatir." Mayor memasang muka bersedih. "Kau mungkin hanya akan memanggilku ayah saat aku mati. Lalu memelukku dan menangis untukku hanya untu saat itu."

"Mayor! Kenapa kau bicara seperti itu, sih?!" Amy marah.

"Kalau begitu jangan pernah panggil aku dengan mayor lagi, dan juga panggil kakakmu dnegan benar. Jangan main asal panggil dengan nama. Hatinya pasti sakit sekali melihat adiknya membangkang." mayor memegang dadanya dan bermain drama.

"Aku ingin tinggal di apartemen kecil yang biasa. Aku ingin hidup mandiri."

"Tunggu sampai kau lulus SMA."

"Ha? Itu kan masih lama sekali?"

"Memangnya kau bekerja? Siapa yang akan mengijinkan anak dibawah umur tinggal di apartemen sendirian? Pemilik apartemen akan menelpon walimu, atau kemungkinan terburuk akan menelepon polisi. Lagipula siapapun yang di telepon toh tetap aku yang datang. Kau lupa kalau aku ini polisi sekaligus walimu?"

Amy nampak berpikir sejenak, kemudian memutuskan. "Baiklah. Aku akan menunggu beberapa tahun lagi sampai lulus."

"Kau kira semudah itu?" Jika kau memanggilku ayah dan kakakmu dengan benar, aku akan mempertimbangkannya."

"Tapi Mayor, sepertinya sekarang aku melemah. Jadi sebelum pindah aku harus belajar banyak darimu, dulu."

"Memang ada yang seperti itu? Cih, panggil aku ayah dulu."

"Mayor, apa aku perlu latihan kekuatan?"

"Panggil aku ayah."

"Haruskah aku melatih fisikku?"

"Panggil aku ayah."

"Aku harus jadi kuat sebelum lulus sekolah agar bisa tinggal sendirian."

"Aishhhh anak ini!" Mayor menutup bukunya dan berdiri dari sofa. Waktu santainya sudah berakhir. Ini adalah hari minggu yang tidak tenang di rumah.

"Karena ini libur bisakah kau mengajariku agar tahan dari mantra hitam?" Amy memohon.

"Cobalah sekali-kali kau piknik dengan teman-teman sekelasmu. Latihan latihan latihan! Apa cuma itu saja yang kau pikirkan? Kau ini anak gadis, mau sampai kapan begini?"

" Cih." Amy malas mendengarnya.

Di tengah rumah ada sebuah halaman terpisah yang tidak memiliki atap. Biasanya Mayor membaca buku di sana saat pagi hari. Sangat cocok dengan usianya. Ia membaca buku berat sembari menikmati kopi. Di meja sisinya ada vas yang berisi bunga segar dan sebuah foto lama Bu Nadia.

"Bukankah lebih baik begitu? Aku selalu berharap kau menjadi gadis normal."

"Apa kau bercanda?"

"Tidak. Ini cuma keinginan kecil Nadia."

Amy terdiam tidak nyaman dan sedikit merasa bersalah mendengarnya. Ia melihat mayor memandangi foto Bu Nadia dengan sedih.

"Jika aku menjadi anak normal, kau tidak akan bisa membuka segel yang kita bekukan di tubuh Bu Nadia. Memang siapa yang akan melakukannya bersamamu kalau bukan aku?" Amy membuang muka.

"Aku tahu. Mungkin Nadia juga tahu itu. Tapi dia pasti tetap berharap kau menjadi gadis normal pada umunya," Mayor tersenyum simpul. Tiba-tiba ia teringat dengan kisah lama. "Dulu, Nadia bilang ingin menguncir rambut panjang jika punya anak perempuan. Kurasa keinginannya itu…"

"Aku akan mewujudkannya. Aku akan membuat keinginan itu terwujud. Jadi Mayor, kau harus melatihku agar lebih kuat. Kau tahu aku masih 14 tahun kan? Ingatan anak remaja sangat hebat. Mungkin aku akan jadi sangat pro sebelum usia 19."

Mayor mendecakkan lidah mendegar kesombongan putri semata wayangnya itu. Namun tidak bisa dipungkiri bahwa hal tersebut adalah fakta. Ia tidak bisa mengajari Amy banyak hal untuk sekarang, karena usianya belum cukup untuk menerima tempaan darinya.

***

Di luar sekolah, hujan mengguyur sangat deras. Dio menengok dari jendela dan menatap ke bawah. Kelasnya berada di lantai tiga.

"Sepertinya hujannya akan lama. Amy sudah pulang belum, ya?" gumamnya dalam hati.

Dio dan Amy terpaut tiga tahun. Saat ini Dio tengah duduk di kelas 11, sedang Amy duduk di kelas 8. Meskipun sekolah mereka berdekatan dan supir menjemput mereka, Amy tidak pernah berbicara sedikitpun padanya. Dengan kakaknya saja dia malas berkomunikasi apalagi dengan orang lain. Dio khawatir Amy tidak bisa atau lebih tepatnya tidak mau bergaul dengan teman sekelasnya.

Plak

Seseorang menepuk bahunya dari belakang hingga Dio terkejut. Ia menoleh, itu adalah Agus, temannya yang duduk di belakang.

