Night King : Kebangkitan Sang Kucing Hitam
Chapter 2 : Kematian Fei Hong
Penolakan yang Fei Hong utarakan membuat Lin Tian sadar. Bahwa kekuatan tidak akan membuat seseorang merasa terlindungi, sebaliknya mereka tidak mudah memercayainya.
Lin Tian mengelah napas panjang, selanjutnya dia tersenyum lembut agar Fei Hong tidak merasa semakin terancam.
"Tidak apa-apa jika dirimu tidak mau mempercayai Paman, tetapi setidaknya pikirkan mereka-mereka yang telah tiada akibat perang ini. Ibumu ... Lihatlah dia yang harus berkorban demi melindungi nyawamu. Apakah dirimu tidak ingin membalas kematiannya?"
Fei Hong sedikit melunak, emosinya sedikit menurun. Ada kesadaran dari dirinya kepada semua nyawa-nyawa yang telah tiada sana. Lin Tian tersenyum lembut, dia dapat merasakan kepedulian Fei Hong begitu tinggi pada desanya itu. Sama seperti dirinya saat masih seusia Fei Hong. Hanya saja, takdir mereka berbeda.
Fei Hong melihat sekitarnya. Desa yang dahulu aman dan damai kini telah berubah menjadi lautan mayat. Orang-orang yang dia kenal harus menderita. Menyerahkan nyawa berharga mereka hanya karena perang yang berkepanjangan.
"Baik. Jika memang ini demi kedamaian negeri, maka aku akan mempercayai Paman, tetapi aku tidak akan sepenuhnya mau mengabdi pada kerajaan. Bahkan aku akan berusaha untuk menghancurkan kerajaan demi mengembalikan kedamaian seluruh negeri!"
"Ya, kau pasti bisa mendapatkan itu semua. Mari ikut denganku dan Paman akan menjadikanmu seorang Jenderal besar di masa depan nanti."
Lin Tian mengulurkan tangannya kembali. Meminta Fei Hong untuk bergabung dengan dirinya, seperti yang sudah ditawarkannya.
Ada sedikit keraguan untuk meraih tangan itu, Fei Hong memandang jasad Ibunya lebih dulu dan berkata. "Ibu ... Aku akan menjadi pendekar hebat seperti yang ibu inginkan. Aku akan memenuhi janjiku pada ibu dan ayah. Aku akan membawa kedamaian dunia pada negeri ini. Janjiku padamu, Ibu."
Hatinya telah mengiklar janji. Matanya menatap tegas Lin Tian, lalu bersamaan dengan itu tangannya meraih tangan Lin Tian, yang sedari tadi sudah menunggu jawabannya.
Lin Tian tersenyum bangga pada Fei Hong atas keputusan yang telah diambilnya. "Paman jangan senang hulu. Aku mempercayai Paman hanya untuk ibuku saja. Jika Paman berbohong, maka aku tidak akan segan-segan untuk melawan Paman. Ingat itu!"
Fei Hong menggertak, tetapi Lin Tian menanggapinya dengan senyuman simpul, merasa beruntung karena sudah dipermukaan dengan anak secerdas Fei Hong. Keputusan Fei Hong Itu yang diharapkannya. Seorang pemuda yang akan tumbuh menjadi Jenderal besar di masa depan.
Lin Tian segera mengajak Fei Hong untuk meninggalkan desa Arsa. Walaupun berat, tetapi Fei Hong harus melakukannya karena ini sudah menjadi keputusannya.
"Mari! Kuda Paman ada di sana!" ajaknya, sembari mengarahkan tangan ke Selatan karena di sanalah kudanya berada.
Fei Hong terus mengepalkan tangannya, Lin Tian dapat merasakan kemarahan yang masih membara dari bocah depalan tahun tersebut. Namun, Lin Tian tidak mempermasalahkannya karena dia memahami yang Fei Hong rasakan sekarang.
Ketika langkah keduanya belum jauh dari area tersebut, mendadak segerombolan Pendekar yang terdiri dari aliran Hitam dan Putih mulai mengepung keduanya.
"Kalian siapa?" Lin Tian berteriak, sembari melepas aura pembunuhnya untuk menekan aura yang dilepaskan oleh para Pendekar tersebut.
Fei Hong pun kesulitan bernapas karena tekanan aura tersebut. Dia yang tidak memiliki tenaga dalam, akan sangat sulit menekan aura pembunuh tersebut.
"Paman ..." lirih Fei Hong sambil memegangi dadanya, yang terasa sakit akibat tekanan aura pembunuh yang tidak dapat dinetralisir olehnya.
"Fei Hong, bertahanlah!" Lin Tian segera mengeluarkan botol giok yang berisikan berbagai macam pil penyembuh.
Lin Tian langsung memberikan pil yang dapat menekan aura pembunuh dalam tubuh. Fei Hong menelannya dan Lin Tian mengalirkan tenaga dalamnya agar Fei Hong dapat menyerap nutrisi dari pil tersebut.
Melihat kejadian tersebut, membuat Lin Tian geram. Aliran darahnya mendidih. Bisa-bisanya seorang Pendekar memiliki aura pembunuh yang begitu pekat, walau dia tahu dari gerombolan pendekar tersebut terdapat Pendekar aliran Hitam.
