webnovel

9. Darah Bangsawan, 5 Oktober 1591

Tiba di rumah, Benca membuka pintu kayu dengan hati-hati, "Bu, Ibu... Ibu di mana?" Benca memanggil Ibunya sambil memapah Lorant untuk duduk di pembaringan. Dengan telaten Benca membantu Lorant untuk mendapatkan posisi rebahan yang cukup nyaman. Setelah itu, dia ke dapur mencari Ibunya, tetapi Benca tidak menemukan Ibunya.

Lewat pintu belakang Benca ke luar. Di sana Ibunya tampak sedang menjemur gandum. Cahaya matahari di bulan Oktober tidak terlalu bagus untuk menjemur, tetapi setidaknya, gandum-gandum tersebut tidak akan busuk karena lembab saat musim dingin nanti. Benca menghampiri Ibunya, "Ibu..." Benca memanggil dengan suara lirih.

Ibunya menoleh, sedikit terkejut, "Hey, kamu sudah pulang, sayang. Cepat sekali. Apakah Ayahmu sangat lapar, sehingga menghabiskan makanannya dengan kilat?"

Benca menggeleng, lalu duduk dihadapan Ibunya. Benca memegang tangan Ibunya, lalu menceritakan tentang Lorant. Gerda terbelalak, sedetik kemudian berdiri dan bergegas masuk ke dalam rumah untuk menemui Lorant, sementara Benca mengekor di belakang Ibunya.

Gerda menghampiri dan menatap Lorant yang sedang terbaring lemah di pembaringan milik Benca. Mereka hanya memiliki dua buah dipan, satu untuk Gergely dan Gerda, yang lainnya untuk Benca. Gerda meneliti pakaian Lorant yang tercabik-cabik dipenuhi noda darah yang mulai mengering. Gerda sudah bisa menduga dari jenis pakaian Lorant, bahwa Lorant adalah kaum bangsawan.

Gerda berlutut disamping pembaringan, "Apa yang terjadi padamu, Tuan?" tanya Gerda.

Benca yang seumur hidupnya belum pernah bertemu manusia lain selain Ayah-Ibunya tampak bingung, "mengapa Ibunya berlutut seperti itu pada Lorant? dan mengapa Ibunya memanggil Lorant dengan sebutan Tuan?" Benca membatin.

Dengan sebelah tangannya yang lemah, Lorant memberi isyarat agar Gerda duduk di sisinya, "Aku Lorant dari Arva. Aku adalah orang yang beruntung karena selamat dari konflik yang aku tidak mengerti di kota Moslavina. Sesungguhnya, aku pergi ke Moslavina hanya ingin menjalin kerjasama dengan Baron Vladislav Durecovic." Lorant mulai bercerita.

Samar-samar, Gerda ingat tentang Baron Vladislav Durecovic, jika benar yang dimaksudkan oleh Lorant adalah orang yang ada dalam pikirannya, maka orang tersebut memiliki wilayah yang sangat subur di Lonjsko Polje. Keberadaan sungai Sava, sungai Lonja, dan jalur sungai Velki Strug membuat wilayahnya semakin menarik. Banyak pengusaha dan tuan tanah datang untuk bekerjasama. Tetapi Gerda mengunci mulutnya erat-erat, tidak ingin terlihat mengerti tentang banyak hal, terutama tentang keluarga bangsawan. Dia berupaya keras untuk tetap fokus pada cerita Lorant dengan ekspresi datar.

Sementara, Lorant terus bercerita, mencoba mendapatkan kepercayaan dari orang yang menolongnya, bahwa dia adalah orang baik-baik, hanya saja berada dalam situasi dan tempat yang tidak menguntungkan.

"Aku sendiri memiliki sebagian kecil perkebunan di Arva, sementara bagian besarnya dimiliki oleh sahabatku Gyorgy. Tidak disangka, Vladislav mengirim surat untuk menjalin kerjasama dengan perkebunan Arva. Gyorgy mengutusku untuk menemui Vladislav. Kami sudah membicarakan beberapa hal, dan merencanakan untuk ke Arva beberapa hari ke depan bersama-sama untuk menemui Gyorgy."

