"Ardhan..!!!" Panggil Anaya keras karena taman rumah sakit lumayan berjarak dengan pintu rumah sakit. Anaya sedikit berlari menghampiri Ardhan.
"Ardhan, ada apa?" Siapa itu?" tanya Anaya. Sedikit melihat pasien yang dibawa brankar rumah sakit penuh lebam di wajahnya.
"Nay,,, itu karyawan Cafe. Tadi ada sedikit masalah. Ah... Nanti aku jelaskan"," ucap Ardhan terburu-buru, menepuk bahu Anaya sebentar lalu beranjak pergi menyusul Tika dan Yanto yang mengantar Faris ke ruang pemeriksaan lebih dulu.
Anaya menghembuskan nafas. Tak berniat menyusul Ardhan. Mungkin Ardhan sedang situasi gawat. Anaya kembali ke orang tua Ardhan yang sedari tadi memandang Ardhan dan Anaya dari jauh.
"Ada apa Nay? Kenapa Ardhan? Siapa yang dibawa kerumah sakit?" tanya Bu Inah.
"Kata Ardhan itu karyawan Cafe, Bu. Gak tau kenapa, Ardhan belum menjelaskan. Tapi Naya liat tadi kayak bonyok-bonyok gitu, Bu," Jawab Anaya menjelaskan.
"Ya Allah, Ada apa lagi ya? Kasihan Ardhan, Pak. Di Cafe katanya banyak masalah. Hahhhhh," ucap Bu Inah sambil memandang Ardhan yang sudah mulai hilang dari pandangan.
"Jangan terlalu dipikirkan ya, Bu. Ardhan pasti bisa mengatasinya. Percayalah," ucap Pak Barata menepuk tangan Bu Inah yang berada di pundaknya.
"Kalau begitu Anaya pamit dulu ya, Bu, Pak. Anaya udah terlalu lama disini. Saya kembali ke kamar Ayah dulux" pamit Anaya.
"Iya, Nak. Semoga Ayah kamu cepat sembuh ya?" ucap Pak Barata.
" Kamar Bapak Ardhan di kamar Anggrek nomer lima ya, Nay. Barangkali mampir atau butuh sesuatu," kata Bu Inah. Anaya tersenyum mengangguk. Lalu benar-benar pergi dari hadapan orang tua Ardhan.
"Bu, itu gadis yang diceritakan Ardhan bukan?" tanya Pak Barata setelah kepergian Anaya. Bu Inah mengangguk menatap Anaya yang sudah menjauh.
"Iya, Pak. Dia Anaya. Gadis yang jadi pacar Ardhan dulu. Cantik ya, Pak? Anaknya santun lagi," tutur Bu Inah sambil terus tersenyum mengingat Anaya.
"Di Toko kue, Anaya paling rajin Pak. Ibu suka banget. Sebelum Ibu tahu dia dulu pacar Ardhan, Ibu udah nawarin ke Anaya loh, Pak. Kalau mau Ibu kenalin sama anak Ibu," ucap Bu Inah semangat sambil mendorong kursi roda Pak Barata untuk kembali ke kamar rawat.
Pak Barata tersenyum lalu menggeleng. Istrinya begitu antusias dengan calon mantunya itu. Ah... Apakah sudah boleh Anaya dianggap menantu mereka?
******
Aris kembali ke kos nya. Rencananya gagal. Niat hati ingin membuat si Faris dikeluarkan dari Cafe, nyatanya dirinya sendiri yang terancam akan dikeluarkan. Aris melempar tas nya asal. Lalu memukul angin karena kesal.
"Bodoh, bodoh, bodoh!!!" Aris kesal memukul- mukul kepalanya sendiri. Saat itu pula ponselnya berdering. Tertera nama Rendra disana. Dia menghela nafas. Bingung, apa yang akan dikatakannya pada Rendra.
"Halo Bos?" jawab Aris berusaha menyembunyikan kekesalannya.
"Ada kabar apa?" tanya Rendra dingin di seberang sana.
" Eemm belum, Bos. Kita gak boleh gegabah, Bos. Perlahan saja, Bos. Biar gak menimbulkan curiga nantinya," jelas Aris pada Rendra. Dan terdengar Rendra menggeram marah.