Lin Tian tidak habis pikir, bagaimana bisa aliran Putih bergabung bekerja sama dengan Pendekar aliran Hitam. Sejak kapan ini terjadi?
"Lin Tian, jangan kau coba-coba untuk melawan. Sebaiknya kau menyerah baik-baik agar tidak ada korban yang berjatuhan lagi!!" seru salah satu Pendekar, yang dari wajah dan penampilannya bisa Lin Tian kenali.
Mendengar pernyataan tersebut, Lin Tian tersentak. Alisnya berkedut, "Siapa yang sudah menyuruh kalian untuk menyerangku?!"
Lin Tian melepaskan aura pembunuh yang lebih besar, sehingga membuat gerombolan Pendekar tersebut mundur beberapa langkah. Fei Hong yang baru saja mendapatkan kesadarannya, kini tergulai lemas Kembali akibat terkanan udara sekitarnya.
Kali ini Lin Tian tidak bisa membantu Fei Hong karena urusannya dengan gerombolan pendekar tersebut sangatlah penting. Dia tidak menduga sebelumnya, mereka menginginkan nyawanya.
Biarpun usianya sudah satu abat, tetapi Lin Tian masih memiliki kemampuan untuk melumpuhkan para Pendekar di hadapannya sekarang.
Mereka adalah pendekar yang merada di tingkat Pendekar Ahli dan Raja. Tidak ada dari mereka yang berada ditingkat Pendekar Suci. Setidaknya Lin Tian dapat menaklukkan mereka karena tingkatnya berada ditahap Pendekar Suci.
"Maju kalian semua, akan aku akhiri ini dengan cepat!" seru Lin Tian yang langsung menarik pedangnya dan para pendekar pun ikut menarik pedang mereka.
Pertarungan tidak bisa terelakkan lagi. Satu melawan puluhan Pendekar dalam waktu bersamaan. Lin Tian tidak berada dalam kondisi prima karena perang yang baru saja usai.
Terhitung sudah tiga hari dia tidak tidur. Dikarenakan dirinya harus terus berjaga dan menyusun strategi untuk perang.
Yaaaachhh ...
Cling ..
Satu persatu pedang mereka berbenturan dengan pedang milik Lin Tian. Tingkatnya yang berada ditahap Pendekar Suci, membuat Lin Tian cukup mudah untuk mengalahkan mereka yang berada ditahap Pendekar Ahli.
Namun, tidak dengan mereka yang berada di puncak Pendekar Raja. Lin Tian cukup kesulitan menghadapi mereka dalam waktu bersamaan. Tekanan yang mereka berikan, serta kombinasi jurus yang mereka gunakan membuat Lin Tian sedikit kewalahan untuk mengimbangi mereka.
Jurus demi jurus terus Lin Tian gunakan tanpa henti guna mengimbangi kombinasi jurus mereka. Andai dirinya berada dalam kondisi yang prima, maka raturan dari mereka akan bisa dikalahkan dengan mudah.
Lin Tian mundur beberapa meter saat dadanya terkena tapak salah satu Pendekar Raja. Darah segar keluar deras dari tepi bibirnya. Dia langsung menyeka darah tersebut. Tanpa menarik napas, Lin Tian segera melesat kembali dengan kemampuan meringankan tubuhnya tersebut.
Para Pendekar pun tidak gentar. Mereka siap bertarung mati-matian demi koin emas yang telah dijanjikan seseorang. Mereka telah dibayar mahal untuk membawa kepala Lin Tian.
Lin Tian terus mengeluarkan jurus-jurusnya dan pukuhan Pendekar tersebut juga tidak mau kalah. Biarpun sudah banyak dari mereka yang terluka, tetapi mereka tidak bisa menyerah begitu saja.
"Paman ..." Fei Hong pun akhirnya sadar. Lin Tian segera bereaksi. Jaraknya dengan Fei Hong cukup jauh, sedangkan dirinya juga harus melawan puluhan Pendekar dalam waktu bersamaan. Tidak mungkin baginya untuk mendekati bocah tersebut sekarang, ditambah tenaga dalamnya yang hampir habis, membuat Lin Tian tidak dapat bergerak selincah sebelumnya.
Kelengahan ini pun tidak bisa disia-siakan. Mereka langsung mengepung Lin Tian dari berbagai arah sehingga dia tidak bisa pergi dari sana.
Di waktu bersamaan itu pula, salah satu Pendekar mengambil kesempatan tersebut untuk membuat Lin Tian semakin lemah. Ia secara licik mendekat pada Fei Hong. Kehadirannya sungguh tidak Lin Tian sadari dan luput dari pandangannya.
Pendekar itu secara cepat mengangkat tubuh Fei Hong. "Paman ... To-long ..."
Fei Hong menjerit sesaat, belum akhirnya pendekar itu menyayat lehernya dengan ujung mata pedangnya. Seketika napas Fei Hong terhenti, bersamaan dengan tubuhnya yang tergeletak di tanah.
"Fei Hong!" Lin Tian berteriak. Saluran otaknya memerintah untuk mendatangi jasad bocah tersebut, tetapi tubuhnya tidak bisa merespon perintah itu. Sehingga dia hanya bisa menitihkan air mata sembari mengepal tangannya.