Anaya menggeleng tak percaya dengan ucapan Rendra. Laki-laki ini benar-benar nekat. 'Aku harus gimana' batin Anaya. Dia memejam matanya erat. Berusaha tak lagi meneteskan air mata. Percuma saja menangis. Lelaki ini tak ada perasaan sama sekali. Bilang suka tapi bikin celaka. Suka apa itu namanya? Anaya mendengus kesal dan mengalihkan pandangan keluar mobil.
Rendra berhenti di depan sebuah Rumah sakit. Turun dengan tegas dan segera membuka pintu untuk Anaya.
"Aku mau pulang!" ucap Anaya dingin tanpa menatap Rendra. Rendra tetap hening. Kemudian menarik tangan Anaya keluar mobil. Menarik Anaya paksa untuk mengikuti langkahnya.
"Rendra lepas!" teriak anaya lagi tapi Rendra tak menghiraukannya. Mereka memasuki lift dan berjalan ke lantai lima di sebuah kamar VIP.
"Kamu ngapain bawa aku kesini ?!!" tanya Anaya bingung. Bau obat sangat menyengat tercium oleh indra penciuman Anaya.
Rendra melepas tangan Anaya. Berdiri di belakang Anaya sambil memegang bahunya lalu mengarahkan pandangan Anaya pada seorang pasien yang tergeletak lemah di sebuah kamar melalui kaca jendela. Anaya menutup mulut tak percaya. Matanya berkaca-kaca melihat pemandangan memilukan ini.
"Ayah??" lirih Anaya.
Ayahnya berbaring lemah dengan segala alat yang menempel pada tubuhnya.
"Apa yang terjadi padanya" lirih Anaya. Dan meluncurkan air mata yang sedari tadi membendung di kelopak matanya.
"Setahun ini dia koma. Pembuluh darahnya pecah. Operasi pun tak ada gunanya. Terluka bertahun-tahun karena anak semata wayangnya kabur meninggalkan dia sendirian," terang Rendra sangat menohok hati dan perasaan Anaya. Tubuh Anaya luruh ke lantai. Tak kuasa menahan air mata. Dan mulai menyalahkan dirinya.
"Lalu kenapa kau tidak menghubungiku? Bukankah kau tahu selama ini keberadaanku?!!" cecar Anaya.
"Bahkan kau selalu berpindah tempat saat mengetahui ada yang mengikutimu kan?" jawab Rendra dingin.
" Bahkan Ayahmu tak mau menemuimu. Dia merasa kalau semua itu salahnya, hingga membuat anaknya pergi dari hidupnya. Meski begitu, Dia selalu menyiapkan anak buahnya untuk berjaga di sekelilingmu. Lalu mengalihkan tugas itu kepadaku sejak dia mulai sakit. Aku yang menggantikan menjagamu," sambung Rendra sangat mengiris perasaan Anaya.
Anaya hanya bisa menangis. Kembali ia berdiri dan mengusap kaca jendela seolah sedang mengusap wajah Ayahnya.
"Maaf Ayah, maaf," lirih Anaya dengan berderai air mata.
"Pergilah. Aku akan berjaga disini," ucap Anaya tanpa menoleh pada Rendra. Rendra hendak menyangkalnya.
"Kau bisa menempatkan anak buahmu disini kalau kau takut aku pergi lagi," sahut Anaya cepat sebelum berdebat dengan Rendra.
Rendra menghembuskan nafas kecil. Lalu beranjak pergi dari sana.
*****
Tiga hari Anaya berada dirumah sakit, ia telaten menjaga Ayahnya. Pekerjaan yang seharusnya dikerjakan perawat, Anaya ambil alih sendiri seperti mengganti baju ayahnya, menyeka badan Ayahnya, memotong rambut tipis di sekitar wajah Ayahnya. Serta selalu membacakan cerita untuk mengajak Ayahnya berkomunikasi.
Anaya sangat sabar menunggu sampai Ayahnya mau bangun dari koma. Tak jarang Anaya selalu menitikkan air mata di sela percakapan dengan Ayahnya. Membuat Rendra tercubit hatinya yang hanya melihat pemandangan itu dibalik kaca tanpa sepengetahuan Anaya.
Disamping itu Ardhan sedang berjuang membenahi usahanya yang dibuat berantakan oleh Rendra. Dari penggagalan Ardhan mendapatkan pemasok sayuran di kebun Pak Ahmad dengan membeli kebunnya. Lalu menyuruh orangnya untuk membuat pesanan atau reservasi palsu. Yang membuat Ardhan rugi lumayan banyak dan sudah sangat membuat Ardhan kesal dan heran karena pemesan tak dapat dihubungi apalagi di lacak.
