Casanova telah sampai di rumah meskipun pikirannya masih melayang membayangkan wajah Honey Bee yang mati secepat itu.
"Apa mungkin Honey mencoba untuk membunuh Mister Adam hingga terjadi perlawan oleh pria besar itu dan membuat perempuan malang itu terbunuh?" Seraya masuk ke dalam kamar kecilnya Casanova terus berpikir.
"Apa kamu bilang barusan?"
"Eh, kamu sudah ada di sini?" Casanova kaget begiitu membuka pintu kamar dan melihat Mora yang sudah berada di dalam kamarnya, duduk di pinggir ranjang. Gadis itu mengenakan pakaian daster yang longgar, membuat tubuhnya jadi terbenam di dalam kain daster yang besar.
"Barusan kau sebut nama Honey? Siapa Honey itu?" Mora menatap curiga.
"Oh, tidak, aku hanya sedang bergumam sendiri saja. Dan soal Honey, tentu saja dia adalah dirimu, Mora," Casanova tersenyum. "Karena Honey adalah madu, dan madu semanis dirimu."
Mendengar gombalan itu Honey senang, "Sudah, ayo kita tidur. Kau pasti capek kan?"
Casanova mengendikkan bahu. Ia tahu malam ini adalah tanggal ganjil, sehingga jatah Mora yang akan tidur bersamanya. Sejauh ini Casanova belum sempat menjamah gadis itu. Pastilah gadis itu masih ranum dan perawan, maka Casanova berhasrat untuk menjamahnya malam ini juga.
"Ya, mari kita tidur." Pria itu membuka bajunya, membuat kilatan lampu remang di dalam kamar mengguyur seluruh badan. Ia memang punya badan bagus, dengan bagian perut yang berbentuk kotak-kotak sebab selama ini hidupnya keras kerap mengangkuti barang-barang demi bisa meraup sesuap nasi.
Mora jadi tegang. Ia meneguk liurnya sendiri mendapati kulit coklat Casanova yang menawan. Lalu, demi meredam pikirannya yang tak karuan, Mora memilih untuk tidur menghadap tembok saja.
"Kenapa begitu?" Casanova heran. "Bukannya kamu mau tidur bersamaku?"
"Iya, tapi aku ingin dipermainkan, seperti pagi itu," jawab Mora jujur.
Pria itu mengerti, kemudian lekas tidur di atas ranjangnya dan menempelkan badannya kepunggung gadis itu.
Mora tersentak saat mendapati sesuatu yang mengganjal di balik celana Casanova menyentuh bokongnya. Ia gemetar, dan membiarkan tangan Casanova yang mulai melakukan aksi, mengusap-usap dada Mora yang ukurannya belum sempurna.
"Kamu suka dengan permainan seperti ini kan?" tanya Casanova seraya terus menggelitik kedua biji kecil milik Mora.
Kaki Mora langsung mengejang, seluruh urat syaraf terasa geli dengan pijatan yang dilakukan Casanova. Semakin cepat saja temponya, tangan Casanova memilin-milin, memutar-mutar, memainkan kedua biji sebesar kacang yang berada di balik daster Mora.
"Nikmat bukan dusta, sssh..." Mora mulai mendesah merasakan sensasi yang pernah diterimanya pada pagi itu. Putingnya berwarna merah muda, khas sekali milik gadis yang masih berusia tanggung.
Seolah sudah mendapat persetujuan, Casanova lalu menyingkap daster Mora ke atas, hingga paha gadis itu yang berwarna putih terliat jelas. Di paha itu, Casanova juga mendapati bulu-bulu tipis milik si gadis yang lembut. Pria itu segera mengusapnya, secepat Mora merasakan sensasi geli yang menjalar ke seluruh tubuh.
"Aku menyukai gadis polos sepertimu, Mora. Ayo, buka sedikit pahamu," ucap Casanova sambil terus membelainya, menyuruh Mora agar mau membuka pahanya.
"Tapi aku geli," jawab Mora jujur. Ia masih menghadap tembok karena malu wajahnya sudah merona.
"Iya, tapi geli itu adalah bagian dari kenikmatan, kan? Aku akan memberikan sentuhan yang lebih dahsyat lagi daripada ini. Tapi syaratnya, bukalah sedikit pahamu."
Mora mengerti. Ia mengangguk pelan, lalu dengan pasrah membuka sedikit pahanya. Sehingga tangan Casanova mulai bisa menyelip ke pangkal di antara dua paha. Pria itu mulai bisa merasakan adalah bulu-bulu tipis yang belum sempurna tumbuh menutupi bagian sensitif dari Mora.
