Disepanjang perjalanan pulang menuju Jakarta, suasana di dalam mobil terasa sangat canggung. Tidak ada percakapan akrab yang terjadi diantara kami semua. Berbanding terbalik jika dibandingkan dengan suasana saat perjalanan sebelumnya, yang penuh akan tawa dan canda.
Aku masih belum bisa melupakan ciuman yang kulakukan dengan Adellia didepan pintu kamar. Sejak saat itu, aku dan Adellia saling menghindar satu sama lain. Oleh sebab itu aku memaksa duduk dikursi depan untuk menghindari interaksi dengannya. Tanpa bisa menikmati perjalanan, waktu empat jam yang kami tempuh terasa sangat lama dan membosankan.
Liburan selama tiga hari itu benar-benar berada diluar ekspektasiku. Mulai dari memori awal liburan yang indah berubah menjadi memori buruk bagi kami semua. Sejujurnya aku merasa bersalah, karena aku adalah penyebab dari situasi canggung ini. Jadi, aku berniat untuk meminta maaf kepada Riska dan Steven setelah suasana lebih membaik.
Sesampainya di Jakarta, Steven masih harus mengantarkan Adellia,Melissa dan Jessica pulang terlebih dahulu. Kebetulan kost-an Adellia dekat dengan lokasi kost-an kami berdua, jadi kami memutuskan untuk mengantarkan Melissa dan Jessica duluan. Tak membutuhkan waktu yang lama akhirnya kami selesai mengantarkan mereka dan langsung memutuskan untuk kembali menuju kost bersama Adellia.
Begitu kami sampai didepan kost, Adellia langsung bergegas turun.
"Makasih ya Ven." ucap Adellia
"Iya santai aja, omong-omong habis ini lo mau pulang kampung Del?" tanya Steven
"Iya Ven, soalnya kemaren udah janji sama orangtua gw." jawabnya
"Jadi lo baliknya sendiri ke surabaya?" tanya Steven dengan penasaran
"Nggak, gw bareng sama mas Ilham kok." ucapnya pelan sambil melirik kearahku.
"Ohhh, yaudah hati-hati kalo gitu Del. Sampai ketemu lagi semester depan." balas Steven sambil melirikku juga.
Sepertinya mereka berdua berharap agar aku ikut merespon perkataan mereka. Tapi sayangnya aku tak berniat untuk melakukannya, sebab mendengar nama Ilham saja sudah membuatku muak.
"Iya Ven, makasih ya. Gw duluan dulu kalo gitu." ucapnya dengan senyum kecil lalu pergi menuju arah kost-annya.
Aku hanya bisa memandangnya yang perlahan pergi menjauh dariku. Mungkin ini akan menjadi hari terakhir bagi kami berdua untuk berjumpa di tahun ini. Sebuah perpisahan yang diakhiri dengan tanpa kata-kata.
"Lo gapapa Ram?" tanya Steven dengan serius
"Gw gapapa kok, emangnya kenapa?" balasku dengan singkat.
"Dari ekspresi lo aja udah keliatan kok Ram, kalo lo lagi ada masalah." ucap Steven
"Hmmm, kayaknya gw cuma butuh waktu sendiri aja Ven." balasku
"Yaudah, tapi lo yakin ga mau ngomong sama Adel sebelum dia balik?" tanya Steven perlahan
"Hmmmmm.... Ntar gw pikirin dulu deh." ucapku setelah mengalami keraguan dalam beberapa detik.
"Jangan sampe nyesel Ram." ucap Steven sambil menepuk pundakku lalu pergi masuk kedalam kamarnya.
Ucapan Steven terasa sangat menusuk bagiku. Sebenarnya aku juga ingin berbicara serius dengan Adel, tetapi ego didalam diriku berhasil menghentikanku. Lagi dan lagi aku masih kalah dan menjadi budak bagi ego yang ada didalam diriku.
