"Kak, jangan bikin gue kesel ya!" teriak Venus sambil berjalan menyusuri ruangan. Dia terus berteriak sampai wajahnya memerah pagi ini, begitu kesal karena tidak bisa menemukan Naratama.
Entah ada di mana cowok itu sekarang, padahal ada hal penting yang harus Venus selesaikan dengannya. Sesuatu yang akan membuat Venus bisa datang tanpa ada keterangan telat di sekolah.
Hembusan napas jengah dia keluarkan ketika berhenti diambang pintu dapur. Manik matanya menyusuri ruangan yang cukup luas itu dengan teliti, dan tertangkap. Venus melangkah mendekat, menepuk punggung Naratama kasar tanpa merasa bersalah karena adanya Atmaja, Indira, dan Dirga di meja makan. "Heh! Lo kemarin pinjem hoodie sama kaos kaki gue kan? Mana sekarang, mau gue pakai soalnya."
"Ada di lemari, nanti gue kasih. Ini lagi makan, lo gak liat tuh bokap sama nyokap ngeliat," sahut Naratama dengan begitu santai.
Venus menghela berat, memejamkan kedua matanya sejenak sambil menunduk. Dia masih mengenakan sandal tanpa kaos kaki, padahal sudah siang. Tidak ingin membuat suasana kacau, Venus segera duduk di tempatnya. Hari ini sarapan hanya dengan tempe, dan tahu goreng. Tidak ada susu cokelat yang biasanya ada di dekat piring, Venus tidak tahu sedang ada krisis keuangan atau tidak, tapi sepertinya kedua orang tuanya sedang tidak ingin membicarakan uang.
Atmaja dan Indira nampak murung, Venus tidak tahu kenapa karena mereka berdua tidak pernah menceritakan bagian tersulit untuk hidup, dan menjadi orang tua. Sebenarnya Venus kasihan melihat kedua orang tuanya seperti ini, tapi dia tidak pernah bisa melakukan apa pun kecuali memberikan nilai yang bagus, dan ranking di sekolah. Hanya itu yang bisa dia lakukan agar kedua orang tuanya tersenyum bangga.
"Wah! Tempenya enak, gak kaya yang kemarin. Mama belinya di tempat yang beda ya?" ucap Venus.
Indira tersenyum tipis, mengusap puncak kepala putrinya yang paling cerewet dan cantik itu. "Engga, di tempat yang sama, tapi emang gitu kata orang-orang juga tempe gak selalu enak. Gak tau kenapa, kalau dapet enak alhamdulillah, kalau engga ya mendingan gak usah di makan!"
"Ah! Bener juga sih yang mereka bilang, tapi bukannya rugi ya?"
"Sebelum beli sesuatu itu harus kita pikirin dulu Ven, dan harus nerima semua konsekuensinya," sahut Atmaja dengan suara yang terdengar serak-serak berat. "Sebelum beli sayuran pasti kita tau bakalan dapet yang rusak, yang daunnya udah tua, sama bakalan ada hewan kaya lintah ataupun ulat. Kita harus Terima, pas sampai di rumah ya di buang bagian gak enak itu kan?"
Naratama mengangguk dengan kening bertaut tipis. Dia mencoba berpikir sambil mengunyah tempe gorengnya. "Itu kan sayur, masih bisa di makan meskipun sedikit. Sementara tempe sama tahu gimana?"
"Sama aja, yang udah kita makan ya harus di habisin atau engga ya di buang, tapi buat yang belum di makan itu bisa di kasih ke orang yang lebih butuh kan? Gak usah di pikirin terlalu lama, gak usah marah-marah juga, ngabisin energi!"
"Bener yang Papa bilang, cuman ngabisin energi," ucap Edgar setelah membisu cukup lama.
Venus mengubah posisinya menjadi lebih nyaman. Dia tidak pernah memikirkan apa yang di pikirkan ayahnya ini. Sepertinya dia perlu membaca banyak buku agar bisa berpikir seperti itu, tidak membuat hal sepele menjadi masalah besar.
