webnovel

Bab 27. Melihat Reruntuhan Desa Tanaru

Keempat sahabat barunya sontak kaget dan saling berpandangan satu sama lain.

“Tentu, Lenga,”sahut La Lewamori. “Desa itu berada di arah utara dari sini. Jika menggunakan kuda yang cepat larinya, hanya speminum kopi Lenga sudah sampai. Tapi...”

“Tapi kenapa, Lenga?” tanya La Mudu.

“Desa itu tinggal nama dan kisah pilunya saja, Lenga,” jawab La Pabise.

“Ya,” ucap La Mudu, “dari desa itulah saya berasal Lenga semua. Saya dulu adalah bayi dari Ompu Mpore, kepala desanya Desa Tanaru itu. Kedua orang tua saya dan seluruh warga desa dibantai secara sangat keji sebelum desanya diratakan dengan api. Sungguh biadab itu La Afi Sangia!”

Kaget dan pucat La Pabise, La Turangga, La Lewamori, dan La Rangga Jo mendengar cerita sahabat baru mereka yang tampan dan malang itu. Kaget, pucat, juga masing-masing menampakkan wajah heran. Alis mereka saling merapat.

“Ya, kisah biadab dan memilukan itu hingga kini masih saja diceritakan oleh orang-orang tua kami, Lenga,” ucap La Pabise. “Bekas desamu itu sejak peristiwa biadab itu hingga kini tak pernah dibangun lagi. Jangankan untuk membangunnya, untuk melewatinya saja orang-orang pasti mempercepat langkah kaki atau lari kuda mereka.”

“Sebelum kita ke Pulau Sangiang, tolong antar saya ke sana. Saya ingin melihat bekas desa kelahiran saya itu,” pinta La Mudu.

“Tentu, Lenga,” jawab La Pabise, La Turangga, La Jangga Jo, dan La Lewamori nyaris bersamaan.

“Tapi Lenga...,” ucap La Pabise, kemudian, dengan suara ragu.

“Iya, kenapa, Lenga Pabise?”

“Menurut kabar yang beredar, seluruh warga Tanaru tak ada satu pun yang tersisa. Semuanya dibantai, termasuk kedua anak kembar dari sang kepala desa.”

“Benar, seharusnya demikian,” ujar La Mudu, “tetapi rupanya Dewata Agung berkeherndak lain. Saat calon pengasuh dan guruku tiba di desa itu, keadaan itu begitu lengang, mayat bergelimpangan di mana-mana, asap-asap dari sisa bangunan rumah-rumah masih mengepul. Tak ada tanda-tanda kehidupan. Tetapi...di antara tubuh-tubuh mayat yang nyaris setengah gosong, tergolek seorang bayi, saya, yang seolah-olah sama sekali tak tersentuh api. Calon guruku itu mengangkatku dan mencoba denyut nadiku, ternyata saya masih hidup, dan...Yah, begitulah kisahku, Lenga semua. Peristiwa di luar nalar dan nurani kemanusiaan!”

Semuanya tertunduk dan merenung. Sesaat suasana malam pun terasa demikian lengang, sebelum La Pabise dengan nada ragu bertanya, “Berarti...tujuan Lenga Mudu ke Pulau Sangia adalah untuk menuntut balas terhadap La Afi Sangia?”

“Benar, Lenga!” sahut La Mudu dengan tegas. “Tapi Lenga berempat jangan khawatir. Kalian seolah-olah tetaplah pada tujuan kalian. Dan saya pun demikian. Namun satu hal yang pasti, kalian harus merahasiakan hal ini sampai kelak saya sendiri yang akan mengatakannya kepada si manusia iblis itu!”

La Pabise dan ketiga lainnya kembali saling berpandangan. Ada kekagetan yang luar biasa yang tampak di wajah mereka.

“Tapi...apakah Lenga Mudu yakin mampu menghancurkan dia? La Afi Sangia adalah manusia yang sangat sakti dan memiliki ratusan bahkan ribuan anak buah?” bertanya La Rangga Jo.

“Tentu, Lenga,karena guru saya pun meyakinkan saya seperti itu” jawab La Mudu dengan wajah penuh keyakinan. “Dulu beliau pernah dua kali menghancurkan manusia iblis itu dengan ratusan anak buahnya. Dua kali itu guru saya membiarkan mereka hidup karena mereka selalu bersumpah untuk tidak mengulangi lagi perilaku keji mereka. Tetapi setelah tau guru saya menghilang begitu saja dari hiruk pikuk dunia, rupanya jiwa iblis manusia itu kembali memberontak. Bahkan kebiadaban mereka makin menjadi-jadi. Dan terakhir kali guru saya menyaksikan hasil kebiadaban mereka adalah terhadap desa saya dan seluruh warganya itu.”

