Reygan meletakkan piringnya di pangkuan, dia mengangkat kedua tangannya. Dia menimbang-nimbang, membentuk jarinya menjadi kubus. Lalu mendecak. Aneska gemas menunggu. "Gendut kalau lo berdiri di samping Maura."
"Ya jangan dia perbandingannya. Dia badan triplek gitu. Terus saking putihnya nih, darahnya ngalir kelihatan."
Karena sedang tidak mengunyah, Reygan tertawa. "Nggak. Lo nggak gendut. Takut banget sih gendut?"
"Nggak takut. Bukan takut yang lebay gitu. Tapi kalau gue gendut, di rumah ada yang suka nyinyir."
"Siapa?"
"Mbak Maya."
"Rame ya keluarga lo?"
"Kalau lo kesepian di rumah, lo main ke sana deh. Mas Kinan suka melek sampai pagi kalau weekend gini."
"Ngapain?"
"Mbuh, Mretelin mobil."
"Eh, Nes."
"Hmm?" Aneska yang sedang minum melirik ke arah lelaki itu.
"Besok lo ada acara?"
"Kenapa?"
"Temenin gue."
"Ke mana?"
"Jam delapan gue jemput."
"Boleh, kalau gue udah bangun."
****
Pukul delapan pagi tepat, ketika mobil hitam Reygan sudah teroarkir manis di depan gerbang rumah Aneska.
Dengan menguap Aneska berjalan ke gerbang. Reygan menunggu di luar gerbang.
"Udah mandi kan lo?"
"Yakin udah mandi?"
Aneska menatap malas sambil mengibaskan tangannya. "Pulang, pulang, pulang. Gue mau lanjut tidur!"
"Gitu aja ngambek." Reygan membantu menggeser gerbang dari luar. Dia berniat masuk, hendak pamit ke orangtua Aneska.
Tapi Anseka mencegatnya. "Mau ngapain?"
"Pamitan. Gue kan bawa pergi anak gadis mereka." Reygan menjawab polos.
"Nggak ada orang di rumah." Aneksa menarik gerbang hingga tertutup.
"Bang Kinan?"
"Masih ngebo. Mama ke rumah Tante di Depok. Mbak Maya main. Semalem gue udah ijin, kok. Dan dibolehin. Oh iya, Papa di luar kota. Cukup?" Aneksa terus mencerocos.
"Gue tungguin kalau lo pengen ganti kostum."
Aneska mendunduk. Menatap sepatu, celana belel, kaos putih kebesaran milik Mas Kinan dan jaket jeans. Lalu tas punggung hitam. Tidak ada masalah. "Kenapa sama baju gue?"
"Udah nyaman pakai itu?"
"Kita mau ke mana?"
"Nanti juga tahu."
Aneska mendengus. Dia sebal main teka-teki. Reygan sudah masuk ke dalam mobil. "Buruan. Lo mau gue bukain pintu macam putri-putri?"
Itu hal paling menggelikan!
Dua jam perjalanan. Mereka sampai, di mana deburan ombak bagaikan nyanyian paling indah. Aneska sudah tidak sabar ingin segera sampai. Kalau bisa dia lompat dari mobil dan mendarat di pasir. Reygan hanya membiarkan Aneska yang bertingkah seperti lumba-lumba.
"Kok lo nggak bilang mau ke pantai?" protesnya.
"Kostum lo cocok, kok."
Dasar!
"Tadinya nggak mau ke sini." Reygan memarkirkan mobilnya. "Ada tempat lain yang pengen banget gue kunjungin. Tapi lihat kostum lo, gue berubah pikiran."
"Aneska tidak bisa marah sekarang. Hatinya sudah dipenuhi dengan suara debur ombak. Dia tidak sempat marah.
Begitu pintu terbuka, Aneska berlari menuruni tangga dua-dua sekaligus. Dia berlarian di pasir, nyaris terjatuh. Reygan menatapnya heran.
Reygan menyusul dengan santai. Sementara Aneska sudah lari ke sana ke mari. Berlarian dengan ombak. Reygan jadi merasa bukan mengajak Aneska, tapi mengajak anak taman kanak-kanak yang belum pernah melihat ombak. Apalagi sang Mama tidak ada. Tidak akan ada yang melarang. Nah, kira-kira begitulah gambaran Aneska sekarang. Bisa kaian bayangkan sendiri.
