webnovel

Hari Pertama Yang Menyenangkan (2)

Joko dan Riski sudah bersiap mengantarkan sayurnya. Riski memberitahukan alamat pembeli itu ke Joko, tentu saja Joko mengetahui alamat itu. Joko sudah sering keluar rumah, jadi wajar saja dia mengetahui beberala tempat di kota ini.

"Udah? Berangkat sekarang yaa?" tanya Joko ke Riski yang berada di belakangnya. Riski membawa beberapa kantong kresek, karena tak muat jika harus di taruh di depan. Mau tak mau Riski juga ikut membawa, bahkan Riski sendiri mendapatkan tempat duduk di paling ujung.

"Gas." jawab Riski bersemangat.

Joko menarik gas motornya, dan mereka melaju dengan kecepatan normal. Tidak terburu-buru, karena jam belum mendekati pukul 7.00 pagi.

Riski hanya sibuk memegang kresek dan melihat kanan kiri, sedangkan Joko di depan juga sibuk menyetir dan menyeimbangkan sayuran yang berada di depan agar tidak ada yang jatuh dan rusak.

10 menit perjalanan. Kini mereka berdua sudah sampai di tempat pembeli, biasanya sewaktu menggunakan sepeda, Riski memakan waktu 15-20 menit. Dengan adanya motor ini bisa mempercepat pengiriman sayur ini ke pelanggan-pelanggan Riski dan di berbagai penjuru kota ini.

"Udah sampai, kak. Ini rumahnya." teriak Riski, dan Joko langsung menghentikan motornya tepat di depan rumah yang di maksud oleh Riski. Karena sebelumnya saat akan sampai Joko juga sudah berjalan dengan pelan.

Joko turun dari motornya untuk membantu Riski yang kesusahan untuk turun, "Sini. Gue bantuin." ucap Joko, lalu mengambil beberapa kresek yang Riski bawa.

Setelah itu, Riski turun dari motor dan langsung saja mengetuk pintu rumah kakek itu.

Tok, tok, tok.

"Assalamualaikum."

Tak ada balasan.

"Assalamualaikum." Riski menambahkan suara pada salamnya.

"Waalaikumsalam." Dan, benar saja. Ada suara balasan dari dalam.

Kakek itu sendiri yang membukakan pintu untuk Riski, "Wah, udah datang yaa. Nggak telat, tapi bagus deh nggak mepet sama jam 7."

"Iyaa." jawab Riski dengan cengiran khasnya, "Taruh dimana kek?" tanya Riski.

Kakek itu menunjuk ke arah pojok, "Taruh di sini aja."

Lalu Joko dan Riski mengangguk mengerti dan membawa semua sayur itu di tempat yang sudah di perintahkan. Dengan ulet Riski membawa satu persatu dan menata itu agar tetap rapi.

"Sekarang nggak pakai gerobak lagi ya?" tanya kakek itu dengan melihat Riski yang tengah sibuk membawa sayurnya.

"Enggak, kek. Sekarang bisa pesan lewat telfon, lebih efektif aja. Soalnya kalo pakai gerobak, menghabiskan banyak waktu dan juga tenaga." jawab Riski dengan terengah-engah napasnya.

"Bagus deh, betul apa yang kamu katakan. Semiga sukses yaa."

"Aamiin."

Joko hanya melihat obrolan Riski dengan kakek itu. Ia heran, bisa-bisanya adiknya yang masih berumur belasan bisa sangat akrab dengan orang tua. Padahal, saat di sekolah Joko sangat jarang melihat Riski berbaur dengan teman-temannya, kecuali Ardhi. Tetapi, kenapa dengan orang tua justru Riski bisa akrab dan mengobrol? Apakah karena memang orang tua tidak melihat dari manapun, ia hanya melihat dari kerja kerasnya?

Setelah semua tertata rapi, "Sudah, kek. Ini nota sayuran semuanya." Riski menyerahkan catatan setiap harga sayurnya dan menjumlahkan semuanya.

Kakek itu menerima nota dan langsung melihat jumlahnya, "Bentar ya." tukasnya, lalu mengambil yang di saku bajunya.

"400 ribu yaa? Ini, pas 400 ribu. Nanti kalo kakek butuh lagi, akan di telfon. Okay?" ucap kakek itu dengan menyerahkan uang yang berjumlah 4 lembar.

