*Saat di dalam mobil*
"Kok dia bisa nembak lo Ram? Lo pake pelet apa dah?" tanya Steven dengan ekspresi terheran-heran.
"Ya gw jg kagak tau Ven, tiba-tiba aja dia nembak gw barusan." jawabku yang juga bingung.
"Setau gw si Melissa itu primadonanya jurusan psikologi. Biasanya yang nembak dia itu dari berbagai macam fakultas, tapi semuanya ditolak sama dia. Padahal dia masih maba sama kayak kita loh Ram." jelas Steven
"Duh pusing dah gw. Lama-lama makin banyak yg nyari ribut ke gw jadinya." ucapku lesu
"Hahahaha, makanya lepas tuh pelet lo." ejek Steven
"Pelet mata lo, ngapain coba gw pake gitu-gituan." balasku
"Jadi hubungan lo sama Adel gimana Ram?" tanya Steven secara tiba-tiba.
"Yaa... gw sih udah lama gak ngobrol sama dia." jawabku pelan
"Lah, emang ada masalah apa sih sampe segitunya lo berdua?" tanyanya serius
"Bodo amatlah Ven, males gw bahas tentang itu." jawabku lalu menghela nafas
"Yaelah Ram, lo nolak Melissa pasti karena masih ada rasa kan sama Adel?" ucapnya
"......." Aku hanya terdiam tak membalas ucapan Steven.
Steven berhenti berbicara dan menarik nafas dalam-dalam. Sepertinya dia paham akan keadaan moodku yang buruk saat itu. Setelah percakapan itu, kami hanya berdiam diri saja disepanjang perjalanan, bahkan sampai tiba dikost-an.
"Gw masuk duluan Ven." ucapku singkat.
"Yoi, jangan galau mulu Ram haha." ucap Steven.
"Bangke lo." balasku lalu memasuki kamar.
Aku langsung mengganti pakaianku lalu berbaring santai dikasur. Ucapan Melissa yang tadi masih terngiang-ngiang dipikiranku. Sejujurnya aku merasa tak enak menolaknya secara langsung. Tapi aku juga tak bisa membohongi perasaanku yang sebenarnya, bahwa aku masih menyukai Adellia.
Selagi aku sibuk tenggelam dalam lamunanku, tiba-tiba muncul para dedemit bekas dukun yang menyerang rumah Riska. Seiring berjalannya waktu, jumlah mereka mulai bertambah semakin banyak. Sebab, beberapa demit yang ada disekitaran sini bergabung dengan mereka. Jumlah mereka yang banyak, membuat kamarku terasa penuh dan sesak.
"Kenapa kalian datang kemari?" tanyaku dalam batin
"Kami merasakan diri tuan yang sedang risau dan gelisah. Apa ada yang perlu kami bantu?" ucap salah satu genderuwo sebagai perwakilan
"Aku tidak apa-apa, mungkin aku cuma merasa jenuh dan kelelahan. Aku akan memanggil kalian jika dibutuhkan, jadi sekarang pergilah." balasku perlahan
"Baik tuan." ucapnya sambil menunduk lalu mereka menghilang seketika.
Aku tersenyum karena merasa lucu sebab para dedemit saja merasa khawatir akan keadaanku sekarang. Tapi aku juga merasa bersyukur karena setidaknya masih ada makhluk yang memperdulikan diriku. Aku berpikir, lebih baik aku berfokus pada latihan meditasiku saja untuk mengalihkan dan mengatasi kegelisahan didalam diriku.
Sudah dua minggu ini aku berfokus pada latihan meditasiku karena aku tak memiliki aktivitas lain selain itu.
Meditasi malam itu terasa sangat tenang. Aku hanya berpasrah melepaskan semua keinginan dan kegelisahanku. Hingga akhirnya kesadaranku perlahan-lahan mulai menghilang. Tiba-tiba aku merasa terkejut tanpa sebab, seperti ada yang terjatuh dan hilang seketika. Akhirnya aku tersadar dan menyudahi meditasiku.
Saat aku mengecek jam di layar handphoneku, ternyata aku sudah bermeditasi 2 jam penuh. Aku tak menyangka aku sudah bermeditasi sampai selama itu, walau sebenarnya aku merasa meditasiku terasa singkat. Tetapi tubuhku tak bisa berbohong sebab badan dan kakiku terasa kaku dan berat. Tanda bahwa aku sudah berada diposisi ini dalam waktu yang cukup lama. Tanpa berpikir panjang aku langsung memutuskan untuk tidur karena merasa ngantuk.
Esok harinya aku harus bangun pagi untuk masuk kelas kuliah seperti biasanya. Kelas pagi itu benar-benar terasa sangat membosankan. Hingga aku sampai tak kuasa menguap beberapa kali saat jam kuliah. Kebetulan dosen yang mengajar adalah dosen tua yang berbicara dengan suara pelan dan lambat. Ibarat beliau sedang membaca dongeng agar para mahasiswa bisa tertidur dengan lelap.
