Sekujur badanku masih merinding mendapati kejadian sangat tak mengenakan yang baru saja terjadi. Ariana menggiring pelan langkahku mendekat ke sofa coklat disamping tempat tidur dan duduk di atasnya. Sementara Rose dan Jessica memilih mendekat, kedua tangan Ari masih mengelus-elus pudakku. Perempuan berambut jagung menempelkan punggungnya ke tembok dan Rose malah duduk disamping kakiku.
"Aster, kejadian seperti ini nampaknya pernah terjadi di kampung halaman nenekku, teror batu yang memecahkan kaca jendela terjadi hampir setiap malam," ujar Jessica setelah melipat tangan di depan dada.
"Terus?" tanya Rose terdengar antusias.
Perempuan di tembok itu melonggarkan lipatan tangannya sebelum mulai menjawab,
"Ketua desa sudah melapor pada polisi berkali-kali, tapi pfiuuuhhh... kerjaan mereka sama sekali tidak beres, polisi tidak menemukan apapun soal pelaku teror, dan mungkin jika pelakunya masih hidup dia pasti sedang berkeliaran bebas di muka bumi,"
"Apa teror itu masih berlanjut sampai saat ini?"
Kini Jessica tertawa lebar tanpa alasan yang jelas,
"Hahahaha... omong kosong apa itu? kejadian teror terjadi sepuluh tahun yang lalu, dan setelah semua rumah mengalami hal yang sama pembunuhan berantai terjadi hanya dalam satu malam, seluruh penduduk disana mati bersimbah darah,"
"Apakah termasuk nenekmu?" kini giliran Ari yang bertanya.
"Nenekku baik-baik saja, dia ada di luar kota saat pembunuhan itu terjadi, tapi saudara dan tetangga baiknya yang menjadi korban,"
"Beruntung sekali neneknya Jessica, Tuhan masih melindunginya," gumam Rose yang sedang melipat lututnya.
"Berarti nenekmu menjadi satu-satunya yang lolos dari peristiwa tersebut?" tanyaku baru mengeluarkan suara sedari tadi.
Keadaan hening sejenak. Dari ketiga temanku disana belum ada yang merespon.
"Ya, hanya dia yang selamat," Jessica akhirnya menimpali sebelum duduk di sampingku.
"Apa polisi tidak merasa curiga pada nenekmu?"
"Maksudmu nenekku adalah pelaku teror dan pembunuhan kampung halamannya sendiri?"
Aku mengangguk pelan, antara ya dan tidak.
"Aku tidak yakin dengan pendapatmu, tapi ya sudahlah, kejadian itu telah berlalu sangat lama, nenekku juga semakin sepuh dan telinganya agak tuli,"
Percakapan mengenai teror serupa di kampung neneknya Jessica berakhir.
Misteri tentang siapa pelempar batu yang memecahkan kaca jendela kamarku sama sekali belum terungkap. Setelah satu jam menunggu, Nyonya Jean datang terburu-buru bersama dua pria berseragam polisi. Mereka meminta waktu khusus untuk memeriksa TKP, alhasil malam itu aku terpaksa menumpang di kamar Ariana.
Meski awalnya mata sulit terpejam untuk menapakkan diri ke dunia mimpi, tapi kesadaranku perlahan melayang ditemani bayang-bayang mengerikan tentang lemparan batu dan kertas bertuliskan 'KILLer'. Sungguh hal ini mengingatkanku pada kasus Giny yang terjadi sekitar dua tahun lalu. Dan aku tidak tahu apa polisi bernama Iqbal itu masih mencurigaiku atau tidak.
Akankah tuduhan itu akan kembali mengintaiku?
***
Sinar mentari pagi mengintip melaui sela-sela kain penutup jendela, aku masih nyaman berdiam dibawah selimut bersama sosok gadis berambut pendek sebahu. Saat kududukkan diri menghadap tembok bercat merah muda, suara berisik obrolan orang-orang mengusik dari kamar sebelah - tidak - lebih tepatnya kamarku. Kedua mata Ari sedikit terbuka menyadari tubuhnya digoncangkan oleh tanganku.
"Ari bangun, kayanya di sebelah banyak orang,"
"Hmm," hanya geraman yang keluar dari mulut perempuan itu.
