Setelah kejadian canggung tadi malam, aku pun tidur di kamar Steven. Sedangkan Melissa tidur sendirian dikamarku. Sebelum tidur, aku terlebih dahulu mengirimkan pesan singkat ke nomor David. Berharap agar dia membalasnya besok pagi.
23:58 - Rama : Lo ada masalah apa sama Dipa & Yudha?
Besok paginya, yang pertama kali kupikirkan saat membuka mataku adalah pesan yang telah kukirim kemarin malam. Aku langsung mengambil handphoneku yang berada diatas meja, lalu membuka kotak pesan.
02.10 - David : Emangnya lo siapa? Lo tau dari mana gw punya masalah sama mereka?
Tanpa berpikir panjang, aku langsung membalas pesannya.
07.15 - Rama : Kita ketemuan di gang, tempat dimana lo bonyok kemarin."
Selagi menunggu balasan pesannya, aku memutuskan untuk pergi mandi terlebih dahulu. Setelah puas membersihkan noda-noda yang ada ditubuhku, aku memakai handuk lalu pergi keluar dari kamar mandi.
Aku mengecek handphoneku lagi, tapi balasan dari David ternyata belum tiba. Sepertinya dia masih tidur, pikirku. Oleh karena itu, aku memutuskan untuk membeli sarapan dulu.
Saat keluar dari kost, aku mulai menghirup dan menikmati udara pagi yang segar. Bersyukur akan semua yang kumiliki saat ini. Semoga rencana yang kususun hari ini bisa berjalan sesuai ekspektasiku.
Sesudah membeli sarapan di warung sekitar, aku langsung kembali pulang kekost. Aku mengetuk pintu kamarku, berusaha untuk membangunkan Melissa. Tapi tak ada balasan dari dalam, sepertinya dia masih butuh banyak istirahat, sebab aku merasa itu salah satu efek dari tekanan mental yang dialaminya.
Jadi aku memutuskan untuk meletakkan sarapan yang kubeli di sofa kostku, lalu mengirim pesan ke nomor Melissa agar mengambil sarapan yang telah kubeli setelah dia bangun nanti.
Selagi menunggu balasan dari David, aku memutuskan melakukan meditasi untuk mengisi kekosongan waktuku. Aku mengambil posisi bersila diatas kasur Steven, lalu memejamkan kedua mataku. Kutarik nafasku dalam-dalam, lalu kuhembuskan perlahan dalam tiga kali putaran.
Setelah tubuhku sudah terasa mulai rileks, aku melanjutkan meditasiku dengan memperhatikan dan memusatkan kesadaranku pada siklus keluar masuknya nafasku.
Perlahan demi perlahan, aku merasa nafasku semakin panjang dan halus. Aku merasa pikiranku yang tadinya bergerak liar, mulai diredam oleh keheningan. Seluruh tubuhku juga mulai terasa ringan dan nyaman, bagaikan tak memiliki beban.
Aku dapat merasakan energi yang masuk ke tubuhku dari segala sisi. Bagaikan pusat pusaran energi, aku merasa energi disekelilingku sedang mengitari tubuhku serta secara perlahan menyatu kedalam diriku.
Getaran demi getaran yang dihasilkan energi tersebut bagaikan setruman listrik yang sedang menyengat sekujur tubuhku. Tapi aku mencoba untuk menghiraukannya, dan berusaha untuk tetap tenang agar dapat menyerap semua energi itu se-efisien mungkin.
Aku berusaha untuk tetap mempertahankan kesadaranku pada pernafasan. Hingga tak tahu sudah berapa lama, perhatianku perlahan buyar akibat ketukan keras dari pintu kamar.
"Tok...Tok...Tok...."
Suara itu berulang berkali-kali, hingga akhirnya memutuskan untuk menyelesaikan meditasiku. Aku membuka kedua mataku yang terpejam, lalu beranjak dari kasur dan membuka pintu kamar.
Tampak Melissa dengan raut wajah yang khawatir, lalu dengan cepat dia langsung berkata, "Kamu lagi ngapain sih Ram? Dari tadi aku gedor-gedor ga ada jawaban. Aku kira kamu kenapa-kenapa tau."
"Ha? memangnya kamu udah berapa lama gedor pintunya Mel?" tanyaku bingung, karena aku merasa baru saja mendengar ketukan pintunya.
"Ada sepuluh menit kali Ram, emangnya kamu lagi ngapain aja di dalam Ram?." ucap Melissa dengan raut wajah curiga.
Spontan aku langsung mengecek jam di layar ponselku, tampak jam yang sudah menunjukkan angka 08.35. Tak terasa, ternyata aku sudah bermeditasi sekitar satu jam.
"Cuma meditasi doang kok Mel." jawabku
"Meditasi? Sejak kapan kamu Meditasi Ram?" tanya Melissa heran.
