Fajar menyembul malu-malu dari ufuk timur. Kegiatan warga berjalan seperti biasa, meskipun ada peristiwa hebat yang terjadi semalam. Aku membuka pintu rumah, tanganku memegang sabit untuk membersihkan halaman rumah yang sudah dipenuhi rumput, dariapada berdiam diri di dalam rumah.
Ketika akan jongkok, terlihat Pak Wiryo yang hanya menggunakan singlet hitam dan celana pendek dengan santainya dia berjalan di depan rumah. dan tidak ada orang yang melarangnya, justru mereka menyapanya dengan penuh keramah- tamahan. Aku mencium bau ketidak adilan disini.
Sangat kentara sekali perbedaan antara orang biasa dengan konglomerat kalau pulang kampung disaat pandemik seperti ini. Kalau aku pulang, buru-buru disuruh untuk langsung ke tempat karantina, dimintain surat ini itu, tidak boleh keluar dan lain sebagainya. Namun, kalau Pak Wiryo pulang, dimintain surat kesehatan saja tidak, bahkan dia bebas keluar rumah.
"Pak Ganteng, Eh maksudnya Pak Wiryo, kapan sampai di rumah Pak?" tanya seorang ibu-ibu yang sedang berjalan menuju ke sawah, dia bersama keempat ibu-ibu lainnya yang berhenti dan melemparkan senyum kepadanya. Citra Pak Wiryo sangat baik di kampung ini, dia dikenal sebagai sosok yang dermawan. Sudah kaya, baik hati, dan ganteng lagi, itulah kesan ibu-ibu terhadap Pak Wiryo. Apalagi statusnya yang masih single, tentu banyak ibu-ibu baik yang janda maupun yang sudah bersuami berebut perhatiannya.
Namun, penampilan luar hanya fatamorgana saja, dan kadang menipu. Kita tidak tahu ada apa di balik itu semua.
"Tadi malam Bu," jawabnya sembari menyatukan kedua tanggannya diatas, merenggangkan ototnya.
"Bapak enggak takut apa tidur disini sendirian?"
"Siapa bilang saya sendiri saya bersama dua body guard saya, mereka ada di dalam."
"Enggak di ganggu gitu Pak? Soalnya Soleh hilang dari rumah ini dan belum ditemukan."
"Zaman sudah canggih Buk, masa masih percaya begituan, buktinya saya semalam tidur nyenyak sekali. Mungkin Soleh pergi kesuatu tempat . Sudah ah pagi-pagi kok bahas begituan, gimana kerjaan di sawah? Ada kendala?" ujarnya mengalihkan pembicaraan.
"Tidak ada Pak, semuanya lancar semenjak sawah dikelola oleh Pak Modin, tidak seperti yang sebelumnya." Jawab salah satu ibu-ibu sembari melirik sinis ke arahku.
Aku yang mendengar perbincangan mereka, pura-pura meneruskan memotong rumput. Terlihat mereka bisik-bisik, hal yang membuatku jengah, pasti yang mereka bicarakan tidak jauh-jauh dari Pak Rangga.
"Ya udah Bu, saya lari pagi dulu ya" ujarnya sembari meneruskan larinya.
"Iya Pak. Yang semangat ya pak." Ujar ibu ibu dengan tatapan genit ke arah Pak Wiryo. Setelah kepergian beliau, Mereka tidak bergeming dari tempat itu, masih melanjutkan menggibah.
"iya kalau yang dulu itu, kerjanya hanya marah-marah saja, udah gitu bayar upahnya pasti ditunda terus."
"Untung, orangnya sudah menghadap Ilahi."
"Semoga TIDAK ADA GENERASI PENERUSNYA." Seloroh yang lain dengan nada yang ditinggikan supaya terdengar olehku. Telingaku rasanya Panas.
"Kenapa kalian tidak henti-hentinya menjelek-jelekan orang yang sudah meninggal?" sergahku sembari berdiri.
"Lha, yang diomongin siapa yang nyaut siapa?"
"Iya Nih, Emang bener ya kamu generasi penerusnya, jadinya kamu marah kalau kita ngomongin Rangga."
"Emang kenyataannya kayak gitu kok, makanya semasa hidup harus berbuat baik, biar matinya dikenang baik. Enggak kayak Bapak angkatmu itu?" sahutnya seolah sudah seperti manusia yang tidak memiliki dosa, menekan kata "Bapak Angkat"mu dengan nada yang mengejek.