Berulang kali aku melakukan hal yang sama, tapi Ariana tak segera bangun apalagi membuka lebar matanya. Aku menghela nafas pelan, lalu menurunkan kedua kaki dari ranjang langsung menyentuh karpet beludru yang halus. Benda berbentuk lingkaran di dinding menunjukkan pukul 6 pagi lewat jarumnya. Kurapikan sebentar rambut hitam panjang dengan jemari sebelum menuju pintu keluar.
Dengan langkah kaki tak beraturan, kubawa diriku masuk ke dalam kamar dengan pintu yang sengaja dibiarkan terbuka. Kedua pria semalam masih berada disana beserta Nyonya Jean, Jessica, dan Rose. Tunggu... Sepertinya aku mengenal satu lagi diantara mereka, pria berjaket tebal dengan gaya rambut undercut.
"Nona Aster!" sapanya sedikit terkejut kala melihat seorang gadis dengan piyama serba putih.
Semua pasang mata beralih padaku, jujur aku merasa sedikit canggung.
"Apa ini kebetulan?" tanya Iqbal masih memandang ke arahku.
"Ooh, tuan detektif, kamar ini tidak lain milik Aster Widoyo, dia menyewanya sekitar dua tahun lalu," jelas Nyonya berkacamata dengan wajahnya yang terlihat lelah.
Lelaki itu mengangguk dan terus menatapku dengan binar mata yang sama seperti sebelumnya. Kutebak Iqbal sudah mendengar semuanya baik dari mulut si pemilik rumah atau kedua temanku disana. Apalagi soal kertas itu, pasti rasa curiganya meningkat drastis padaku dan semakin yakin aku adalah tersangka pembunuh Giny. Namun, aku berusaha untuk tetap tenang.
"Baiklah nona, sebagai pemilik kamar bisakah kau sedikit mendekat?" pinta Iqbal sembari duduk di sofa.
Tanpa pikir panjang, aku mengikuti perkataannya. Saat langkahku melewati Nyonya Jean, Dia menyentuh pundakku,
"Dimana Ariana?"
Aku menoleh.
"Masih di kamarnya,"
Iqbal menyilangkan kedua kakinya, tatapan itu sekali lagi mengancamku.
"Nona, apa ada yang mengganggu pikiranmu akhir-akhir ini?"
Aku menggeleng.
"Mungkin teman kelasmu? teman satu angkatanmu? teman mahasiswa? Atau... teman di masa lalumu? oh tidak, bisa jadi teman kamarmu di rumah ini yang terlibat perselisihan denganmu,"
"Aku tidak tahu, aku tidak senang terlibat masalah dengan orang lain," celetukku agar lelaki di sofa itu mendapatkan jawaban.
"Benar itu, lagipun kami sudah lumayan lama mengenal Aster baik di rumah ini atau di kampus, dia pribadi yang baik, bahkan tak sekalipun aku mendapatinya berbuat jelek apalagi melanggar aturan," jelas Jessica memperkuat perkataanku barusan.
"Dia bahkan tidak mau berpacaran," kali ini Rose menerobos topik percakapan. Siku Jessica langsung menyenggol lengan atas si gadis pirang.
"Tapi, bagiku pribadi yang baik di depan tidak lantas membuatnya paling benar, karena seorang penjahat ulung tak akan pernah menampilkan sisi jahatnya," tukas Iqbal dibarengi tatapan elang terpaku padaku.
"Apalagi kertas ini," tangannya mengangkat kertas usang semalam, "dengan tulisan 'pembunuh' tidak bisa kita anggap sepele, dengan kata lain pelaku dari pecahnya kaca jendela ingin menyingkap topeng seorang kriminal, karena batu itu mengarah ke kamar Aster, jadi dalam kasus ini sangat perlu mencurigainya,"
"Tapi mungkinkah ini perbuatan orang iseng tuan detektif?" perempuan tua berbaju kuning panjang itu mempertanyakan kemungkinan lain.
Iqbal menghela nafas cukup keras, bagian belakang tubuhnya menyentuh sandaran sofa.
"Mungkin saja hal itu bisa terjadi nyonya, tapi kami perlu menyelidiki lebih lanjut, presentasenya lima puluh berbanding lima puluh,"
Aku spontan menggigit bibir bawah, si tuan detektif masih berpacu dengan deduksi dan kata-katanya. Telingaku mendadak tuli. Semoga saja semesta tidak menghadiahkan hal buruk lagi pada hidupku.