webnovel

RIP Hati Nurani

Bel masuk sudah berbunyi sejak tadi. Seluruh siswa SMA Pasutri telah masuk ke kelas masing-masing dan memulai pelajaran dengan khidmat.

Sepuluh menit berlalu. Arsena yang tengah memperhatikan Bu Anna yang sedang berbicara di depan kelas mendadak gelisah. Perutnya tiba-tiba sakit, padahal dia tidak makan bakso atau makanan pedas selama istirahat tadi.

"Sena, lo kenapa? Kok gelisah gitu?" tanya Aileen, menyadari kegelisahan Arsena.

"Perut gue sakit, Ay. Gue ke toilet dulu." Arsena mengangkat tangan setinggi mungkin, membuat Bu Anna menghentikan penjelasannya.

"Kenapa, Sena?"

"Bu, saya izin ke toilet, ya. Perut saya sakit."

"Halah, bohong itu, Bu," celetuk Arkala sambil menoleh ke tempat Arsena.

"Saya nggak bohong, Bu. Aduh... saya udah nggak kuat, Bu!"

Tanpa menunggu persetujuan dari Bu Anna, Arsena pergi begitu saja. Tidak peduli jika dia akan dihukum. Yang penting perutnya terselamatkan.

Aileen menatap curiga Arkala yang sedang tertawa pelan. Dia curiga, bahwa laki-laki itu yang membuat Arsena sakit perut.

"Vin, kayaknya obat yang dikasih Kala mulai bereaksi, deh," bisik Iqbaal sambil menoleh ke belakang.

"Iya. Kasian banget. Mana toilet sekolah ini jauh banget. Bapak si Kala kalau bikin sekolah emang suka nanggung-nanggung. Harusnya toilet itu ada di samping kelas."

"Iqbaal, Gavin, apa yang kalian obrolkan?"

Teguran Bu Anna membuat mereka menggeleng dan kembali bungkam. Siapa yang berani pada Bu Anna, guru cantik yang disegani seluruh SMA Pasutri.

"Mending lo berdoa, supaya itu cewek nggak kenapa-kenapa," ucap Matteo. Tumben sekali dia peduli.

Arsena kembali dengan wajah yang lebih tenang. Bahkan dia tersenyum sembari menghampiri Bu Anna yang masih berdiri di depan kelas.

"Bu, maafin saya, ya. Karena saya tadi pergi gitu aj----"

Belum ada dua menit dia kembali, namun perutnya kembali melilit.

"Sena, kamu kenapa?" tanya Bu Anna cemas.

"Perut saya sakit lagi, Bu." Arsena berbalik dan langsung berlari sekencang mungkin. Ini tidak benar. Pasti telah terjadi sesuatu padanya.

Aileen menggenggam pulpen sangat erat. Kini dia yakin, pasti ada yang salah dengan perut Arsena yang sakit terus menerus.

Arkala tersenyum puas. Pembalasannya terbayar sudah. Laki-laki itu menyikut lengan Alvaro. "Lo liat, Al, pembalasan gue berjalan dengan sempurna," ucapnya terkekeh.

"Hati-hati aja, lo. Kalau anak orang sampai masuk rumah sakit, lo yang harus tanggung jawab."

Arkala mengangkat bahu acuh. Tidak peduli dengan ucapan Alvaro barusan. Urusan nanti, ya lihat saja nanti. Yang terpenting sekarang dia puas melihat Arsena tersiksa.

Bel kembali berbunyi. Bu Anna merapikan barang bawaannya dan pergi keluar kelas sebelas IPS dua sembari mengucap selamat siang kepada anak-anak didiknya.

Tepat setelah Bu Anna menghilang di balik pintu, saat itu juga Aileen berdiri dan mendekati Matteo dengan wajah galak. Menimbulkan kerutan segaris di kening laki-laki itu.

"Ngapain lo ke sini?" tanya Matteo sinis. Padahal ada sesuatu yang berdesir di dalam sana.

"Ini pasti gara-gara lo semua, kan? Lo semua yang udah bikin Sena sakit perut. Ngaku lo!" bentak Aileen menatap Matteo galak.

Padahal jelas-jelas dia menyebut kata mereka, tapi yang dimarahi hanya Matteo.

"Lo apaan, sih? Dateng marah-marah, terus malah nuduh orang. Emang lo punya bukti?" Matteo berdiri. Dia berdiri di hadapan Aileen yang tingginya hanya sebatas dada.

"Ish, lo kenapa malah berdiri, sih? Udah bagus lo duduk. Kalau kayak gini, gue keliatan lebih pendek!"

"Ay, lo mau ngajak Matteo berantem atau gimana, sih? Tadi lo bahas soal Sena, sekarang malah ngurusin tinggi badan."

