Pagi itu, hangover. Tidak terlalu parah, namun benar benar membuat Valie kehabisan tenaga setelahnya. Gadis itu kini hanya tertunduk di ranjangnya dengan wajahnya pucat pasca memuntahkan seluruh isi perutnya beberapa waktu lalu. Beruntungnya, Angela dengan cekatan menyediakan obat pereda hangover kepada Valie membuat kondisi gadis itu semakin membaik sekarang.
Mave sendiri hanya duduk di sofa yang ada dalam kamar mereka, menyesap nikotinnya seraya menatap lekat sang gadis, "Lebih baik?" tanyanya.
Valie mengangguk, menjatuhkan tubuhnya ke atas kasur dengan kasar, "Aku benci hangover,"
"Maka darj itu berhenti minum dari sekarang, idiot," sarkas lelaki itu, "Aku tahu semalam kau sengaja meminum minuman milikku. Berhenti mengelak Valerie,"
"Aku hanya penasaran,"
"Rasa penasaranmu membawa bencana," Mave berdecih kecil, beranjak dari duduknya sebelum menyiapkan air putih untuk Valie, "Minumlah, lalu mandi. Aku akan meminta Anglea menyiapkan sarapan untukmu,"
"Kita akan ke mana hari ini?"
"Hari terakhir kita di sini. Tentu saja mengunjungi mama dan papa. Bukankah itu tujuan utama kita berada di sini?"
"Ah kau benar. Tapi bukankah kau bilang kita akan ada di Las Vegas selama satu minggu? Kenapa hanya tiga hari Mave?"
Mave menghela napas berat, "Antonio dan Margareth yang bodoh itu sudah membocorkan rencana kita di sini. Aku tidak ingin kau terus merasa tidak nyaman dengan Theodore yang terus berada di sekitarmu. Lebih baik kita pulang secepatnya,"
Valie mengangguk mengerti, ia memang sangat tidak nyaman dengan Theodore yang terus mengikutinya sejak kemarin, "Bisakah kita kembali dengan pesawat pribadi milikmu?"
"Itu rencanaku. Aku tidak ingin peristiwa seperti kemarin terulang kembali," Mave mengusap dahi Valie yang terdapat jejak keringat di sana walaupun tubuh gadis itu dingin sekali. Juga kulitnya yang berubah semakin pucat, "Mandilah. Lalu isi perutmu. Kita akan berangkat sebentar lagi,"
Valie mengangguk, dengan lemah berjalan menuju kamar mandi. Bersiap untuk mandi.
Mave memperhatikan gerak gerik gadisnya selama beberapa saat sebelum beralih pada pintu kamar mereka, terdengar ketukan beberapa kali. Angela.
Mave segera mendekat lalu membukanya, "Terimakasih Angela,"
"Apakah Nona Valie baik baik saja Tuan?" tanyanya khawatir.
Mave mengangguk singkat, "Idiot itu akan pulih dengan cepat kau tidak perlu khawatir dengannya,"
Angela mengangguk mengerti, mundur beberapa langkah untuk undur diri. Mave balas mengangguk, menutup pintu kamarnya pelan. Meletakkan nampan berisi makanan di nakas sebelum membuka lebar tirai kamarnya. Membiarkan cahaya pagi hari masuk menyinari ruangan besar itu. Lantas, lelaki itu meraih sesuatu di ujung ruangan, sebuah paper bag, "Aku membelikan sebuah pakaian untukmu, pakailah,"
Valie yang berdiri di pintu kamar mandi hanya dengan memakai bathrobe hanya mengangguk, meraih benda itu sebelum kembali masuk ke dalam kamar mandi.
Mave memilih mendudukkan diri di sofa. Menyempatkan diri untuk membuka ponselnya. Memeriksa bagaimana jalannya perusahaan dan Calisto. Sejauh ini, semuanya baik baik saja, ah kecuali sebuah penyerangan terhadap Calisto oleh Da Zera semalam.
