webnovel

18. Kucing Oranye

Night king : Kebangkitan Sang Kucing Hitam

Chapter 18 : Kucing Oranye

"Apa penampilanku ini sudah rapi?" gumam Lin Tian seraya merapikan kembali kemeja yang dipakainya.

"Rambut ..." Lin Tian mengelus rambutnya yang sedikit acak-acakan itu. "Rambut juga sudah rapi," timpalnya dengan wajah yang berseri-seri.

Biarpun sempat dibuat kesal sebelumnya, tetapi Lin Tian bisa melupakannya karena setelah ini tentu Lin Hua akan mengajaknya jalan-jalan.

Lin Tian pun mempercepat langkahnya, dia sempat melihat Lin Hua masuk di antara benda-benda berwarna merah, benda-benda itu adalah mobil yang terparkir di sana.

Akhirnya Lin Tian pun menemukan Lin Hua, seketika raut wajahnya berubah. Perlahan senyuman mulai menghilang dari wajah tampannya berganti dengan raut kecewa.

"Pus, akhirnya aku menemukanmu juga. Ternyata kau bersembunyi di sini, Sayang," kata Lin Hua seraya mengelus-elus kepala seekor kucing berwarna oranye.

Seekor kucing? Benar, kata-kata 'Sayang' tersebut Lin Hua tunjukkan pada seekor kucing betina berwarna oranye dan putih.

Lin Tian yang sudah tampil maksimal tersebut akhirnya harus menelan pil kekecewaan karena Lin Hua lebih mementingkan seekor kucing ketimbang dirinya.

Lin Tian mengerucutkan bibirnya, "Lin Hua! Ayo, katanya kita mau jalan-jalan, tapi kenapa kita belum pergi juga?" Terdengar nada ketus dari kata-kata Lin Tian.

Lun Hua sendiri menahan tawa di dalam kalbunya, perasannya begitu bahagia karena berhasil membuat Lin Tian kesal, apa lagi melihat reaksi yang pemuda itu tunjukkan membuat Lin Hua gemas dibuatnya.

"Baiklah, ayo kita pergi." Lin Hua beringsut, dia melepaskan kucing yang digendongnya. "Dadah, Pus!" Dia melambaikan tangannya ketika kucing oranye itu mulai menghilang dari pandangannya. Kucing itu pergi menuju hamparan rumput yang ada di sana.

Lin Hua pun menjatuhkan pandangannya pada Lin Tian sekarang. Ada perasaan kesal, sekaligus bahagia.

"Kau ini selalu saja menggerutu. Kamu harus tahu, sejak tadi aku mencari kucing itu karena Pus adalah kucing kesayangan ayah. Paham!" tegas Lin Hua seraya menekan dada Lin Tian dengan jari telunjuknya.

Mendengar kalimat tersebut, seketika Lin Tian pun merasa bersalah. Sesungguhnya dia sangat kesal karena Lin Hua terus saja mengabaikannya, tetapi setelah mendengar penjelasan Lin Hua membuat Lin Tian merasa malu.

Lin Tian terpaku. Lin Hua bisa merasakan ada perasaan sesal yang coba Lin Tian sembunyikan. Netranya dengan Lin Tian berada dalam garis lurus, "Sudahlah, lupakan perkataan diriku tadi. Aku hanya cemas saja memikirkan Pus karena sejak pagi Ayah tidak menemukannya di rumah. Mungkin Pus sedang jalan-jalan, jadi Ayah tidak tidak bertemu dengan Pus pagi ini."

Lin Hua juga menambahkan, Lin Pan kerap kali bermain dengan kucing oranye yang diberi nama 'Pus' itu sebelum dirinya pergi bekerja. Lin Pan sangat menyayangi kucing tersebut dan menganggapnya sudah seperti keluarganya sendiri.

Lin Tian semakin merasa bersalah. Sejak tadi dirinya bersikap seperti orang bodoh yang hanya memikirkan dirinya sendiri, egois hingga tidak membaca situasi sekitarnya.

Lin Hua pun menepuk bahu Lin Tian, "Aku tahu saat ini kamu sedang merasa bersalah, tetapi aku bisa memahaminya, Lin Tian karena saat ini dirimu tidak mengingat apa pun. Jadi semua hal yang dahulu kamu ketahui telah kamu lupakan, tetapi aku yakin semua ingatanmu itu akan segera kembali. Percayalah ... Jadi, jangan merasa bersalah seperti itu."

Ucapan Lin Hua sedikit mengangkat beban yang ada di pundak Lin Tian. "Terima kasih, Lin Hua karena kamu sudah memercayai diriku dan maaf karena sudah egois."

Lin Hua mengangkat bahunya secara bersamaan, "Bagaimana, jadi tidak jalan-jalannya?" Lin Hua memasang senyuman terbaiknya, dia tahu betul saat ini perasaan Lin Tian tengah kacau, terpancar jelas dari sorot matanya.

