Di Bar Ninety...
Mereka berenam sudah sampai dan mereka semua keluar dari mobil. Viktor berjalan lebih dulu untuk memimpin operasi diikuti Andrew, Ramon, Reni, Haris dan Adit. Sesampainya di depan pintu bertemu dengan kedua penjaga yang berbadan besar yang melarang mereka masuk.
"Maaf Pak bar sudah penuh sekarang! Mungkin kalian bisa datang besok," ucap pria di sebelah kiri dengan nada tegas.
Viktor lanjut menunjukkan kartu identitasnya sebagai pihak dari berwajib kepada mereka. "Kalian sudah lihat kan! Jadi biarkan kami masuk," ucap Viktor lalu melangkah menyingkirkan mereka dari hadapannya dan masuk ke dalam bar diikuti anak buahnya.
Kedua pria berbadan besar itu dengan terpaksa menyingkir dari pintu membiarkan mereka masuk ke dalam dengan wajah tak enak. Haris yang berada paling belakang meledek kedua pria besar itu dengan mengangkat tangannya lalu dekatkan dengan lehernya lalu seolah dia mencontohkan akan menggorok leher mereka.
"Mau mati kau." Gerakan bibir Haris menatap tajam lalu melanjutkan perjalanannya untuk masuk mengikuti mereka.
Mereka semua menuruni tangga untuk masuk lebih dalam lagi, melihat semua orang sedang berjoget dengan musik yang sangat kencang, dan lampu gemerlap sekali kelap-kelip membuat mereka sedikit pusing. Kecuali Ramon dan Adit yang tak dirasa oleh mereka mulai menggerakkan tangannya untuk berjoget.
"Apa yang harus kita lakukan sekarang Komandan?" teriak Andrew sambil Viktor yang sedang melihat ke sekeliling orang-orang yang sedang pesta miras. "Pak Viktor!" panggil Andrew sambil menepuk bahunya dan dilihat oleh keempat rekannya.
"Aku, kau dan Ramon akan pergi ke ruang bawah tanah, sedangkan kalian sisanya berjaga di sekitar. Takut kalau mereka kabur lewat sini ya," perintah Viktor melihat semua anak buahnya lalu berbalik mulai berjalan lalu pergi diikuti oleh Andrew dan Ramon yang berjalan berdampingan.
Haris, Adit dan Reni mulai mengatur posisi untuk siaga. Lalu Reni memiliki ide untuk posisi dengan meminta Haris dan Adit mengikuti sarannya itu.
"Haris lebih baik kau berjaga saja di tangga itu, sedangkan Adit kau di seberang itu. Jadi kalau mereka kabur kita pasti akan segera menangkapnya," ucap Reni memberitahu mereka.
Haris menatap sinis Reni. "Aku juga tadinya mau mengatakan itu, tapi kau keburu mengambil ideku," Haris berbalik pergi untuk kembali ke tangga yang dia turuni tadi.
"Sudah jangan terlalu diambil hati, mungkin dia sedang lelah," Adit tersenyum melihat Reni dengan wajah yang tak enak ditegur oleh Haris.
"Hm,,, aturlah posisimu. Aku baik-baik saja," jawab Reni tersenyum tipis melihat Adit.
Adit pun berbalik pergi untuk berjaga di seberangnya. Reni masih memikirkan soal Haris yang sinis padanya. Seolah sangat tidak menyukainya.
"Ada apa sih dengannya! Jelas-jelas aku dulu yang berbicara. Jadi kenapa dia yang berkata seperti itu, seolah ini aku sudah merebut perkataannya," gerutu kesal Reni sambil melihat banyaknya orang-orang yang lalu lalang, berjoget ria dengan minuman yang ada ditangannya.
Di ruang bawah tanah sebagai tamu VIP Ardi dengan memakai setelan kemeja dengan kancing dibuka satu sedang satu meja bersama dengan keempat anak buahnya. Asep, Juwita, Bayu, dan Bambang.
"Jadi Nino sudah ditangkap oleh polisi?" tanya Ardi dengan mata terbuka lebar menatap tajam keempat anak buahnya.
"Iya Bos, sepertinya mereka memulai operasinya lagi untuk menangkap jaringan Narkoba." Juwita sambil menghisap asap rokoknya.
"Ya sudah...." perkataan Ardi terpotong saat sekretarisnya membisikkan sesuatu ditelinganya.