"Aarrgghhh!!! Awas aja kalau saya dengar kegagalan. Kamu akan tanggung akibatnya!" ancam Rendra.
"Iy..." Belum selesai Aris berkata Rendra mematikan telepon sepihak.
"Arggghhhh!!!" Aris kesal dan membanting ponselnya ke atas kasur.
*******
Ardhan dan Tika sedang menunggu di depan ruang periksa. Yanto sudah kembali ke Cafe, karena Cafe sedang banyak pelanggan sehingga rekan kerjanya kewalahan.
Ardhan duduk dengan bertopang dagu dan mengetuk-ngetukkan sepatu kets nya. Memikirkan yang baru saja terjadi dengan Faris. Apa benar Faris melakukan hal seperti itu?
Cafe Ardhan masih berjalan dua bulan ini. Dia memang belum mengenal karakter masing-masing karyawannya. Tapi, Ardhan tak pernah mengira jika Faris orang yang akan melakukan hal seperti itu. Apa Aris pelakunya?? Tapi untuk apa dia melakukan itu? Ardhan mengacak rambutnya, pusing memikirkan semua itu.
Ceklek.
Ruang periksa dibuka. Seorang pria matang berjas putih melepas sarung tangan yang melekat di tangannya.
"Dok, bagaimana teman saya, Dok?" Ardhan segera beranjak dari duduknya mendekati Dokter itu.
"Pasien baik-baik saja. Hanya saja luka di pelipis dekat mata cukup serius sehingga ada beberapa jahitan. Tapi untung saja tak kena area mata. Jika itu terjadi bisa saja matanya tak berfungsi dengan baik," ucap Dokter membuat perasaan lega pada Ardhan. Pun Tika yang sedari tadi khawatir dengan rekan kerjanya.
"Apa pasien ini dikeroyok orang atau bagaimana?" tanya Dokter penasaran. Ardhan tersenyum canggung bingung mau menjawab apa.
"Mm, ya ada sedikit masalah, Dok," ucap Ardhan tak yakin. Dokter menepuk bahu Ardhan dan meninggalkan ruang periksa.
"Tika. Kamu pulanglah dulu. Biar saya menghubungi keluarga Faris. Kamu pasti lelah. Besok saya akan minta Yanto atau yang lain untuk bantu kamu shift besok," titah Ardhan pada Tika. Tika mengangguk lalu pamit dari hadapan Ardhan.
Ardhan meraup muka kasar. Dia bersandar pada dinding dan menghirup udara sebanyak-banyaknya. Entah cobaan apa lagi ini. Tanpa Ardhan ketahui, Anaya mendengarkan Ardhan yang bercakap dengan dokter dan Tika tadi.
Anaya berjalan perlahan menghampiri Ardhan. Anaya memang dulu sakit hati pada Ardhan, tapi melihat Ardhan seperti ini, hatinya tidak bisa tidak peduli pada Ardhan.
"Dhan?" Anaya menepuk bahu Ardhan pelan. Membuat yang empunya terkejut dan membuka tangan yang menutupi wajahnya. Dan begitu Ardhan melihat siapa yang didepannya Ardhan menghambur ke pelukan Anaya.
Grebb...
Anaya terpaku dengan sikap tiba-tiba Ardhan. Yah dari dulu memang Ardhan selalu mengejutkan hati dan jantungnya.
"Biarkan seperti ini, Nay. Sebentar, hanya sebentar saja," pinta Ardhan pada Anaya, memejamkan mata menumpahkan rasa sedih nya sekarang. Lebih tepatnya rasa lelah yang melingkupi hatinya.
Anaya membalas pelukan Ardhan. Mengelus punggung Ardhan pelan memberikan kekuatan pada orang yang dicinta. Begini saja rasanya sakit hati yang dulu menguap dan hilang entah kemana.
Lima menit berlalu. Tapi pelukan itu masih belum terlepas, jika tidak ada suara yang menganggunya.
"Eheemm ehemm." Terdengar suara besar mengganggu pelukan Ardhan dan Anaya. Sontak keduanya kaget dan melepas pelukan mereka. Ardhan dan Anaya melotot ketika melihat orang tua Ardhan berada dibelakang mereka.