Setelah kelas diakhiri, aku duduk berdiam diri dulu didalam kelas. Sebab aku tak mau ikut berdesak-desakan di pintu, jadi lebih baik aku menunggu mereka selesai keluar saja. Sekitar tiga menit kemudian, akhirnya kelas mulai terlihat kosong.
Aku bergerak melangkahkan kakiku dengan santai untuk keluar dari kelas. Aku berencana untuk pergi ke belakang kantor BEM untuk menunggu kelas siang yang akan berlangsung satu setengah jam lagi. Baru saja beberapa langkah kaki kupijakkan keluar dari pintu kelas. Aku melihat Adellia sedang berduaan dengan pria yang sama. Tampak mereka sedang berbincang-bincang dengan akrab. Sebenarnya aku sudah sering melihat pria itu menunggu Adellia diluar saat kelas selesai. Tak jarang aku melihat mereka berdua berjalan bersama dilingkungan kampus. Sejak itu aku hanya bisa berusaha menjauh dan menghiraukan mereka.
Karena sudah biasa melihat pemandangan itu, aku langsung berjalan melewati mereka tanpa menoleh. Mungkin dia adalah pacar Adellia yang sebenarnya, jadi lebih baik aku paksa untuk menghapus rasa yang kumiliki. Karena aku harus sadar diri dan tak ingin mencampuri hubungan orang lain. Aku hanya berharap Adellia dapat bahagia nantinya. Baru saja aku berpikir begitu, tiba-tiba muncul suara panggilan Adellia yang berhasil mengejutkanku.
"Ram, tunggu." ucapnya dengan cepat
Aku menoleh dan membalas tatapan mata mereka berdua.
"Kenapa Del?" tanyaku datar
"Kita bisa ngobrol sebentar gak Ram?" tanya Adel
"Ngobrol tentang apa Del? Kalo masih ngomongin masalah yang kemarin mending gausah Del." jawabku dengan senyum palsu
"Hmmmm, aku mau jelasin yang sebenarnya Ram." ucapnya dengan suara yang semakin pelan.
"Yaudah Del." ucapku singkat karena tidak tega melihat ekspresinya yang seperti itu.
Kami berdua pergi ke belakang kantor BEM tanpa diikuti oleh pria yang sering bersama Adellia. Sepertinya Adellia telah melarangnya untuk mengikuti kami.
"Maaf Ram, aku tau kamu kecewa karena sikapku kemarin." ucap Adellia dengan wajah menunduk.
"Gapapa kok Del, bukan kamu yang salah kok. Emang pada dasarnya aku yang salah." balasku enteng
"Sebenarnya aku mau minta maaf sejak kemarin, tapi kamu selalu menghindar, bahkan kamu gak mau membalas tatapanku." ucapnya lesu
"Aku ga pantas Del nerima permintaan maaf kamu. Toh aku bukan siapa-siapa kamu, jadi gausah merasa bersalah lagi Del." ucapku perlahan sambil tersenyum walau sebenarnya hatiku terasa sesak dan sakit.
"Kamu kenapa sih Ram selalu merasa rendah diri kayak gitu? Kamu ga capek apa Ram, selalu bohong sama perasaan kamu sendiri?" ucap Adel dengan suaranya yang bergetar dan mata berkaca-kaca.
"Aku hanya pengen kamu jadi diri kamu sendiri Ram. Jadi Rama yang aku kenal. Bukan Rama yang haus akan kekerasan." ucapnya
Aku hanya diam tak menjawab ucapan dari Adellia. Hatiku terasa seperti ditusuk berkali-kali setelah mendengar ucapan darinya. Rasanya sangat sakit karena aku tak bisa mengelak dan membantah tentang apa yang dikatakannya.
"Kenapa diam aja Ram? Kamu gak mau membantah lagi?" ucap Adel
"....." Aku tetap diam dan memalingkan wajahku darinya.
"Ram, mau sampai kapan kamu kayak gini?"
"Kamu gak bosan Ram kayak gini terus?"
"Menyendiri dan menghindar dari kenyataan."
"Kamu gak kesepian Ram?" ucap Adellia bertubi-tubi tanpa henti kepadaku.
Akhirnya pertahananku runtuh, tanpa berpikir panjang aku langsung memeluk tubuhnya dengan erat agar dia tak melanjutkan ucapannya lagi.
Suasana seketika menjadi hening. Adellia tidak melawan pelukan dariku. Sejenak kami diam dengan posisi berpelukan seperti ini. Hingga akhirnya aku merasakan tubuh Adellia yang mulai bergetar. Perlahan muncul suara tangis sesenggukan darinya. Ego yang menguasai diriku selama ini pun perlahan memudar. Aku menyadari betapa bodohnya aku karena dibutakan oleh kekuatan.
"Maaf Del." bisikku padanya.
Bersambung....