Aneska tahu caranya menikmati ombak. Dia tidak ribut soal memakai krim anti matahari. Dia tidak takut kulitnya akan hitam atau belang. Bahkan separuh badannya sudah basah. Tasnya dilempar begitu saja di tepi pantai.
Kalau Reygan memilih berteduh di bawah pohon kelapa. Dia duduk tanpa alas, meletakkan tasnya dan mengeluarkan buku sketsa dari dalam tas.
Dia akan menemani Aneska bermain ombak nanti. Kalau matahari sudah condong ke barat.
Pantai ini berada di tepi kota. Belum banyak yang mengenal. Karena memang belum dibuka untuk umum. Rencananya baru bulan depan akan diresmikan oleh Gubernur. Jadi sebelum ramai, sesak oleh turis lokal atau manca, dia bisa menikmati keaslian pantai lebih dulu. Sebelum banyak sampah buatan di tepian, dan hanya sampah alam yang terbawa ombak.
Reygan mulai menggurat kertas skestanya. Hanya arsiran tipis. Lalu kemudian menebal arisan. Aneska sedang berdiri dengan kedua tangan merentang. Reygan merekamnya dalam gurat.
Beberap menit kemudian, dengan terengah namun wajahnya masih antusias. Aneska melangkah ke arahnya. Dia mengambil tempat di sebelah Reygan. Lelaki itu sengaja bergeser agar Aneska tidak kena panas.
"Norak lo, Nes."
"Maklumin aja. Gue nggak pernah ke pantai sejak ada insiden Mas Kinan tenggelam."
"Kapan?"
"Pas masih kecil, sih. Tapi efeknya glonal banget." Aneska masih terengah. "Sejak saat itu Papa nggak bolehin anak-anaknya nyentuh pantai. Itu keputusan final. Mama juga setuju."
Reygan lalu tersadar sesuatu. "Yuk, balik."
"Nunggu sunset dong!"
"Sunset masih lama. Mending pulang, gue nggak mau kalau--"
"Gue laper."
"Kita bisa makan pas nanti balik." Reygan mengemasi barangnya. Tanpa sengaja menjatuhkan satu lembar sketsa miliknya.
Aneska meraih lembar sketsa itu. Dia menatap lama pada gambar itu. Lalu menimbang kalimat seperti apa yang tidak menyinggung Reygan. "Gambar lo bagus."
"Cuma iseng," katanya seraya merebut kertas itu dari Aneska.
Tapi Aneska menahannya. Dia masih ingin melihat gambar itu lebih lama. "Lo iseng atau nggak, bukan itu alasannya. Coba tanya hati kecil lo, apa ini yang lo pengen."
Reygan terdiam lama. Deburan untuk menemani keterdiaman keduanya. Suara burung terdengar di kejauhan. Lautan lepas sepanjang mata memandang. Birunya langit seakan menyatu bersama birunya laut. Dia terlena sesaat. Hingga pertanyaan itu sampai di hati kecilnya.
Aneska bukannya tidak tahu apa alasan lelaki ini menyangkal jika dia berbakat melukit. Kenyataan itu terus ditolak hingga saat ini.
"Lo bener." Reygan akhirnya bersuara. Ditemukannya jawaban itu di dasar hatinya. "Gue menyangkal banyak hal tentang Papa. Gue nggak nyoba buat ngelukis seperti yang Papa lakukan. Hanya karena takut. Gue takut rindu Papa dan ninggalin Mama."
"Gambar lo bagus banget. Gue jarang lho muji orang." Anseka berusaha untuk tidak masuk terlalu jauh ke dalam masa lalu Reygan.
"Lo orang kedua yang gue gambar. Harus bangga lo."
"Kedua?" Aneska menoleh. "Yang pertama siapa?"
"Dara."
Aneska ber-oh pelan. Mungkin mantan pacar Reygan. "Gue laper beneran."
Mereka berjalan kaki, mencari warung makan terdekat. Hanya ada satu yang kebetulan buka. Mereka memesan mi rebus.
Sambil menikmati hamparan laut yang luas, mereka menyantap mi rebus dalam hening. Tapi selalu Aneksa yang membuka obrolan. "Dara siapa?"
Reygan hampir tersedak. Dia kira Aneska akan bertanya apa. "Nanti lo juga tahu sendiri."
"Ciri-cirinya?"
"Cantik. Pipi tembem." Reygan mencoba mengingat. "Suara cempreng."
"Banyak kali yang begitu. Anak mana?"
"Kok lo kepo?"
Aneska memilih diam dan fokus ke mangkoknya.