"Kamu sama Pak Rangga itu sama saja. Sama-sama sombong. Yang satu orang kaya baru yang enggak tahu diri, yang satunya baru jadi pelaut saja sudah sok-sokan. Pantes sekali jika kalian sudah seperti bapak dan anak Hahaha." Tertawa khas ibu-ibu membahana, mereka tidak tahu kalau hatiku mendidih.
PRANK!!!
Seketika aku melempar sabit tepat mengenai terali besi, membuat mereka melonjak, terkejut.
"Dasar anaknya Rangga, enggak punya etika. Kalau Sabit itu mengenai kita dimana?"
"Saya rasa dia sudah gila Buk."
"Sudah tinggalkan saja dia," Mereka pun berjalan setengah berlari, meninggalkanku dengan emosi yang membara. Dadaku naik turun.
Pak Wiryo yang mendengar suara itu berbalik arah dan berlari , dia tersenyum miring ke arahku. Sembari bergumam,"kamu memang penerusnya Rangga."
Aku mengernyitkan dahi, tidak memahami apa yang dimaksud oleh Pak Wiryo. Aku memejamkan mata dan menarik nafas lama, dan menhembuskannya perlahan."Tenang, lupakan tenang, lupakan" ujarku kepada diri sendiri.
***
"Mas!" pekik seseorang membuatku terperanjat.
"Eh.. Tama, ngagetin saja."
"Habis Mas aneh banget, di depan rumah sambil komat-kamit gitu. ini Mas sarapan dulu, Nasi Rawon enak ini masih hangat."
"Wah, makasih ya Ham, sudah sejak di kapal, aku mengidam-idamkan rawon." Sahutku kegirangan, melupakan ibu-ibu dengan mulut nyinyirnya beberapa menit yang lalu.
"Mas ada sesuatu ingin aku katakan. Tapi Mas jangan galau ya."
"Apa?"
"Reza dan Dina mau menikah besok Mas, Ini undangannya." Tukasnya sembari menyodorkan sesuatu dari sakunya. Aku sudah menduga hal ini akan terjadi, jadi sudah mempersiapkan mental jauh-jauh hari tetapi tidak tahu juga apakah mental ini siap saat melihat mereka bersanding di pelaminan nanti. Seperti kata Almarhum Didi kempot yang menggambarkan perasaanku saat ini. Ambyar.
"Kok mendadak banget ngasih undangangannya?"
"Sebenernya udah seminggu yang lalu Mas, Reza ngasih undangan ini, Tapi aku ragu untuk memberikannya kepada Mas, Takut Mas sakit hati. Aku tidak menyangka jika Dina mengkhianati Mas. Dina benar-benar keterlaluan!" Tutur Tama geram, Tama yang menjadi saksi ketika aku memasang cincin pertunangan itu di jari manis Dina. Hubungan yang akan semakin dekat dengan pernikahan itu justru kandas ditengah jalan. Hal ini lantaran Dina yang berselingkuh dengan Reza. Sebuah penghinaan untuk keluargaku, Pertunangan yang berujung pengkhianatan Dina. Ibu dan Tama sangat membenci gadis itu yang tak ubahnya seperti ular.
"Tapi, 'kan aku masih karantina Tama. Lagian ini kenapa mereka mengadakan pesta pernikahan di masih musim pandemi, " Kilahku, pura-pura biasa saja, walau rasanya nyeri.
"Reza sendiri yang sudah meminta izin kepada petinggi desa, dia hanya mengundang keluarga , dan beberapa teman dekat saja. Tapi yang lebih mencengangkan Reza juga meminta izin untuk mengundang Mas juga, Mereka mengizinkankan. asalkan mas menggunakan pakaian safety. Itu lho yang sering dipakai sama dokter saat menangani pasien virus."
Aku menimang-nimang undangan berwarna pink itu. Di situ tertera nama orang yang dulu menjadi penyemangatku dan yang satu adalah pembunuh. Aku harus datang kepernikahan mereka, lebih tepatnya membongkar sebuah tabir, pembunuh Pak Rangga adalah Ayah dan Reza. Tapi, bagaimana cara membuktikannya tanpa barang bukti?
"Ok, aku akan datang."
"Serius Mas? Enggak papa kok kalau Mas tidak datang."
"Pasti aku akan datang, Ada sesuatu yang ingin aku lakukan."
"Apa itu Mas?"
Aku menoleh ke kanan dan ke kiri. Aman tidak ada orang. Kemudian aku menyuruh Tama untuk masuk ke dalam rumah.