Gerda mengernyit, berusaha mengingat tentang Gyorgy, sepertinya dia juga mengetahui sedikit tentang Gyorgy, jika yang dimaksud oleh Lorant adalah Gyorgy Thurzo de Bethlenfalva, maka Gerda yakin, bahwa Lorant adalah bangsawan kelas atas. Sebab hanya sesama bangsawan yang mau bersahabat cukup dekat dan bekerjasama dalam bisnis.

Lorant masih terus melanjutkan ceritanya, "Namun tiba-tiba saja terjadi kekacauan di Sisak hingga Moslavina. Kami tidak mengerti apa yang terjadi di sana. Desas-desus yang kami dengar adalah pemutusan perjanjian perdamaian atau semacamnya. Bahkan wilayah perbatasan militer di Habsburg telah porak poranda. Namun semua terjadi begitu cepat, kami hanya berpikir untuk bisa menyelamatkan diri. Awalnya aku dan keluarga Vladislav berhasil melarikan diri dengan kereta kuda serta beberapa pengawal. Namun ditengah jalan, kami di rampok, hingga tercerai berai."

Lorant menarik nafas sejenak, "Aku masih mampu berkuda hingga beberapa hari, mungkin dua atau tiga hari, aku tidak ingat. Lalu tiba-tiba kuda yang aku tunggangi diserang dan jatuh. Aku yang ikut terjatuh segera mencari tempat persembunyian. Kakiku terluka terkena panah. Namun aku bisa meloloskan diri dengan bersembunyi diantara semak belukar. Mereka hampir saja menemukan aku, namun Tuhan Maha Baik, di dekatku ada seekor burung yang terluka karena gigitan hewan buas, namun mungkin karena banyak tentara yang datang, hewan tersebut meninggalkan buruannya. Tentara mengira darah tersebut adalah darah burung, lalu mereka pergi menjauh meninggalkan aku yang menahan sakit, sambil mencoba menghentikan pendarahan dengan mengikat kakiku." Lorant tersenyum kecil, ada binar rasa syukur yang mendalam di matanya.

Kemudian Lorant melanjutkan ceritanya dengan suara lirih, "Terkadang, cara Tuhan menyelamatkan kita dari bahaya itu cukup unik, meski terkadang juga bisa sangat menyakitkan," dengan refleks Gerda menggenggam tangan Lorant, Lorant yang merasakan ketulusan Gerda membalas menggenggam tangan wanita tersebut. Lorant tersenyum pada Gerda, lalu memandang Benca dengan lembut sambil tetap menggenggam erat tangan Gerda.

Lorant melanjutkan, "Aku mencoba menyelamatkan diri, bersembunyi dari musuh yang aku tidak ketahui selama berhari-hari. Aku menghindar menjauh dari mereka, hanya mengandalkan arah melalui petunjuk bintang dan posisi matahari. Sementara untuk bertahan, aku makan buah dan dedaunan di hutan-hutan yang aku lewati. Sampai aku bertemu wanita cantik yang sedang berdiri di belakangmu itu."

Benca tersipu.

Gerda melirik Benca dan menyimpan senyum di hatinya. Entah mengapa dia merasa sangat bahagia melihat Benca dan Lorant. Diantara mereka seperti ada jembatan pelangi yang saling mengirimkan sinyal ketertarikan satu sama lain.

"Darah biru bangsawan bisa disembunyikan dari identitas Benca, namun takdir tetap mempertemukan sesama mereka dengan cara yang tidak terduga" Gerda membatin.

Hatinya merasa damai, seperti disiram air dingin yang menyejukan, "Benca, delapan belas tahun kamu hidup terasing, belum pernah bertemu dengan manusia manapun kecuali aku dan suamiku, yang kamu yakini sebagai orang tua kandungmu. Namun Tuhan mengirimkan Lorant, seorang bangsawan baik hati yang sepertinya telah jatuh cinta pada pandangan pertama saat bertemu denganmu. Saatnya memang semakin dekat, bahwa kami harus membuka jati dirimu yang sebenarnya," ada setitik rasa sedih dan tidak rela berpisah dari Benca yang sudah dianggap seperti anak mereka sendiri.