Saat didalam kamar, aku hanya berbaring dan melamun, menatap kosong ke langit-langit ruanganku. Terbesit dibenakku, sepertinya aku harus membenahi diriku terlebih dahulu. Sebab, mungkin saja Adellia menolakku karena diriku yang tidak menarik dan tidak memiliki kemampuan yang mumpuni. Hingga perlahan-lahan aku mulai merasa rendah diri kembali, dikarenakan efek penolakan dari Adellia.
Seperti dugaanku dulu, setelah mengungkapkan perasaanku yang sebenarnya, hubunganku dengan Adellia pasti akan menjadi canggung. Aku tak tahu harus merasa menyesal atau merasa lega setelah mengungkapkan perasaanku yang sesungguhnya. Aku hanya bisa berbaring diatas kasur dengan perasaan yang campur aduk.
Hingga tiba-tiba muncul suara Lala yang berhasil mengejutkanku.
"Jangan berlarut-larut di dalam keraguan." ucap Lala
"Duh, kalo bisa munculnya jangan tiba-tiba dong." ucapku spontan
Lala hanya diam tak menghiraukan ucapanku, dia hanya memandangku dengan tatapan tenangnya.
"Hmmmm, sebenarnya aku mau minta maaf karena jarang berkomunikasi dengan kalian." ucapku pelan
Lala tidak meresponku, dia tetap berdiri diam memandangku. Hingga perlahan-lahan tampak muncul senyuman manis dibibirnya. Sepertinya dia senang mendengar ucapanku.
"Apa tidak apa-apa jika aku memanggilmu hanya untuk berbicara dengan santai?" tanyaku sambil memperhatikan ekspresi wajahnya.
Lala mengangguk kecil dengan senyuman manis yang masih menempel dibibirnya.
"Kalo boleh tau, apa saja kegiatan yang kamu lakukan dialammu?" tanyaku penasaran
"Aku hanya berdiam diri ditempat kita pertama kali berjumpa." jawabnya
"Hanya diam tanpa melakukan apa-apa?" tanyaku dengan heran
Lala mengangguk sebagai tanda membenarkan ucapanku. Sebenarnya aku kasihan dengan Lala, sebab aku merasa dia masih dihantui oleh bayang-bayangan tuannya yang terdahulu. Dia masih belum bisa melepas kenangan buruk dan keterikatan diantara mereka berdua.
"Apa kamu tidak bosan sendirian disana? Bagaimana kalau kamu berada di sisiku saja?" tanyaku perlahan
Mendengar ucapan dariku, Lala langsung merespon dengan anggukan cepat sambil tersenyum dengan lebar. Raut wajahnya tampak sangat bahagia, mungkin dia sudah menunggu-nunggu ajakanku dari dulu. Tapi apa daya aku masih tidak peka akan perasaan dan situasi dirinya. Sejak saat itu, aku mulai sadar akan pentingnya komunikasi dengan entitas yang mengikutiku.
Aku akhirnya memahami, bahwa mereka juga memiliki perasaan layaknya seorang manusia. Mereka juga memiliki kehidupan di alamnya masing-masing. Aku mulai menyadari kesalahanku yang hanya memanggil mereka jika dibutuhkan saja. Padahal seharusnya aku menganggap mereka seperti seorang teman, dimana aku bisa saling berbagi kebahagiaan maupun kesusahan.
Selama ini hubungan kami hanya berada di sebatas kebutuhan dan kepentingan saja. Aku merasa menyesal telah memperlakukan mereka dengan tidak sepantasnya. Oleh karena itu aku berniat untuk memperlakukan dan memahami mereka dengan lebih baik lagi.
Beberapa saat setelah aku berkomunikasi dengan Lala, aku mulai merasa kehabisan topik. Sebab pada dasarnya aku bukanlah orang yang banyak berbicara, jadi biasanya orang lain yang bertanya kepadaku. Perlahan aku menjadi merasa canggung, sebab Lala selalu berada di sisiku sambil memandangiku.