"Casanova... shhh..." Mora menggeliat, berusaha memegangi pergelangan tangan Casanova untuk menghentikan permainan gila ini, karena ia sangat geli ketika jemari pria itu mulai menyentuh bulu-bulu tipis miliknya di bawah sana. Namun, Casanova malah makin ketagihan. Ia tidak mengindahkan permintaan Mora yang memohon untuk dihentikan, dan malah terus mengusap-usap lembut bulu-bulu dan permukaan kulit yang sudah merinding itu.
"Sempurna," ucap Casanova, mendapati Mora bergerak menggeliat seperti cacing kepanasan, "Bulumu sungguh lembut seperti sutra. Aku sangat menyukainya, Mora," katanya lagi. Kali ini dengan bibir yang sengaja ditempelkan di tengkuk leher Mora. Seketika membuat gadis itu merinding sekujur bulu kuduknya.
"Asshh... y-ya, aku juga menyukainya, Casanova," Dengan posisi yang masih menghadap tembok, tangan Mora barusaha ditekuk ke belakang untuk menjambak rambut Casanova. Ia sangat geli dan ingin sekali menjambak rambut pria itu karena gemas!
Casanova memang kurangajar, dan terus saja memberi sentuhan ke bagian permukaan daging yang ditumbuhi dengan bulu-bulu tipis milik si gadis lugu, Hingga kini tak terasa membuat Mora sudah basah akibat berahi.
"Punyamu sudah basah. Oh, pasti kamu sudah tidak sabar ingin dimasuki, kan?" Bibir Casanova menempel pada daun telinga Mora ketika mengatakan itu, membuat Mora tidak habis pikir lagi dengan semua yang sedang terjadi.
"Ta-tapi aku belum pernah melakukannya, apakah itu sakit?" Mora ragu, sebab ia belum pernah bercinta sebelumnya. Dan dari pengakuan yang pernah ia dengar, katanya memecah keperawanan adalah sesuatu yang terasa perih.
Casanova berusaha meyakinkan, "Ya, itu memang sakit, namun sekaligus nikmat. Aku bisa memastikan kau akan merasakan sensasi yang belum pernah kau rasakan, Mora. Sekarang berbalik badan dan tataplah aku," suruh Casanova.
Gadis itu polos dan menurut saja. Ia membalikkan badan, secepat bisa melihat wajah tampan pria itu yang kini sedang tersenyum. "Kau percaya denganku, kan?" tanya Casanova sedikit mengangguk.
Mora menunduk, "Iya, percaya."
"Apa kau keberatan jika kita bercinta malam ini?" tanya Casanova lagi.
Mora menggeleng pelan, "Tidak, tapi aku hanya takut jika itu akan terasa sakit."
"Aku tahu, Mora. Tapi seperti yang aku bilang barusan, rasa sakit itu aadalah bagian dari kenikmatannya. Jadi sekarang, biarkan aku memulainya." Casanova mendudukan Mora sejenak, lalu melepas seluruh daster gadis polos itu.
Tubuh Mora yang sangat putih dan ramping itu kini telah telanjang bulaat. Ia malu, maka dengan tangannya berusaha menutupi kedua dadanya yang masih kecil itu.
"Buka saja, jangan malu," ujar Casanova menyingkirkan tangan Mora dari dadanya.
"Aku malu karena ini tidak berukuran besar daripada gadis yang lainnya," jujur Mora apa adanya. Ia insecure melihat para perempuan lain yang punya dada lebih besar darinya.
Casanova mengerti dengan kegelisahan gadis itu. Maka ia harus melakukan teknik khusus, "Lihat, kau perlu tahu jika tidak semua yang 'seksi' haruslah memiliki dada besar. Kau tahu, bahkan para model yang berjalan di atas panggung semuanya memiliki dada yang kecil sepertimu. Dan semua orang menganggap itu sebagai perempuan yang seksi. Jadi Mora, izinkan aku menyetuhnya sekarang, dadamu yang seksi itu." Casanova menatap sangat dalam, membuat Mora gugup.
Lalu, tanpa menunggu persetujuan dari Mora, Casanova sudah mendekatkan bibirnya ke biji kacang kenari yang kecil itu.
OHHH...
SHHH....
Nikmat bukan dusta. Menggunakan lidahnya, Casanova membasahi salah satu biji Mora yang ada di dada, hingga biji itu menjadi mengeras.
Di atas kasur berdebu itu, mereka berdua duduk saling berhadapan. Casanova sedikit membungkukkan badan demi bisa melumat-mempermainkan bji kenari yang ada di kedua dada Mora.
Mora menggeliat, geli bukan main! Tangannya mulai mencakar-cakar punggung Casanova.