Mayor Holan sampai di rumah. Isterinya duduk di depan sofa sembari mengupas buah naga.
"Sudah pulang?" sapa Nadia. "Mau kubuatkan teh? Atau mau makan buah?"
Mayor melonggarkan dasinya. "Aku mau cuci tangan dulu."
Setelah mandi, Mayor keluar dengan handuk kecil putih yang masih berada di rambutnya yang basah. Nadia memujinya tampan meskipun sudah memasuki kepala empat. Isterinya adalah seorang putri dari direktur perusahaan yang cukup berpengaruh di ibukota. Mereka memutuskan menikah di usia muda saat Mayor masih menjadi polisi junior. Kakak Nadia, Ardana-lah yang mempertemukan keduanya, saat itu Ardana adalah atasan Mayor. Mereka adalah keluarga kaya raya yang hidup seperti biasa. Sayangnya, Nadia tidak bisa menghasilkan keturunan dan mengharuskan mereka mengadopsi anak dari panti asuhan.
"Bagimana Dio?" tanya Mayor sembari mengambil potongan buah naga yang ungu kemerah-merahan. Ia melihat telapak tangan isterinya yang merah karena mengupas buah naga.
"Dio sudah tidur."
"Kau kenapa belum tidur?"
"Aku ingin makan buah," Nadia meraih tisu di depannya dan mengusap telapak tangannya yang merah.
Mendadak Mayor ingat Amanda. Ia memperhatikan ekspresi Nadia yang agak pendiam.
"Apa kau sedang kesal?" tanyanya.
Nadia menoleh. Ia menatap datar suaminya. "Apa aku terlihat kesal?"
"Ada yang ingin aku bicarakan."
"Apa?"
"Apa kau keberatan kalau aku mengambil seorang adik untuk Dio?
Isterinya berhenti memakan irisan buah. Ia meletakkan garpunya di piring kecil.
"Kenapa kau jadi gugup begini?" Nadia tiba-tiba tersenyum lebar. Ia hampir tertawa melihat Holan yang nampak khawatir.
Mayor menghela napas. Ia khawatir Nadia benar-benar sedang marah.
"Minggu depan Dio ada acara kelulusan. Kita dapat undangan. Kau bisa datang kan?"
"Secepat itu anak kita lulus?" Mayor terkejut. Ia menyandarkan bahunya di sofa.
"Setalah masuk SMP nanti dia akan jadi anak puber yang sudah tidak bisa kita manja lagi. Tadi kau bicara tentang adiknya Dio. Bagaimana?"
"Oh iya. Aku bertemu dengan anak perempuan manis saat di panti rehabilitasi anak, dia bukan anak nakal bermasalah kok. Hanya situasinya yang membuatnya harus berada di sana beberapa hari. Usianya 9 tahun, namanya Amanda."
"Anak perempuan?" Nadia bersemangat mendengarnya. "Amanda ya… bagaimana kalau namanya Amy?"
"Eh? Sudah dapat nama baru padahal belum bertemu?"
Nadia tersenyum simpul. "Aku ingin segera bertemu dengannya."
"Jadi…kau setuju?"
"Tentu saja."
Mayor Holan tersenyum lega, begitu juga Nadia. Mereka berbincang ringan malam ini. Tiba-tiba Nadia memegang pergelangan kaki kirinya, ia meringis menahan nyeri. "Apa akhir-akhir ini aku banyak bergerak, ya? Sendiku mulai nyeri," katanya sembari mengurut-urut kakinya.
Mayor berjongkok sedikit untuk memeriksanya. Ia menyibak sedikit roknya agar pergelangan kakinya terlihat jelas. Awalnya mayor kira bukan hal serius, namun seketika matanya melebar dan dahinya mengerut hingga membuat isterinya khawatir.
"Kenapa? Mungkinkah ini penyakit?"
"Tidak. Ini bukan penyakit," kata Mayor serius.
"Aku sering kesemutan bahkan saat berjalan tiba-tiba kaku dan mati rasa."
"Sudah berapa lama?" tanya Mayor. Ia masih serius mengurut-urut pergelangan kaki Nadia.
"Sekitar satu minggu."
"Apa kau ingat kapan pertama kali ini terjadi?"
"Kalau tidak salah saat itu aku sedang belanja di supermarket. Seorang anak muda tidak sengaja menabrakku sampai aku jatuh. Sendiku mulai sakit sejak itu."
"Sialan!" batin Mayor.
Tangan Mayor gemetaran begitu melihat tanda segitiga yang sama tergambar samar-samar seperti asap di pergelangan kiri Nadia. Rupanya sekte itu sengaja mengirim Amanda padanya untuk mendeklarasikan perang ini. Mereka bukan aliran biasa. Padahal selama ini, dia sudah memasang pelindung serta penjagaan kuat di sekitar isterinya. Bagaimana bisa ada yang menembusnya. Mayor mulai sesak napas dan gugup. Ia ketakutan.
"Holan ada apa?" Nadia menahan bahu suaminya agar tak limbung. "Ada apa? Apa yang terjadi? Kenapa kau gugup seperti ini?" ia khawatir setengah mati.
"Julurkan kakimu dan taruh diatas sini," Mayor menepuk pahanya. Ia berusaha sekuat mungkin agar tidak melemah. Nadia mengangguk, paham dan melakukan apa yang dikatakannya.
Dengan gemetaran, Mayor Holan meletakkan kedua telapak tangannya, di atas pergelangan kaki Nadia, tepat di tanda itu. Mayor gugup dan kelabakan. Matanya memerah dan berkaca-kaca. Ia mengerahkan seluruh kekuatannya untuk menghapus tanda itu. Wajahnya yang tadi santai berubah merah dan serius. Nadia kasihan melihatnya. Tiba-tiba ia mengakui sesuatu yang cukup mengejutkan.