"Bapak?! Ibu??!" teriak Anaya dan Ardhan bersamaan. Membuat Bu Inah tertawa. Tapi tidak dengan Bapak Ardhan yang menatap tak suka. Ardhan merasa malu dibuatnya. Apalagi Anaya mukanya memerah seperti sedang ketahuan berselingkuh saja.
"Kalian ini. Kalau rindu bilang. Jangan asal peluk-peluk dong. Kan belum sah," ucap Bu Inah menyinggung Ardhan. Anaya semakin merah pipinya. Semakin mengeratkan pejaman matanya mengurangi rasa malu.
"Ibu, apaan si?" Ardhan garuk-garuk kepala yang tak gatal salah tingkah ketahuan kedua orang tuanya.
"Ada masalah apa, Dhan, di Cafe?" Ini suara Bapak Barata yang terdengar sangat dingin. Mengalihkan pembicaraan tentang pelukan Ardhan dan Anaya barusan.
"Karyawan Ardhan berkelahi, Pak, hemm. Gak tahu juga kenapa masalahnya jadi begini. Dan lagi besok shift pagi Tika bekerja sendirian. Belum konfirmasi sama karyawan lain ada yang mau lembur atau gak," papar Ardhan menjelaskan, meski tak sedetail masalah sebenarnya. Anaya mengamati pembicaraan tersebut.
"Emm, Aku bisa kok gantiin sementara kerja di Cafe. Itung-itung permintaan maaf karena udah lama gak masuk Toko Kue Bu Bos," ucap Anaya sambil menunduk, merasa tak enak. Bu Inah tersenyum, ia tahu Anaya bukan orang yang akan lepas tanggung jawab. Hanya saja dia memang tak bisa meninggalkan Ayahnya yang sakit.
"Gak usah dipaksakan, Nay. Lagian kamu kan harus nungguin Ayah kamu. Ardhan masih ada karyawan lain kok. Kalau gak nanti minta bantuan karyawan di Toko Kue yang libur, iya kan, Dhan?" Ucap Bu Inah. Ardhan mengangguk setuju.
"Iya, Nay. Gak papa kok. Kita ngerti kamu masih jagain Ayah kamu," kata Ardhan membenarkan.
"Aku gak papa kok, Bu Bos. Lagian Ayah nanti ada Bi Wati yang jaga. Juga udah ada penjaga yang ditugaskan Rendra," terang Anaya ingin tetap bekerja menggantikan Faris di Cafe.
Mendengar nama Rendra hati Ardhan merasa panas. Ardhan tak bisa memungkiri jika dia bisa melihat Rendra yang sungguh-sungguh mencintai Anaya. Tapi dirinya seperti tak menerima akan hal itu.
"Ya udah kalau gitu, kalau kamu maksa ya gak papa. Tapi kita gak terlalu ngikat kamu kok, Nay. Jika nanti kamu kembali menjaga Ayah kamu, bilang yah," nasihat Ibu Ardhan. Anaya mengangguk senang. Setidaknya dia tak lagi jenuh berada dalam lingkup rumah sakit terus menerus yang serasa pengap.
Ardhan tersenyum, mengingat jika Anaya bekerja di Cafe nya dirinya akan punya banyak waktu bersama. Hatinya bersorak seakan mau melompat dari tempatnya.
Setelah bercakap-cakap, Orang tua Ardhan pergi ke kamar rawat. Kini tinggallah Ardhan dan Anaya.
"Emang nya Rendra itu siapa, Nay?" tanya Ardhan tiba-tiba. Meski ia sudah mendengar dari mulut Rendra yang mengatakan Anaya adalah calon istrinya tapi Ardhan tetap ingin tahu yang sebenarnya. Anaya menghela nafas sejenak sebelum menjawab pertanyaan Ardhan.
"Rendra itu... Pria yang dulu mau dijodohkan Ayah sama Aku," ungkap Anaya. Ardhan mengangguk, sekarang ia paham semuanya. Namun cukup salut juga Rendra mau bertahan bertahun-tahun seperti dirinya dengan mencintai satu orang wanita yaitu Anaya.