Riski menghembuskan napasnya kasar, "Makasih, kek. Kabarin aja yaa kalo butuh sayur lagi, ini juga di kemas kayak di mall. Tapi tenang aja, masalah harga masih sama kayak di pasar." jelas Riski.

Kakek itu kaget dengan penjelasan Riski, dan langsung melihat sayuran itu, "Wah. Iya, pasti anakku suka. Rapi banget, dan harganya murah."

Riski hanya tersenyum mengembang.

"Riski pamit dulu, kek. Karena masih ada yang harus di antar lagi. Assalamualaikum." bohong Riski agar ia bisa cepat pulang. Riski sadar di seberang sana, Joko sudah memberinya kode untuk segera pulang.

"Waalaikumsalam." jawab kakek itu.

"Benar-benar hebat, anak seusia dia sudah bisa kreatif seperti ini. Bahkan, ia juga sudah memperhitungkan semuanya. Benar-benar gila anak itu, dan pasti akan menjadi orang sukses." batin kakek itu dengan melihat punggung Riski yang sudah mulai menaiki motor bersama Joko.

Saat diperjalanan pulang, Joko heran kenapa Riski bisa mendapatkan uang sebanyak itu dari satu kali pesanan, "Lo beli harga berapa sayurnya? Untung berapa dari ini?" tanya Joko yang penasaran dan memberanikan niatnya untuk bertanya hal yang sensitif.

"Gue beli sayurnya kemarin cuman 200 ribu, kak. Ini gue jualnya 400 ribu, harga semua itu kayak di pasar dan juga bu Widya jual." jawab Riski.

Joko kaget, hanya dengan itu bisa mendapatkan keuntungan yang besar. Apalagi Riski menambah stok sayurnya lebih banyak, pasti akan mendapatkan banyak uang juga.

"Kenapa lo nggak nambah stok sayurnya? Lo bayangin, dari satu kali habis aja lo bisa untung 200 ribu. Coba kalo lo anterin banyak sayur, pasti bisa untung besar." ujar Joko dengan sesekali menengok ke belakang.

"Nggak mau banyak-banyak. Sayur itu resikonya besar, kak. Kalo ada yang beli memang akan mendapatkan untung, tapi.." Riski menggantungkan kalimatnya.

"Apaan?"

"Tapi, kalo nggak ada yang beli bisa rugi. Apalagi sayur ini nggak bisa bertahan lama. Beberapa hari aja kadang udah layu dan busuk. Gue nggak mau ambil resiko itu, yang penting udah bisa habis setiap harinya udah bagus. Kayak seperti sekarang ini, dikit bisa habis itu udah lumayan. Coba bayangin, kalo setiap hari untung 200 ribu. Dalam sebulan itu sudah sangat banyak, kak." jelas Riski panjang lebar. Riski memang tidak ingin mengambil resiko yang tinggi, karena modalnya juga terbatas. Modal itu juga akan ia gunakan untuk membayar sekolah saat di SMK, untuk membeli seragam, dan lain-lainnya.

Joko mengangguk-anggukan kepalanya mengerti, dan memang ada benarnya apa yang di katakan oleh adiknya. Jadi orang memang tidak boleh serakah, yang terpenting bisa konsisten itu sudah sangat bagus.

"Benear kan? Soalnya gue udah alamin sendiri, kak. Waktu ikut bu Widya, sayuran dia sering nggak habis dan kadang keesokan harinya udah ada yang layu. Dan alhasil kalo layu, akan di buang sama beliau. Karena pembeli pasti minta yang fresh." sambung Riski lagi.

Joko yang tidak mengerti mengenai sayuran kini mulai paham akan penjelasan Riski. Ternyata setiap pekerjaan selalu memiliki resiko, dan rejeki juga sudah ada yang mengaturnya.

"Iyaa lo benar. Gue nggak paham masalah sayuran, tapi setelah ini jika ada yang pesan lagi bagaimana? Kalo sayuran sekarang aja udah abis, bagaimana kalo pelanggan lo kecewa akan hal itu?"

"Gue belum nemu solusi untuk itu, kak. Tapi, paling solusinya adalah gue beli sayuran secukupnya aja. Dan kalo memang bakalan habis lagi, yaudah bilang aja habis. Atau mungkin akan gue carikan di pasar." jawab Riski dengan tenang.

"Lo nggak dapet untung dong kalo lo beli di pasar?"

次の章へ