"Ini kutukan. Apa aku benar?"
"Nadia kau…"
"Suamiku, jangan sedih.".
"Tidak. Aku tidak akan membiarkan ini terjadi."
"Berapa sisa waktu yang kupunya?"
"Sembilan hari," sahut seseorang yang berdiri dekat almari kecil, tak jauh dari sofa tengah.
Mayor terbelalak. "Amanda?!"
Amanda mendekat dan mengikuti apa yang Mayor lakukan. Dua tangan kecilnya berada di atas punggung tangan Mayor dan mentransfer kekuatan dua kali yang lebih besar, bahkan tiga kali lebih kuat. Mayor menatap air muka Amanda yang datar.
"Sudah saatnya berhenti pura-pura. Aku tahu kau menyimpan rahasia besar. Aku akan menerima meski kau bukan manusia biasa. Tapi sepertinya aku tidak cukup bisa dipercaya olehmu," tangis Nadia tertahan. Ia meringis menahan sakit di kakinya.
"Bukan… bukan begitu Nadia," Mayor merasa bersalah. "Ini adalah perjanjian yang tak boleh kulanggar. Aku tidak boleh dan tidak ingin membahayakanmu. Aku tidak ingin ini terjadi."
Tiba-tiba Amanda menyibak tangan Mayor ke udara. "Jika Mayor melemah, dia akan mati! Kumpulkan kekuatanmu sekarang!"
Tanda yang tadinya masih berupa asap lemah kini memanas karena kekuatan Amanda. Kedua tangan kecilnya membiru, ia mengerahkan kekuatannya untuk menghapus serat-serat yang dibangun di sel-sel tubuh Nadia.
"Aaaaaakkkhhh," teriak Amanda hingga telapak tangannya yang membiru kini naik hingga ke bawah siku. Nadia mencemaskan Amanda kecil yang menanggung beban berat ini sendirian.
Nadia mendadak meraih tangan Amanda yang membiru, lalu menarik tubuhnya ke dalam pelukannya, sembari menepuk pelan bak ibu yang menidurkan anaknya.
"Sudah, Nak. Hentikan. Jangan memikul beban ini sendirian. Jangan lagi!" Nadia menitikan air mata.
Amanda mematung. Ingatanya melayang saat ia tengah berada di dalam janin. Sebenarnya itu adalah tempat paling sempit yang pernah ada di dunia. Namun di waktu yang bersamaan tempat itu adalah yang rumah yang paling hangat dan menenangkan. Ia merindukan ibu. Ia ingin memanggil ibu, sangat ingin.
"Ibu…" panggil Amanda tanpa sadar. Air matanya entah bagaimana bercucuran. Ia pun membalas pelukan isteri Mayor dan membenamkan diri dalam kehangatan pelukan seorang ibu. Betapa hangatnya dekapan yang tak pernah ia dapatkan ini.
"Amy…tetaplah bersama kami di masa depan. Sayangi Mayor Holan sebagai ayahmu dan Dio sebagai saudaramu. Mereka adalah keluargamu, mulai saat ini."
Dio mendengar suara ramai di lantai bawah. Ia turun dan mendapati situasi yang tidak ia mengerti. Setelah mendekat ke sofa tengah, ia menyadari sesuatu.
"Ayah, Ibu.."
"Dio!" Mayor dan Nadia terkejut dengan Dio yang sudah berdiri di belakang sofa.
"Aku mengirim anak itu untuk memperingatimu, bukan untuk menolongmu, Holan brengsek!" suara aneh masuk begitu saja di telinga Mayor.
Mayor memeriksa kaki Nadia lagi, dan tanda itu menguat hingga berwarna merah menyala. Nadia merasakan sakit tidak hanya di kakinya, kini sekujur tubuhnya seolah dibabat oleh pisau. Ia mendorong Amanda dari pelukannya.
"Menjauhlah, Amy!" teriaknya dengan putus asa.
Dio menyadari ada yang tidak beres. Ia mendekat dan memeluk ibunya.
"Amanda!" teriak Mayor. Sejenak melupakan kehadiran Dio. "Tandanya…"
Amanda mendekat. Ia dan Mayor saling menatap.
"Mayor, ijinkan aku membekukan kutukannya."
"Apa kau pernah melakukannya sebelumnya?"
Amanda menggeleng.
"Kutukannya tidak mudah dihapus kecuali dengan cara tertentu yang hanya mereka tahu. Jikapun terhapus, masih ada kemungkinan terburuknya, karena sejak ditanam kutukan itu telah memakan umur Nadia perlahan. Terhitung delapan hari, itu menguat dan melemah bersamaan karena kekuatanmu yang menekannya dari luar."
"Kita harus bagaimana Ayah?" teriak Dio. Ia memeluk ibunya.
"Jika berhenti sekarang, kita tidak akan bisa melakukan apa-apa besok. Besok adalah hari terakhir. Pemasangan serat-serat akan selesai malam ini. Kutukannya final di hari sembilan, kita tidak bisa berbuat apapun untuk menyelamatkannya besok."
Mayor membisu, tangisnya pecah.
"Kau harus melakukannya. Kau harus membekukan serat-serat kutukannya, sampai kita menemukan penawarnya," kata Amanda.
"Ayah! Ayah selamatkan ibu, kumohon!" teriakan putus asa Dio semakin pecah melihat wajah ibunya yang kini pucat dan membiru, hampir tak sadarkan diri.
"Aku tidak bisa melakukannya sendirian," kata Mayor. "Aku butuh seseorang."
"Aku akan melakukannya bersamamu, Mayor Holan."