La Mudu terdiam sesaat sebelum melanjutkan ucapannya, “Jika tujuan kalian adalah harta dan ingin hidup yang sangat layak, maka kalian akan mendapatkannya kelak. Kalian akan mengambil kembali harta orang tua kalian yang pernah dirampas oleh gerombolannya La Afi Sangia.”

Mendengar ucapan La Mudu yang terakhir, mata La Pabise, La Lewamori, La Turangga, dan La Rangga Jo berbinar-binar. Mereka sangat bersemangat. Dan keempatnya pun tanpa diaba-aba serentak bergerak dan memeluk tubuh La Mudu. “Semoga semuanya menjadi kenyataan, Lenga Mudu,”ucap La Pabise menahan haru.

“Pasti rencana itu akan berhasil!” ucap La Mudu tegas. Setelah keempat sahabat barunya kembali di tempatnya masing-masing, ia melanjutkan ucapannya. “Tapi dengan syarat tadi, kalian tetaplah seolah-olah pada tujuan kalian, menjadi calon pajurinya La Afi Sangia. Tentu saya pun akan berbuat serupa. Sebab saya tidak akan melaksanakan tujuan saya dengan secara gegabah. Saya akan menggunakan siasat dan waktu yang tepat. Dan kalian harus merahasiakan semua rencana ini. Jika tidak, bisa jadi kalian benar-benar akan menjadi pajurit-nya La Afi Sangia, yang berarti akan menjadi manusia-manusia yang benar-benar tak berguna bahkan terhadap diri kalian sendiri. Ingat itu!”

“Baiklah, Lenga!” ucap La Pabise, La Turangga, La Lewamori, dan La Rangga Jo hampir bersamaan.

Lalu kelimanya pun slaing berpelukan satu sama lain.

***

Keesokan harinya, bila mentari sudah sepenggalan naik, La Mudu dan keempat sahabatnya telah memacu kuda tunggangannya masing-masing ke arah utara. Ia mengajak serta Meilin. Gadis cantik bermata sipit berkulit putih halus itu menunggang kudanya sendiri berdampingan dengan kuda tunggangan La Mudu. Kuda yang dipakai oleh La Mudu pun adalah seekor kuda berbulu coklat milik Baojia. Laki-laki itu memiliki beberapa ekor kuda tunggangan di kandangnya yang berada di kebun yang berada di kebun belakang rumah yang ditempati oleh La Mudu dan keempat sahabatnya.

Bagi orang Pulau Sumbawa dan Dana Mbojo khususnya kala itu, kuda adalah binatang ternak yang wajib dimiliki hampir setiap keluarga karena merupakan binatang tunggangan maupun untuk kuda beban. Kuda dari negeri ini terkenal tangguh dan lincah walaupun posturnya agak kecil dibandingkan dengan kuda dari negeri lain.

Ada empat jenis kuda menurut kegunaannya, yaitu kuda beban, kuda tunggangan, kuda pacu, dan kuda perang. Untuk jenis kuda Bima (jara Mbojo) terakhir kala itu sangat terkenal sehingga banyak diimpor (jika menggunakan istilah zaman sekarang) oleh kerajaaa-kerajaan lain sebagai kuda perangnya, termasuk oleh kerajaan-kerajaan besar di Tana Jawa seperti Kerajaan Kediri, Singosari, hingga Kerajaan Majapahit. Ada pun kuda-kuda yang ditunggangi oleh kelima pemuda dan Meilin pagi itu adalah jenis kuda tunggangan biasa yang berpostur gagah dengan bulu mengkilap. Meilin sendiri menunggangi kudanya sendiri yang berbulu putih bersih dengan bulu ekor yang sangat panjang menjurai.

Seperti keterangan La Lewamori semalam, lebih kurang sepeminuman kopi, mereka pun telah sampai di tempat yang tuju, di bekas perkampungan Tanaru. Bekas perkampungan itu terletak di pesisir pantai timur, berhadapan langsung dengan Pulau Sangiang, dan terletak agak jauh dengan perkampungan-perkampungan tetangganya. Kondisinya telah ditumbuhi oleh semak belukar dan berbagai pepohonan yang cukup besar-besar.

Keenam penunggang kuda tidak langsung masuk ke dalam bekas pemukiman yang telah mengalami nasib yang demikian tragis itu, melainkan berdiri berjejer di jalan yang melintas di depannya. La Mudu memandang seolah tanpa berkedip ke bekas tanah tempat di mana ia dulu dilahirkan oleh ibunya yang tak sempat ia tatap wajahnya. Entah apa yang berkecamuk dalam pikirannya. Namun yang jelas, dari raut wajah dan jakunnya yang selalu naik turun, ada perasaan sakit dan terluka dalam ruang batinnya, dan tentu saja dendam yang berkobar dan membakar mengusai jiwanya. Namun demikian, ia mencoba untuk menelan kegetiran itu, lalu tetap menunjukkan sikap yang tenang.

次の章へ