Mau tak mau aku harus menonaktifkan mata ketigaku, agar tidak merasa risih saat melakukan aktivitasku. Pada malam itu, aku sibuk mencari informasi mengenai pelatihan tentang supranatural melalui internet. Dengan serius, aku mulai menjelajahi dari website, forum, hingga sampai ke sosial media.
Jika mengingat pertarungan ghoibku dengan Ilham, aku ingin melatih diriku dengan lebih serius lagi. Disaat itu, aku belum bisa menggunakan keilmuan atau senjata apapun untuk membantu teman ghoibku. Oleh karenanya, aku harus mencari dan belajar dari seorang guru ataupun ahlinya. Karena aku berharap disaat kami bertemu lagi, aku bisa membuatnya bertekuk lutut dihadapanku. Aku ingin melihat wajahnya yang sombong berubah menjadi wajah yang mengemis ampunan dariku.
Entah kenapa asal mendengar atau mengingat sesuatu yang berhubungan dengan Ilham, aku merasa sangat kesal dan marah. Emosiku mulai muncul dan itu jelas membuat moodku menjadi jelek. Mungkin ini yang dimaksud dengan perasaan dendam, sebab aku merasa emosi negatif asal berpikiran tentangnya. Tapi itu menjadi sebuah motivasi bagiku untuk mengembangkan kemampuan supranaturalku, dengan semangat aku melanjutkan penjelajahanku melalui internet.
Setelah berjam-jam aku menjelajahi internet, aku mencoba untuk menghubungi beberapa praktisi yang berada di Jakarta. Hingga beberapa saat kemudian, dari beberapa praktisi yang kuhubungi, ada salah satu praktisi yang menjawab pesanku. Aku mencoba bertanya mengenai beberapa hal supranatural untuk mengetahui lebih dalam tentang dirinya, dan pastinya untuk memastikan apa dia benar-benar seseorang paranormal yang terpercaya.
Hingga pada akhirnya dia menyuruhku untuk datang ke lokasi dan mengikuti kopi darat alias kopdar di suatu cafe bersama beberapa orang lainnya. Kebetulan beberapa minggu lalu, mereka sudah merencanakan untuk bertemu dalam tiga hari lagi. Aku cukup tertarik akan ajakannya, tetapi pertama-tama aku langsung menanyakan mengenai biayanya. Sebab aku sadar akan kondisi finansialku, aku hanya seorang mahasiswa yang masih bergantung akan pemberian dari orangtua. Untungnya, dia tidak meminta tarif biaya apapun, dia hanya akan memberikan tarif jika aku memaharkan salah satu jasanya.
Tanpa berpikir panjang, aku langsung menerima ajakannya. Sebab aku merasa apa yang dikatakannya rata-rata logis dan masuk akal bagiku. Penjelasannya juga masih dapat kumengerti dengan mudah. Semakin lama aku berkomunikasi dengannya, aku merasa semakin berharap banyak dari pertemuan kami nanti.
Hingga tak terasa, jam di layar handphoneku sudah menunjukkan angka tiga. Aku tak menyangka telah menghabiskan banyak waktu didepan layar laptopku sejak tadi. Karena sudah larut malam, aku memutuskan untuk langsung berbaring dan tidur diatas kasurku. Tak membutuhkan waktu yang lama, aku mulai tertidur dengan lelap. Mungkin tubuhku masih terasa lelah dikarenakan efek perjalanan pulang dari liburan di Bandung.
Saat aku terbangun dari tidurku, aku merasakan suasana yang sangat sepi dikostku. Tidak ada suara ribut dari aktivitas penghuni kost lainnya, sebab sepertinya mereka sudah pulang ke kampungnya masing-masing. Suasana sepi ini berhasil membuatku diam termenung, dan entah kenapa aku menjadi memikirkan tentang Adellia.
