webnovel

27 Menggores luka

Jefri tetap dalam perintahnya. "Supir, cepat!" titahnya dengan tegas dengan bola mata menyorot tajam.

Driver taksi online itu segera keluar dari dalam mobilnya. Ia membuka bagasi dan mengikuti perintah Jefri dengan ketegasannya yang menakutkan.

"Jefri, apa-apaan ini?" sergah Karin. Kali ini dia mulai geram melihat tingkah Jefri yang semakin berkuasa.

"Jeni, Tante. Tenang saja. Kita hanya akan bicara dengan santai di tempat yang nyaman. Kalian tidak usah khawatir." Jefri berbicara dengan lembut. Ia memang tak bisa kasar saat bicara dengan Jeni mau pun orang tua Jeni. Namun, Jefri sangat garang terhadap orang lain.

"Kita ikutin dulu maunya," saran Karin sambil meraih tangan Jeni yang tengah berusaha menarik tangan Jefri. Karin tak bisa berbuat apa-apa, kekuasaan Jefri terlalu kuat untuk ditaklukan.

Jeni mulai melepaskan tangan Jefri, ia lesu dengan pasrahnya. "Oke," balasnya.

Setelah memindahkan barang-barang dari dalam bagasinya, driver taksi online itu berpamitan dan akan kembali masuk ke dalam mobilnya, namun seketika langkahmya tersendat saat Jefri memberikannya dua lembar uang kertas berwarna merah.

"Tidak usah, Tuan. Kita baru saja jalan dan belum terlalu jauh," tolak driver taksi online itu merasa tidak enak.

"Terima!" titah Jefri memaksa. "Ini untuk perjalanan yang saya ganggu," sambungnya penuh penekanan.

Driver taksi online itu tak bisa menolaknya lagi. "Baiklah, Tuan. Terima kasih," ucapnya seraya menerima dua lembar uang kertas berwarna merah pemberian Jefri. Driver itu segera masuk ke dalam mobilnya kemudian pergi meninggalkan area yang terasa menegangkan. Driver itu tentu saja tahu dengan Jefri yang seorang CEO di perusahaan ternama di kota Jakarta ini.

"Mari masuk ke dalam mobil saya," ajak Jefri dengan ramah. Padahal emosi di dalam dadanya kian meletup-letup tatkala menyadari kalau wanita cantik idamannya berniat pergi darinya.

"Kita akan kemana, Mas?" Jeni kembali bertanya karena masih merasa cemas.

"Kan sudah saya katakan. Kita akan ke tempat yang tenang dan nyaman. Kita harus bicara serius," jelas Jefri pada Jeni sekali lagi. Ia berusaha sabar dengan berbicara halus di hadapan Karin. Jefri seolah berusaha menjadi menantu idaman di hadapan mamahnya Jeni.

Jeni dan Karin saling melempar tatapan sayunya. Mereka kemudian berjalan masuk ke dalam mobil mewah sang CEO tampak itu.

Jefri tersenyum tipis merasa senang. Ia tak akan membiarkan wanita yang telah berhasil mencuri hatinya itu pergi begitu saja.

Kendaraan mewah milik Jefri tampak melaju, membelah jalan raya yang mulai ramai oleh lalu lalang kendaraan.

Siang harinya saat waktu menjelang pukul dua belas siang, tampak mobil hitam berwarna merah berhenti di depan rumah Jeni.

Mobil mewah yang tak kalah bagusnya dengan milik Jefri itu adalah mobil Wili. Ia sengaja datang lebih awal dari yang sudah ia sampaikan tadi malam pada, Jeni. Hari ini, Wili sudah bertekad akan membawa Jeni ke hadapan mamahnya untuk membicarakan keseriusan hubungan mereka agar Jefri tak bisa menghalanginya lagi.

Lelaki tampan dengan kulit putih dan besih itu keluar dari dalam mobilnya dengan kaca mata hitam yang menggantung di hidungnya yang mancung. Wili memang sangat tampan dan ketampanannya mampu mengalahkan Jefri yang usianya sudah dewasa.

Wili tampak berjalan menuju pintu utama di rumah itu. Dengan wajah semangat, Wili kemudian mengangkat sebelah tangannya lalu mengetuk pintu rumah yang sudah tak berpenghuni itu.

Hampir lebih dari lima menit Wili berdiri di depan pintu sambil mengetuknya dan masih tak ada jawaban dari sang pemilik rumah. Wili resah, ia membuka kaca kata hitamnya kemudian menggantungkannya di kerah baju.