"Dio, katanya kau punya adik perempuan yang imut ya. Kenalkan kami dong." beberapa teman laki-laki berdiri mengerubunginya.

"Bagaimana rasanya punya adik perempuan?"

"Iya, nih. Adik laki-lakiku selalu saja minta uang untuk main game di warnet. Bikin kesal saja."

"Dio pasti sering main dengan adiknya, nih."

"Kenalkan lah, jangan pelit kau. Kenalkan ke kami dong."

"Diam kalian. Pergi sana." Dio menanggapinya dengan tersenyum, itu adalah guyonan biasa anak-anak.

Sepulang sekolah, hujan masih deras. Diluar murid-murid ramai bersiap pulang. Ada yang menerobos hujan dengan berlari berpayungan tas, ada yang memakai payung, memakai mantel dan bersepeda, ada yang dijemput supir pribadi dengan mobil. Salah satunya Dio, sebuah mobil mewah menunggu di depan, Amy sudah berada di dalamnya.

"Eh jangan-jangan itu adiknya si Dio?"

"Wah mana-mana? Aku tidak kelihatan nih."

"Minggir sedikit kau. Aku juga mau lihat."

Koridor luar kelas dipenuhi siswa-siswi. Teman-teman sekelas Dio mencuri pandang Amy yang duduk di mobil bagian belakang. Amy sadar anak-anak itu melihatnya.

"Dasar anak SMA menyedihkan." Amy melipat lengan di depan dada.

Dio masuk ke mobil. Dia sengaja menutupi pandangan teman-temannya yang memandangi adiknya dari luar. Amy meliriknya.

"Teman-temanmu itu menyebalkan sekali sih," gerutunya.

"Tapi kau lebih menyebalkan dari mereka."

"Ha?"

"Jalan, Pak," Dio membiarkan Amy cemberut. Mereka meninggalkan sekolah dan pulang.

Di perjalanan keduanya tidak banyak bicara seperti biasa. Amy sibuk memandangi air hujan yang menetes di kaca dan membasahi jendela. Ia diam dan tak mengatakan apa-apa kecuali hembusan napas panjang yang kadang-kadang terdengar lelah. Sedangkan Dio sibuk membalas chat grup teman-temannya yang ramai membahas adiknya.

"Aku tadi lihat adiknya Dio sekilas. Wah bukan main, dia cantik seperti kakaknya yang tampan, tapi tetap lebih tampan aku sih. Hahaha."

"Siapa yang tampan? Dio? Matamu copot atau gimana? Jelas-jelas aku yang paling tampan disini."

"Kau itu cuma otak udang. Harusnya kau dapat peringkat pertama dan sempurna seperti Dio."

"Hahaha"

"Aku jadi ingin bertemu langsung dengan adiknya."

"Ah Dio tidak setia kawan. Dia pelit!"

"Dasar pelit huuuu! Cuma lihat adiknya sebentar saja tidak boleh. Lihatlah dia cuma membacanya, tidak berani keluar."

"Terlalu protektif. Kau pikir kami akan memacarinya. Haha"

Dio senyum-senyum sendiri membaca obrolan konyol teman-temannya. Meski begitu mereka bukan anak nakal. Mereka cuma sering bercanda.

"Siapa yang khawatir dengan Amy. Aku malah khawatir dengan kalian yang akan dibabat habis oleh adikku," batin Dio sembari tersenyum melihat Amy yang masih fokus menatap keluar jendela. "Hanya penampilan luarnya saja yang imut. Dia itu brutal."

Bukannya mereda, hujan semakin menjadi-jadi. Suara gemuruh terdengar berkali-kali di langit. Kilat biru terlihat tengah menyambar entah di area mana. Amy sedikit ngeri melihatnya.

"Apa kita masih lama sampainya?" tanya Amy.

"Entahlah. Biasanya tidak selama ini," sahut Dio.

"Apa jalanan macet, Pak?" tanya Dio pada supir.

"Tidak Tuan Muda."

Zraaassh

Tiba-tiba Amy merasakan ada sesuatu yang tidak beres, jauh dari arah depan. Sebuah truk melaju cepat hingga oleng dan hilang kendali. Namun supir dan Dio tentu saja tak merasakannya. Amy panik hingga meremas jok tempat duduknya. Dio menyadari adiknya tengah bersikap aneh.

"Ada apa? Dingin?" Dio khawatir.

Belum sempat Amy menjawab tiba-tiba sebuah truk dari arah depan melaju dengan sembarangan. Kilat lampu yang tidak terlalu jelas karena kondisi hujan memperparah keadaan, ditambah jalan raya yang licin. Supir menyadari akan terjadi tabrakan. Dia berteriak agar Dio dan Amy berpegangan dengan erat. Ketiganya panik bukan kepalang. Truk mendekat, supir memutar setirnya ke arah yang berlawanan namun posisinya sudah terlanjur dekat dengan truk. Dio memeluk Amy, keduanya memejamkan mata dan ketakutan. Tabrakan itu tak bisa dihindari. Mereka bertiga melihat sinar terang di depan dan truk berakhir menabrak mobil yang mereka tumpangi. Sesaat kemudian mobil mereka pun ikut oleng.

"Aaaaaaaaaaa…."

次の章へ