"Udah beberapa bulan ini sih. Lumayan buat hilangin penat." jawabku sambil tersenyum kecil.
"Omong-omong, kamu udah makan belum Mel?" tanyaku balik
"Barusan aja Ram, takut keburu dingin makanannya." jawab Melissa
Selagi mengobrol dengan Melissa, aku mengecek kotak pesan di ponselku, dan ternyata David sudah membalas pesanku.
08.02 - David : Lo mau ngajak ribut lagi?
08.05 - David : Atau jangan-jangan lo dibayar sama mereka berdua?
08.40 - Rama : Gw bukan temen mereka, yang penting lo datang ke lokasi yang gw bilang tadi.
08.41 - Rama : Gw tunggu lo disana.
Setelah membalas pesan dari David, aku langsung mengganti pakaianku dan pamit pergi kepada Melissa.
"Emangnya kamu mau kemana Ram?" tanya Melissa.
"Mau ngurus sesuatu bentar." jawabku tak jelas.
Melissa melirikku dengan tatapan curiga, lalu bertanya "Aku ikut ya?"
"Nggak usah Mel, soalnya gw mau ketemu sama cowok disana." ucapku dengan cepat.
"Ketemu sama cowok..." ucap Melissa dengan nada yang ambigu serta ekspresi wajah yang aneh.
"Jangan mikir yang aneh-aneh Mel." ucapku sambil menoyor dahinya dengan jari telunjukku.
"Habisnya kamu ngomongnya aneh gitu sih, hahaha." balas Melissa sambil tertawa.
"Aku masih normal kali, bukan homo." ucapku lalu menggelengkan-gelengkan kepalaku.
"Makanya ada barang di lemari itu ya." ejek Melissa sambil tersenyum jahil.
"Eh... itu mah Steven yang naro disitu waktu aku tidur kemarin." ucapku membela diri, sambil berusaha menunjukkan pesan yang dikirim Steven diponselku.
"Iya...iya..." balas Melissa dengan senyuman dan raut wajah tak percaya. Dia bahkan mengabaikan bukti pesan yang kutunjukkan kepadanya.
"Aku pergi dulu deh, nanti aku usahain balik cepet. Kalo bosen, coba nonton film di laptopku aja Mel." ucapku lalu pergi keluar dari kost menuju lokasi yang kukatakan ke David.
Tak memakan waktu yang lama, aku akhirnya sampai di lokasi. Saat berada disana, secara otomatis memori lama yang tersimpan diotakku pun kian berputar kembali. Aku masih dapat mengingat jelas, disaat aku berkelahi dengan fisik untuk pertama kalinya. Walau hasilnya wajahku bonyok duluan, tapi lawanku pada akhirnya harus sampai dirawat di rumah sakit.
Bagiku, tempat ini adalah saksi dari kenangan pahit dan manis yang kualami bersama Adellia. Selagi aku sibuk mereka ulang kejadian yang tersimpan di memoriku, tiba-tiba muncul mobil hitam yang melaju ke arahku, yang sedang berdiri di pinggir jalan, didepan sebuah rumah kosong.
"Mau ngomong apa lo?" ucap David yang baru keluar dari mobilnya. Dia berdiri didepanku sambil menatapku dengan was-was.
Aku melirik mobilnya dan melihat ada beberapa orang yang sedang memandangiku dari dalam. "Ada berapa orang tuh di dalam?" tanyaku sambil tersenyum.
"Mau lo itu apa sebenarnya?" tanya David dengan kesal.
"Lo punya masalah apa sama dua orang itu?" tanyaku balik
"Sebenarnya lo tau dari mana kalo gw bermasalah sama mereka?" ucap David, dia tampak was-was dan mencoba berusaha menggali informasi dariku.
"Gw liat sendiri, lo berantem sama mereka kemarin." balasku datar.
David diam sesaat, ekspresinya tampak kurang percaya saat mendengar balasanku.
"Terus, lo punya hubungan apa sama mereka?" tanya David masih dengan penuh kecurigaan.
"Gw musuh mereka." jawabku singkat.
"Musuh..." gumam David pelan.
"Kenapa lo sampe ngeroyok mereka kemarin?" tanyaku serius.
David terdiam sejenak, lalu berkata, "Lo ga perlu tau masalah gw." jawabnya mencoba untuk menghindar.
Aku hanya tersenyum melihat responnya yang sangat kentara, bahwa dia sedang berusaha menyembunyikan sesuatu.
"Masalah cewek ya?" tanyaku
David langsung melirikku dengan tajam, tubuhnya juga sedikit bergetar. Jika kuperhatikan, ekspresi dari wajah dan gerak geriknya tampak terkesan gugup. Dari reaksi yang ditunjukkannya, sepertinya aku telah berhasil menebak masalahnya.