"Entahlah. Rasanya sudah tidak sama seperti sebelumnya," balas Lin Tian seraya membuang napas berat.

Hatinya bergejolak, ada perasaan aneh yang memenuhi ruang kalbunya. Semenjak berada di dunia ini, Lin Tian merasa ada banyak hal yang membuat perasannya tidak tenang. Ada kegelisahan, gusar yang terus mengusik pikirannya. Apa lagi saat bertemu Lin Hua pertama kali di gedung beberapa waktu lalu.

Semula dia tidak mengenal Lin Hua, dari gaya pakaiannya pun membuat Lin Tian enggan menyentuhnya. Akan tetapi, situasi memaksanya untuk mengenal lebih dekat Lin Hua. Hingga pertarungan itu selesai, semakin banyak saja hal yang perlu Lin Tian pelajari.

Setelah keluar dari rumah sakit beberapa hari yang lalu, sejak saat itu Lin Tian memutuskan untuk menerima semua takdirnya. Dia bisa saja mengakhiri hidupnya saat itu juga. Akan tetapi, ada perasaan aneh yang membuat Lin Tian harus tetap hidup, walaupun dia harus berusaha keras untuk beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya.

Lin Pan, untungnya bisa memahami kondisi Lin Tian sekarang. Maka dari itu Lin Pan meminta pada Lin Hua dan Lin Xiao untuk mengawasi Lin Tian selama di rumah dan tidak memperbolehkan Lin Tian untuk keluar rumah, kecuali ada keperluan mendesak atau melakukan pemeriksaan bertahan.

"Hei, Lin Tian!" Lin Hua menepuk bahu Lin Tian untuk yang kedua kalinya, hal tersebut berhasil menyadarkan Lin Tian dari lamunannya.

"Maaf," katanya singkat. "Apa katamu tadi?" timpalnya balik bertanya.

Sejenak Lin Tian terbawa perasaan sehingga dia tidak mengetahui apa saja yang sudah Lin Hua katakan.

"Dasar!" umpat Lin Hua pelan.

"Hem, kamu mengatakan sesuatu, Lin Hua?" tanyanya kembali.

Lin Hua menggeleng, "Untung saja dia tidak dengar," lanjutnya bergumam pelan. Lin Hua mengangkat wajahnya seraya menunjukkan senyuman terbaiknya.

"Ayo, kita pergi jalan-jalan!" ajaknya penuh semangat.

Lin Tian pun tertegun, "Kita jadi jalan-jalannya?"

Pertanyaan menohok yang mematik tawa dari gadis ayu bersurai panjang tersebut. "Ya, tentu saja kita akan pergi jalan-jalan. Bukankah itu yang kamu inginkan tadi? Lagi pula, sudah lama juga aku tidak keluar rumah dan mengendarai mobil. Sepertinya memang asyik berjalan-jalan di hari Kamis yang cerah ini."

Mendengar kata 'Mengendarai mobil' membuat Lin Tian menaikkan sebelah alisnya. "Mengendarai mobil? Apa itu?" tanyanya yang mengulang perkataan Lin Hua sebelumnya.

Lin Hua bergumam, "Hem, ya ... mengendarai mobil." Dia menaik turunkan kedua alisnya.

"Ya, aku tahu mengendarai mobil, tapi apa itu? Bisa dimakan? Rasanya enak tidak?" tanyanya, mengartikan kata 'Mengendarai mobil' sebagai sesuatu yang dapat dimakan dan rasanya enak. Setidaknya itu yang Lin Tian katakan.

Lin Hua pun tertawa lepas, dia tidak bisa menahannya lagi. Sudah terlalu lama dia menahan tawanya agar tidak melukai perasaan Lin Tian. Namun, kalimat yang baru saja terucap itu membuat Lin Hua tidak lagi bisa menjaga perasaan Lin Tian.

Lin Hua terbahak-bahak, dia sesekali memukul bahu dan dada Lin Tian yang secara tidak langsung membuat pipi Lin Tian memerah. Terselip perasaan malu saat Lin Hua menertawakan dirinya.

"Sudah ... Cukup, jangan tertawa lagi. Aku kan jadi malu."

Perkataan itu meluncur bebas dari mulut Lin Tian. Lin Hua pun menjatuhkan pandangannya pada manik indah pria berotot itu. Perlahan-lahan Lin Hua pun menghentikan tawanya. Kini ada perasaan bersalah yang mengisi rongga hatinya saat melihat wajah Lin Tian yang seperti dipenuhi kesedihan.

"Hem, maaf ... Ya, maaf," katanya singkat. Walaupun sudah berusaha dihentikan, tetap saja Lin Hua tidak bisa menahan tawanya ketika melihat wajah Lin Tian yang begitu polos itu.

次の章へ