Hidup akan lebih mudah jika kita tidak mempermasalahkan semuanya. Tidak membuat keributan, dan lebih memilih untuk tidak memikirkan sesuatu yang seharusnya tidak di pikirkan. "Ada contoh lain Pa?" tanya Venus.
"Ada, baju misalnya." Atmaja memberikan senyum sekarang, setelah dia menelan semua makanan yang sudah halus dengan dorongan air mineral. "Sebelum kita beli pakaian itu kita harus tau, kalau pakaian ini bisa rusak karena ulah kita sendiri sama ulah orang lain. Selain itu juga bisa aja ilang pas kita laundry. Jadi... ya harus santai aja ngadepinnya pas masalah itu muncul karena emang itu konsekuensi yang kita dapet pas beli baju ini."
"Masa kita tenang aja sih pas bajunya ilang sama rusak?" kening Naratama bertaut, tanda tak setuju dengan sang ayah.
"Terus kamu mau gimana? Marah-marah, ngamuk, teriak-teriak gitu?"
"Iyalah, minta ganti rugi."
"Itu bukan penyelesaian masalah Tama, malahan bikin masalah baru, nguras energi kamu juga." Atmaja mengambil napas dengan cukup pelan sambil memperhatikan ketiga anaknya satu per satu. "Cuman ada dua kemungkinan. Yang pertama pelakunya bakalan ganti rugi sambil minta maaf, dan yang kedua pelakunya malah ikut marah-marah. Kalau udah marah-marah jelasnya hubungan kalian rusak kan?"
"Nah! Bener, jadinya gak temenan lagi, terus musuhan," sahut Venus cepat. "Jadi kita harus relain sesuatu yang kita punya ya Pa?"
"Gak gitu, maksudnya anggap aja semua yang kita punya itu titipan. Tapi kan emang bener itu titipan, Tuhan nutupin kalian ke papa sama Mama, nitipin harta juga ke papa Mama. Harus di jaga baik-baik, tapi kalau misalnya nanti di minta lagi sama Tuhan ya harus ikhlas."
Venus sedikit bingung dengan penjelasan ayahnya ini. Masih belum bisa masuk ke dalam otaknya, mungkin karena umurnya yang masih terlalu muda atau karena otaknya yang tidak bisa bekerja dengan lamban. Namun, jika di lihat-lihat lagi, orang yang paling paham hanya Edgar. Sudah jelas sekali, cowok itu yang paling pintar di rumah ini meskipun berhati sedingin es batu.
Tidak hanya pada orang lain, pada keluarganya sendiri pun dia bersikap seperti es dua belas pintu. Hal itu membuat Venus tidak suka duduk berlama-lama dengan Edgar tanpa membuat obrolan yang berbobot, dan kadang-kadang saking berbobotnya sampai membuat Venus tidak paham, dan ingin menangis karena Edgar selalu memberikan pertanyaan yang tidak pernah bisa Venus jawab.
Sementara Naratama, otaknya hampir sama dengan Venus. Hanya saja dia sedikit lebih pintar, dan berakal. Meskipun begitu, dia yang paling nakal di rumah ini, dan yang paling jahil. Venus membencinya untuk beberapa alasan, tapi lebih banyak memberikan cinta karena Naratama itu orang yang paling dekat dengannya.
"Kaos kaki gue!" ucap Venus, mengingatkan Naratama yang masih saja santai di jam segini.
"Astaga! Gak sabaran banget sih, ayo ikut!" sahutnya sebelum beranjak, dan tentu saja Venus berjalan cepat menghampirinya yang tidak begitu jauh. "Lo mau pake hoodie ke sekolah ya?"
"Iyalah, biar gaya."
"Idih! Bocah sok gaya banget, mau gaya kaya gimana juga gak bakalan ada yang suka sama lo."
"Ngejek banget sih? Gue cantik tau."
"Cantik darimananya coba? Lo jelek tau, jelek banget sampai gue aja heran kenapa bisa punya adek jelek kaya lo gini."
"Ih! Mulutnya gak bisa di jaga ya!" sahut Venus kesal sambil memukul Naratama yang terus saja tertawa menyebalkan.