"Ada polisi sedang mengintai kesini, sebaiknya kita sekarang pergi," ucap sekretaris itu lalu mundur selangkah menjauhi Ardi.
Di depan pintu sebelum masuk ke dalam ruang bawah tanah. Mereka bertiga dihadang masuk, dengan alasan di dalam hanya diperbolehkan untuk tamu VIP saja. Kedua pria bertubuh besar dengan memakai earphone di satu telinga kirinya.
"Maaf kalian dilarang masuk! Ini hanya untuk pelanggan VIP saja," ucap salah satu pria dengan tahi lalat di bawah bibirnya.
"Kami polisi! Menyingkirlah dari hadapanku, kalau tidak kalian akan menyesal!" Viktor menatap tajam kedua pria besar itu.
Pria satunya mendengar sesuatu perintah yang didengarnya melalui earphone, tanpa pikir panjang mereka membiarkan para petugas ini masuk ke dalam.
"Biarkan saja mereka masuk!" perintah yang didengar melalu earphone lalu melihat satu rekannya tadi sambil mengangguk satu kali.
"Silakan masuk kalau begitu," sahut pria satunya kepada mereka.
Dengan cepat Viktor masuk diikuti Andrew dan Ramon, mereka menuruni tangga dengan cepat. Saat sampai mereka melihat sekeliling orang yang sedang minum miras, tapi tak melihat target yang mereka cari.
"Sepertinya mereka sudah kabur," ucap Ramon tersenyum kecut sambil melangkah mencari jalan keluar. "Lihat disana ada pintu keluar," Ramon menunjuk lalu berlari menyusuri lorong kecil menuju pintu keluar diikuti dengan Viktor dan Andrew.
Di luar Ardi membuka pintu belakang mobilnya. Sebelum pergi mereka berpesan untuk keempat anak buahnya.
"Kalian hati-hati dan jangan sampai tertangkap!" Ardi masuk ke dalam mobilnya dan menutup pintunya kembali.
Setelah Ardi pergi mereka berempat masuk ke dalam mobil hitam dengan Asep sebagai pengemudinya dan pergi meninggalkan tempat. Ramon yang melihat mobil hitam itu, mempercepat lagi larinya untuk mengejarnya begitu pun Viktor dan Andrew ikut berlari mengejar di samping Ramon. Namun mobil hitam itu melaju sangat cepat, sehingga mereka bertiga memutuskan untuk berhenti mengejar.
"Sudah... Sudah... Lebih baik kita kembali, untuk mengecek pelat mobil itu," ucap Viktor dengan nafas yang tersengal-sengal melihat Andrew dan Ramon yang sama dengannya.
"Mereka benar-benar sialan!" teriak Ramon sambil m membuang nafasnya yang terengah-engah kelelahan mengejar mereka.
Andrew yang diam saja memendam rasa kesal yang ada di hatinya. Namun tiba-tiba ponselnya berdering panggilan dari Sonia yang babak belur wajahnya dengan rambut yang berantakan dia duduk di emperan minimarketnya.
"Andrew tolonglah aku," ucap Sonia sambil tersenyum sedih merapikan rambutnya ke belakang.
"Ada apa denganmu? Kenapa suaramu seperti sedang habis menangis?" tanya Andrew cemas sambil berjalan di belakang Viktor dan Ramon untuk kembali menemui yang lainnya.
"Aku habis... Wajahku, rambutku! Ahhh!' teriak Sonia dengan kesal. "Cepatlah kemari! Aku tidak berani naik angkot dengan keadaan seperti ini!" pinta Sonia mengeluh kepada Andrew.
"Ya sudah tunggu disana.! Aku akan segera kesana menjemputmu ya! Jangan kemana-mana nanti aku akan cemas," jawab Andrew dengan nada berbisik tak enak didengar Viktor dan Ramon.
"Iya, cepat aku sudah sangat kesakitan," Sonia lalu mematikan panggilannya.
Dia memasukkan kembali ponselnya ke dalam tas, sambil mengambil kaca kecil melihat lebam di bagian wajahnya lalu merengek dengan wajah yang menakutkan baginya.
"Astaga ini wajah manusia apa hantu! Bahkan hantu tidak ada yang menakutkan seperti ini," Sonia sedih melihat wajahnya di kaca.