Aileen menoleh ke samping. Menatap Gavin yang baru saja bersuara. "Diem lo! Lo juga ikut andil dalam masalah ini. Lo kasih cokelat dan pura-pura baik sama Sena, dan lo juga tahu kalau itu obat pencuci perut, kan?"

Gavin mengatupkan bibir rapat-rapat. Dia menggaruk belakang kepala yang tidak gatal. "Gue cuma disuruh, Ay," cicit Gavin.

"Disuruh sama siapa lo, hah?"

"Gue."

Aileen membalikan tubuh. Dia sudah berhadapan langsung dengan Arkala, si pelaku yang sudah membuat sahabat barunya sakit perut berulang kali.

Gadis itu tersenyum miring, sembari melipat kedua tangan di depan dada. "Udah gue duga. Kenapa lo lakuin ini, hah? Gue tahu Sena punya salah, tapi nggak seharusnya lo bikin dia sakit perut kayak gini. Kalau dia kekurangan banyak cairan, gimana? Lo mau tanggung jawab?"

Arkala menghela napas ringan. "Teo, urusin dulu, gih."

Matteo mengangguk dan membawa Aileen keluar dari kelas, menjauh dari hadapan Arkala.

"Bos, gimana, dong? Kalau sampai Sena beneran masuk rumah sakit, kita harus ngapain?" Gavin menarik tangan Arkala seperti seorang anak kecil. Tidak pernah dia merasa setakut ini setelah menghabisi orang yang menurut Arkala pantas untuk disingkirkan.

"Nggak akan mungkin. Lagian gue cuma kasih sedikit. Efeknya nggak akan lama, lo tenang aja."

Wajah Arkala terlihat sangat tenang. Dia memang begitu. Tidak pernah memikirkan nasib orang lain. Hatinya keras seperti batu. Mungkin ini semua karena perlakuan sang ayah yang selalu mengabaikan dirinya.

Pintu terbuka dengan lebar. Arkala mengangkat wajah dan melihat Arsena yang tengah berjalan. Namun yang membuat perhatiannya tercuri adalah, wajah gadis itu tampak pucat. Kedua kakinya juga bergetar. Tubuhnya sampai sempoyongan, jika tidak bertopang pada meja mungkin gadis itu sudah jatuh.

"Vin, Arsena, Vin!" pekik Iqbaal yang buru-buru menghampiri gadis itu, ketika melihat ada yang tidak beres.

Gavin menyusul dari belakang. Keduanya berdiri di samping Arsena sambil membantu gadis itu berjalan.

"Sena, lo nggak apa-apa, kan?" tanya Gavin.

Baru saja Arsena membuka mulut, tubuhnya jatuh tanpa tenaga ke dalam pelukan Gavin. Kedua laki-laki itu memekik keras, membuat seisi kelas menghampiri Arsena.

"Sena, bangun. Lo jangan pingsan, elah," ucap Gavin, menepuk pipi Arsena. Posisi mereka duduk di atas lantai, dengan kepala Arsena yang berada di atas pangkuan Gavin.

"Sena, bangun. Lo adalah orang pertama yang pingsan di kelas kita," imbuh Iqbaal.

"Iya, Sen. Yuk bisa, yuk. Supaya kita nyanyi-nyanyi lagi."

Entah mengapa Gavin merasa begitu nyaman dengan Arsena. Padahal mereka baru kenal sejak beberapa jam yang lalu. Menurutnya, Arsena adalah gadis yang berbeda. Dia berani menentang Arkala dan membuat laki-laki itu terjatuh.

"Sena!" Aileen berteriak, saat melihat tubuh Arsena yang sudah tergeletak di atas pangkuan Gavin.

"Vin, Sena kenapa?" tanya Aileen cemas. Posisinya sudah berada di hadapan gadis itu.

"Dia pingsan, setelah balik dari toilet," ucap Gavin pelan, takut jika Aileen akan mengamuk.

"Mana Kala?" bentaknya.

"Gue di sini."

Kedua mata Aileen menangkap Arkala yang tengah duduk dengan tenang di kursi Matteo. Gadis itu menyingsingkan lengan bajunya dan menghampiri Arkala.

"Kenapa lo malah duduk di sini, hah? Lo nggak liat Sena pingsan?"

"Terus gue harus ngapain? Dia juga bukan siapa-siapa gue."

"Tapi lo yang udah bikin dia pingsan! Apa lo nggak sadar?"

Arkala menggeleng polos. "Enggak," ucapnya, lalu berdiri. "Dari awal gue udah pernah ingetin dia, supaya hati-hati. Karena gue bisa lakuin hal yang lebih menyakitkan."

次の章へ