"Cewek itu, termasuk orang penting di hidup lo ya?" tanyaku.
"Gausah sok tau lo." ucap David marah, "Mau lo sebenarnya apa sih? Jangan banyak basa-basi deh." lanjutnya sambil menatapku tajam.
"Dia termasuk salah satu korban dari Dipa sama Yudha ya?" tanyaku lagi, tak menghiraukan amarahnya.
David langsung meraih kerah bajuku, lalu dia membentakku dengan berkata, "Lo tau dari mana b*ngsat!"
Aku tetap tenang dan menatapnya dengan datar, "Lo ga perlu tau, yang penting mulai saat ini, gw bisa bantu lo buat nangkep mereka." ucapku dengan percaya diri.
David menatapku heran, lalu perlahan melepaskan cengkeramannya dari kerah bajuku, "Lo punya masalah juga sama mereka?" tanya David penasaran.
"Gw mau bantu temen." jawabku dengan datar dan singkat. Aku berusaha untuk merahasiakan informasi tentang Melissa dan Rara darinya.
"Emangnya lo punya cara apa buat ngebantu gw?" tanya David pelan, tampaknya kecurigaan yang dimilikinya sudah mulai berkurang.
"Lo punya temen atau kenalan yang dekat sama Dipa dan Yudha gak?" tanyaku.
David diam berpikir sejenak, lalu menjawabku dengan enteng, "Punya, terus hubungannya apa? Lo mau mata-matain mereka gitu? Kalo itu mah, dari kemarin-kemarin juga gw udah nyuruh mereka."
"Mulai besok, coba laporin kondisi mereka berdua ke gw. Kalo bisa perhatiin lebih detail, apa ada perbedaan dan keluhan yang mereka alami." jelasku.
"Emangnya lo butuh itu buat apa?" tanya David.
"Lo ga perlu tau itu, yang penting lakuin aja apa yang gw omongin mulai sekarang." jawabku tegas.
David menatapku penuh curiga, sebab sejak tadi aku tidak memberikan jawaban dan alasan yang pasti kepadanya. Tetapi aku dapat memakluminya, sebab sebenarnya aku juga sengaja melakukannya, karena aku tak ingin berada pada posisi pihak yang lebih lemah dalam bernegosiasi. Jadi aku lebih memilih untuk bersikap lebih superior didepannya.
"Itu aja?" tanya David dengan bingung.
"Kelanjutannya entar bakal gw kabarin lagi." balasku "Tapi, kalo semuanya sesuai rencana gw." gumamku pelan.
"Tapi lo ga perlu bawa-bawa gituan juga kalo mau ketemu gw." ucapku sambil melirik belakang David. Sebab disana, aku melihat gumpalan bayangan hitam pekat yang berusaha bersembunyi dibalik tubuh David, tetapi matanya yang merah mencolok itu masih dapat terlihat olehku.
David tampak terkejut, lalu dia pun kembali menatapku dengan was-was. Dari raut wajahnya, sepertinya dia memahami dari apa yang kumaksud.
"Itu aja yang mau gw omongin, gw pergi dulu." ucapku santai lalu pergi meninggalkan lokasi itu.
David hanya diam memandangiku dengan tatapan yang aneh. Sepertinya dia masih berusaha menelaah semua yang kukatakan barusan. Sebab semua yang kukatakan itu terlalu simple untuk bisa membantunya.
Tetapi aku tak terlalu memperdulikan apa yang dipikirkannya, sebab tahap pertama dari rencanaku sudah berhasil. Saatnya untuk melanjutkan ke tahap kedua, ucapku didalam hati.
Selagi aku berjalan menuju kost-an, aku mulai memanggil pasukan demit yang selama ini bersemayam disekitar kost-anku.
"Pasukan Umbra, datanglah." ucapku dalam batin.
Mereka kuberi nama Umbra, yang artinya adalah bayangan inti yang menutupi bumi saat terjadinya gerhana matahari. Aku memberi mereka nama itu sebab mereka pada dasarnya adalah makhluk dengan energi yang gelap, yang selama ini hidup bersembunyi dibalik bayangan.
Tetapi aku tak hanya memanggil mereka saja, aku juga tak lupa memanggil Lala untuk hadir di sisiku.
"Apa rencana yang kemarin kukatakan sudah jelas?" tanyaku dalam batin.
"Sudah tuan." jawab siluman ular bersisik hijau sebagai perwakilan pasukan Umbra.
Sedangkan di sisi lain, Lala hanya menatapku lalu mengangguk pelan, sebagai tanda bahwa dia mengerti.
"Laksanakan sesuai rencana." perintahku.
Seketika semua pasukan Umbra dan Lala menunduk ke arahku, lalu kemudian menghilang sekaligus tanpa jejak.
Bersambung...