Wili tampak memainkan jemarinya pada layar ponselnya. Sepertinya dia tengah menghubungi seseorang, itu terlihat jelas saat benda pipih itu ia tempelkan pada telinganya.

Wili berusaha menelepon, Jeni. Namun, nihil. Nomor telepon Jeni tidak bisa dihubungi.

"Kemana, Jeni?" Wili berbicara sendiri. Tiba-tiba muncul perasaan cemas di dalam dadanya.

Wili memasukan kembali ponselnya ke dalam saku jas. Ia mengedarkan pandangan kesekeliling area, mencari seseorang yang bisa ditanya.

Wili berjalan lebih ke depan saat ada salah satu tetangga yang tengah menyapu halaman. Ia berinisiatif untuk bertanya.

"Permisi, Mba." Wili memyapa dengan sopan.

"Oh iya, Mas," balas ibu muda yang berpakaian daster itu dengan ramah. Di telapak tangannya masih memegang sapu karena ia tengah membersihkan halaman rumahnya.

"Maaf ganggu sebentar, Mba. Saya mau tanya, pemilik rumah itu pada kemana ya." Wili bertanya seraya meluruskan telapak tangannya pada rumah Jeni yang masih berada di situ.

"Oh Bu Karin!" balas ibu muda itu.

"Iya betul, Mba. Saya ketuk-ketuk pintunya tapi tidak ada jawaban dari dalam," lanjut Wili. Kecemasannya kian bertambah dengan melanjutkan pertanyaannya.

"Bu Karin dan Jeni sudah pindah tadi pagi, Mas." Ibu muda itu menjawabnya dengan ramah. Sedikit mengukir senyumannya karena terkesima dengan ketampanan Wili.

Wili terkejut dengan membulatkan kedua bola matanya. "Apa! Pindah?" Ia mengulangi ucapan ibu muda tadi. Denyut jantungnya tiba-tiba melemah mendengar jawaban wanita yang berusia sekitar tiga puluh tahun itu.

"Iya, Mas. Baru tadi pagi. Kunci rumahnya saja ada pada saya. Bu Karin menitipkan kunci rumahnya karena akan dikontrakan," jelas ibu-ibu itu.

"Baik terima kasih, amba," ucap Wili tampak lesu.

"Sama-sama, Mas ganteng," jawab ibu muda itu sambil tersenyum manis berharap Wili membalasnya.

Jangankan untuk tersentum, Wili merasa ia berjalan tanpa terasa menapak. Tubuhnya terasa melayang lemas tertiup angin tatkala harus menerima kenyataan pahit ini. Jeni pergi tanpa pamit padanya. Wili berjalan lesu sampai dengan cepat ia membalikan kembali tubuhnya mengarah pada ibu muda tadi kemudian mengejarnya karena wanita itu akan segera masuk ke dalam rumahnya.

"Tunggu, Mba!" panggil Wili berusaha menguatkan diri untuk berlari.

"Kenapa lagi, Mas ganteng?" tanya ibu muda tadi sambil tersipu malu.

"Maaf sekali lagi bertanya," ucap Wili. Ia bahkan tak bisa tersenyum lepas seperti yang nampak pada ibu muda yang berada di hadapannya.

"Tidak apa-apa, Mas ganteng. Sepuluh kali bertanya juga saya dengan senang hati menjawabnya," balas ibu muda itu tampak menggoda Wili.

Namun, bukannya Wili tidak ramah. Ia hanya sulit untuk tersenyum saat mengetahui informasi menyedihakan ini.

"Bu Karin dan Jeni akan pindah kemana ya, Mba?" tanya Wili menggantungkan harapan.

"Saya tidak tahu kalau masalah itu. Mereka hanya menitipkan kunci rumah karena besok akan datang yang mau mengontrak di sana." Ibu muda menjawab jujur karena Karin memang tak memberitahukan tempat barunya pada siapa pun.

Lagi, Wili tertunduk lesu. Ia kembali berjalan menuju kendaran roda empatnya. Masuk ke dalam mobil dan duduk di sana sampai ia lupa untuk mengucapkan terima kasih lagi.

"Kemana kamu, Jen? Kenapa harus pergi tanpa pamit seperti ini! Aku sudah berjanji kan akan membayar hutang kamu itu. Kenapa harus pergi, Jen!" sesal Wili sambil menghentak-hentakan kepalan tangannya pada setir mobil. Wili merasa kalau kepergian Jeni adalah bagian dari lari karena dikejar hutang yang lima ratus juta yang sempat dikatakan Jeni padanya waktu itu.

次の章へ