Aku ingin mendengar suara khasnya dan memandang wajahnya secara langsung. Perlahan aku mulai menyadari, bahwa Adellia sebenarnya tidak melakukan kesalahan. Sebab dia berhak untuk menolak pengakuanku, yang sebenarnya menjadi sumber masalah adalah diriku sendiri. Aku masih bersifat kekanak-kanakan, dan tidak bisa menerima kenyataan yang sesungguhnya.
Pikiran yang jernih akhirnya membuatku tersadar akan kesalahanku. Oleh sebab itu aku pun berniat untuk menemui Adellia secara langsung. Saat aku mengecek jam dihandphone, ternyata saat itu sudah jam tiga sore. Aku tak menyangka aku telah tidur hampir seharian, tanpa berpikir panjang aku langsung cepat bergegas mandi. Sehabis mandi, aku berencana untuk menemui Adellia dikostnya.
Tak memakan waktu yang lama, akhirnya aku selesai mandi dan langsung bergegas pergi menuju depan kost Adellia. Saat disana, aku melihat kondisi sekitar yang sangat sepi. Disana, tidak ada satupun orang yang kelihatan atau sekedar lewat saja. Aku tidak langsung masuk karena rasanya tidak sopan jika masuk ke kost-an wanita tanpa izin.
Tak terasa, sudah belasan menit berlalu tetapi masih saja tak ada orang yang kelihatan. Akhirnya aku memutuskan untuk mengirimkan pesan kepada Adellia. Setelah menunggu balasan pesan darinya hingga kurang lebih dua puluh menit, Adellia masih tak kunjung membalas pesanku.
Untungnya beberapa saat kemudian, ada seorang wanita yang keluar dari pintu kost-an. Tanpa berpikir panjang, aku langsung menanyakan tentang keberadaan Adellia.
"Maaf mbak, bisa numpang nanya gak?" tanyaku dengan sopan
"Oh, bisa. emangnya mau nanya apa ya?" balasnya
"Adellianya ada didalam kost-an gak mbak?" tanyaku
"Hmmm, kemarin sih ada. Tapi hari ini aku gak nggak ngeliat dia nongol tuh." jawabnya ramah
"Ohh, bisa bantu buat ngecek sama panggilin dari kamarnya nggak mbak?" tanyaku dengan penuh harapan.
"Oke sebentar ya, kalo mau masuk aja mas, duduk diruang tamu." ucapnya
"Gapapa mbak, saya disini aja nunggunya." balasku sambil tersenyum kecil.
"Oh, yaudah mas." ucapnya lalu pergi masuk kedalam kost.
Setelah menunggu dalam kisaran waktu kurang lebih sepuluh menit. Akhirnya wanita itu muncul dan langsung mendekati posisiku.
"Ga ada respon dari kamarnya Adel mas." ucapnya
"Tapi tadi orang di kamar sebelahnya bilang, kalo Adel pergi bawa koper tadi pagi." lanjutnya
Apa yang kutakutkan pun terjadi, aku tak menyangka Adellia sudah berangkat pergi ke Surabaya. Sepertinya kami telah ditakdirkan untuk berpisah tanpa bertukar kata. Aku merasa menyesal karena tidak meresponnya kemarin.
"Makasih udah mau bantuin ya mbak, maaf udah ngerepotin." ucapku pelan
"Sama-sama mas, saya pergi dulu ya." balasnya sambil tersenyum.
Entah kenapa aku mulai merasa kosong dan lesu, aku hanya diam berdiri didepan kostnya sambil menghela nafasku dengan dalam.
Tak tahu sudah berapa lama aku berdiri disana, hanya untuk menunggu balasan pesan darinya. Hingga akhirnya matahari mulai terbenam dan kegelapan perlahan menyelimuti, tetapi balasan pesan dari Adellia tak kunjung tiba. Walau merasa sedih dan frustasi, entah kenapa terbentuk senyuman kecil dibibirku.
Perlahan aku menyadari, jadi ini yang dimaksud dengan "Penyesalan itu selalu datangnya terlambat."
Bersambung...