Gerda berusaha menepis perasaan itu. Apapun yang perlu dilakukan untuk kebahagiaan Benca, maka itu harus dilakukan. Karena Benca berhak untuk bahagia, sebagaimana seharusnya dia dengan status kelahirannya yang asli.

Tiba-tiba Gerda memecah keheningan yang membuat rikuh ini, dia menatap Benca dengan tanda tanya besar, "Sayang, Ayahmu belum makan?"

Benca menepuk keningnya. Lalu bergegas mengambil bekal makan untuk Ayahnya, "Ibu, aku akan antarkan bekal ini untuk Ayah. Oh iya, Lorant juga belum makan. Aku rasa dia sudah kelaparan, tetapi terlalu sungkan untuk minta pada Ibu." Benca melirik Lorant dengan tatapan prihatin. Sementara Lorant menyeringai. Bahkan tidak perlu menunggu lama, 'orchestra' di perut Lorant ikut mengaminkan apa yang baru saja Benca ungkapkan.

"Benca, jangan tidak sopan, panggil dia Tuan Lorant!" Gerda memarahi Benca dengan intonasi pelan. Lalu berpaling pada Lorant, "Mohon maafkan dia, tuan. Benca belum pernah bergaul dengan orang lain kecuali kami, orang tuanya."

"Tidak apa-apa. Biarkan dia memanggilku Lorant saja," kali ini Lorant memamerkan senyum manisnya.

Gerda mengangguk dengan sopan, "Tentu saja tidak apa-apa, tuan Lorant. Karena sesungguhnya, Benca juga seorang bangsawan seperti dirimu." Gerda lagi-lagi membatin, lalu berpaling pada Benca, "Sayang, segera antarkan makanan untuk Ayahmu! dia pasti lapar dan khawatir karena kamu tidak datang hingga matahari meninggi." Benca mengangguk dengan patuh, lalu bergegas mengambil bekal makan ayahnya yang sudah dingin. Tapi tidak cukup waktu untuk memanaskannya. Benca berjanji dalam hati, untuk membuatkan kudapan yang lezat untuk ayahnya saat makan malam nanti, sebagai penebus akan keterlambatan makan siangnya.

Sebelum beranjak, sekali lagi Benca menoleh ke arah Ibunya sambil melirik pada Lorant. Ibunya tersenyum maklum, "Jangan khawatirkan Tuan Lorant, Ibu akan memasak sekaligus menjaganya. Mungkin pakaian ayahmu ada yang cukup untuk tuan Lorant. Ibu akan carikan. Walaupun sederhana, tetapi setidaknya bersih dan tidak bernoda darah. Semoga Tuan Lorant berkenan."

Lorant mengucapkan persetujuannya dengan menganggukan kepala sambil tersenyum.

Gerda melanjutkan ucapannya, "Setelah itu Ibu akan mencuci pakaian Tuan Lorant," Gerda berusaha meyakinkan Benca bahwa Lorant sungguh akan baik-baiki saja. Benca mengangguk mengerti. Baru saja kakinya akan melangkah, ibunya kembali berkata, "Dan jangan lupa sayang, setelah menemui Ayahmu, ceritakan sedikit tentang Tuan Lorant padanya agar dia mengerti, mengapa Tuan Lorant ada di rumah kita. Jangan membuang waktu. Segera kembali. Carilah anredera cardifiola sebanyak-banyaknya di tepi hutan. Ambil yang masih segar, dan beberapa berikut akarnya, Ibu rasa kita perlu menanamya di rumah kita."

"Anredera cardifiola?"

"Iya sayang, daun berbentuk hati itu. Ibu lupa kalau kamu mengenalnya dalam sebutan heartleaf."

"Oh, baik ibu, aku mengerti," maka Benca segera pergi untuk melaksanakan perintah Ibunya, dia ingin segera menuntaskan semuanya. Dia sangat mengkhawatirkan Lorant, dan merasa harus secepatnya kembali ke rumah. Memastikan bahwa Lorant baik-baik saja.

次の章へ