Lelaki itu mendengus keras, Da Zera masih terus mengejarnya sampai ia menyerahkan Valie pada Theodore, Mave yakin akan hal itu. Namun sayangnya, hal itu tudak akan pernah terjadi. Karena Valerie Helen hanya akan menjadi miliknya. Dan akan terus seperti itu. Orang orang seperti Theodore tidak akan bisa dengan mudah menghalangi jalannya. Mave terkekeh sarkas hanya dengan memikirkannya, "Kau hanya serangga kecil pengganggu yang mencoba untuk merebut gadisku. Kau pikir aku akan dengan mudah menyerahkannya padaku? Tunggu saja pada hari kehancuranmu, Theodore,"
"Mavie,"
Sang empunya nama menoleh, mendapati Valie dengan sebuah dress satin pendek berwarna merah berenda. Sangat cantik dan elegan. Cocok sekali dengan tubuh jenjang Valie, "Tidak buruk,"
"Apakah pakaian ini cocok denganku?" tanya gadis itu.
Mave mengangguk, "Kau selalu cantik dengan semua yang kau kenakan. Jangan khawatir. Kemarilah," lelaki itu berdiri, menunduk untuk menatap Valie. Gadis itu mendongak dengan kedua matanya yang bulat. Kulitnya tidak sepucat sebelumnya. Bibirnya juga demikian, maka karenanya, Mave mengusap objek itu. Bibir merah merona milik kekasihnya, "Kau terlalu cantik hingga orang orang mulai mendatangimu. Namun aku tidak akan pernah membiarkannya, bahkan jika mereka menyentuhmu barang sejengkal saja. Aku tidak akan membiarkannya,"
"Posesif sekali," Valie terkekeh kecil mendengar ucapan kekasihnya. Gadis itu membenarkan letak jas milik Mave sebelum kembali mendongak, "Mave, entah apa yang akan terjadi di masa depan nanti, aku pasti akan kembali padamu. Kau adalah tempatku untuk kembali. Jangan pernah khawatir untuk itu. Namun kemungkinan terbesarnya adalah, aku akan terus berada di belakangmu. Mendukungmu. Dan berada di sampingmu saat kau melawan musuhmu. Terimakasih untuk semuanya yang sudah kau lakukan untukku. Aku sangat menghargainya. Aku mencintaimu,"
"Kau akan selalu tau apa balasanku mengenai pernyataanmu itu, Valie," Mave mengusap rambut kekasihnya yang masih sedikit basah. Cantik sekali dengan sebuah bekas luka kecil di dahinya. Orang lain mungkin tidak akan menyadarinya. Namun Mave sadar. Luka itu cukup dalam, dan Theodore yang menyebabkannya. Malam itu. Malam di mana ia menyiksa Valie habis habisan dalam kegelapan malam. Gelap gulita bahkan hingga Valie tidak bisa membedakan saat matanya terbuka, atau pun saat matanya tertutup.
Itulah mengapa, trauma Valie sangat mendalam setelah peristiwa itu. Valie memang awalnya tidak terlalu memperlihatkannya. Terlebih saat Mave menjemputnya saat itu. Namun sejujurnya, trauma itu benar benar ada. Terlebih pada kegelapan.
"Tidak ada siapapun yang boleh menyakitimu," gumam Mave seraya mengusap bekas luka itu. Tidak sampai satu senti besarnya. Namun trauma yang di hasilkannya, tidak akan bisa terhitung lagi jumlahnya, "Terlebih untuk si keparat Theodore yang telah menyakitimu. Sangat sangat menyakitimu,"
"Aku benci padanya Mave. Sangat membencinya. Hingga rasanya aku ingin menangis saat melihat wajahnya. Kegelapan itu selalu terbayang. Suaranya juga selalu terbayang. Semua pukulan dan cambukan itu. Menyiksaku dalam kegelapan Mave aku takut," tubuh Valie bergetar, memeluk Mave dengan erat.
Mave membalas pelukan itu, mengusap punggung gadisnya dengan penuh perhatian. Menenangkan Valie. Anxietynya datang lagi. Dan karena Theodore keparat yang bahkan ingin sekali Mave hancurkan hingga berkeping keping karena ialah penyebab Valie seperti ini, "Aku akan selalu ada di sampingmu. Tenanglah. Theodore tidak akan pernah berani menyentuhmu jika aku berada di sekitarmu Valie," Mave berbisik di telinga Valie, mengusap kepala belakang gadisnya dengan lembut. Memberikan kehangatan yang sellau Valie dambakan, "Lawan kegelapan itu. Aku tahu, kau pasti bisa. Kau adalah Valie yang kuat. Valieku,"
Dengan perlahan, kata kata itu mulai membuat Valie merasa lebih tenang. Penenang Valie, hanya Mave yang dapat melakukannya, "Ya, aku akan melawan kegelapan itu. Karena kau selalu bersamaku,"