Untung saja ada sebagian makanan yang masih bisa disajikan untuk para pengunjung. Karena ketidak mungkinan mereka memesan, jadi Ardhan menginstrusikan untuk dibagikan secara cuma-cuma pada pengunjungnya. Hitung-hitung sebagai sedekah. Dan berharap ada gantinya yang lebih banyak dari yang hilang.
Ditambah lagi beberapa hari ini Ardhan tak menemukan Anaya setelah terakhir kali melihatnya naik mobil bersama lelaki lain yang tak lain adalah Rendra. Anaya tak ada kabar bahkan tiga hari tidak masuk kerja. Dan lagi Ardhan tak punya nomer Anaya.
Ardhan mengingat nama teman Anaya saat di pesta. Dina. Ya! Ardhan harus bertanya pada Dina dan meminta nomer Anaya padanya.
"Tolong berikan saya data karyawan di cabang Tiga," ucap Ardhan lewat telepon yang menghubungkan pada karyawannya. Tak lama kemudian Data dikirim melalui emailnya. Saat menemukan nama Dina, Ardhan segera membuat panggilan.
"Hallo?" jawab suara di seberang sana.
"Hallo Dina, ini saya Ardhan," ucap Ardhan segera.
"Ardhan? Pak Bos?" tanya Dina kaget.
"Ada apa pak Bos?"
"Saya minta nomer Anaya segera. Tolong kirim ke nomer saya ini," ucap Ardhan cepat.
"Aaa.. I iya Baik Pak!" sahut Dina terbata. Karena Ardhan terdengar sangat mendesaknya. Tak lama kemudian sebuah pesan di aplilasi hijau masuk ke hape Ardhan.
Ardhan menge-save nomer Anaya terlebih dahulu. Lalu memasuki room chat pada Anaya. Awalnya hanya ingin mengirim chat saja. Tapi Ardhan sudah tak sabar lagi karenanya.
Tuuuut....tuuut.. tuuut....
Tiga kali Ardhan memencet nomer Anaya tapi hasilnya nihil. Ardhan mendengus kesal. Saat ini dia benar-benar rindu pada Anaya. Setelah tujuh tahun tak berjumpa baru beberapa hari kemarin ia bisa bertemu Anaya lagi, kini harus terpisah lagi yang entah kemana Anaya pergi saat ini.
"Sebenarnya kamu dimana Nay?" dengus Ardhan sambil meraup muka kasar. Rasanya masalah bertubi-tubi menimpanya saat ini. Sebenarnya ada apa dengan usahanya ini? Apa ada sabotase dari seseorang? Batin Ardhan mengingat-ingat. Karena seingat Ardhan, selama ini ia tak punya musuh.
Saat merenungi semuanya, telepon Ardhan berdering. Segera ia mengangkatnya.
"Iya Bu?" jawab Ardhan agak malas.
"Apa??!" pekik Ardhan kaget.
"I..iya, Bu. Ardhan segera kesana," sahut Ardhan cepat lalu menyambar kunci mobil di meja.
"Faris, Saya titip Cafe dulu. Saya ada perlu," pamit Ardhan tergesa-gesa. Membuat para karyawan bingung dengannya. Ia segera berlari dan melajukan mobilnya bak orang kesetanan.
Ibunya menelepon dan mengatakan bahwa Bapaknya di bawa kerumah sakit. Ardhan segera menyusul Ibunya kerumah sakit karena tadi ia menangis di telepon, Ardhan sangat menghawatirkan Ibunya sekarang.
"Ahsan kamu dimana?" tanya Ardhan di seberang telepon.
"Segera kerumah sakit Harapan sekarang!"
"Bapak masuk rumah sakit!" Jelas Ardhan pada adiknya, Ahsan.
****
Di rumah sakit
"Bu..," Panggil Ardhan pada Ibunya yang terlihat duduk dengan wajah khawatir.
"Bapak kenapa, Bu?" tanya Ardhan saat sudah didekat Ibunya.
"Tadi Bapak sesak nafas, Dhan. Sesak nafas banget tadi, Dhan. Ibu, sampek bingung," jelas Ibu Sakinah sambil menitikkan air mata.
Ardhan memeluk Ibunya menenangkan.
"Semoga Bapak gak papa ya Bu? Kita doakan saja," ucap Ardhan seraya mengusap bahu Ibunya. Kemudian terdengar orang berlari kearahnya. Ahsan datang, dia baru dari kampus.
"Kak!" panggil Ahsan.
"Ibu, Bapak gimana, Bu?" tanya Ahsan duduk disamping Ibunya.
"Masih di periksa dokter, San," terang Ibunya yang sedikit menyusut air matanya.
"Keluarga Bapak Barata?" panggil dokter keluar dari ruang periksa.
Seketika Ibu Sakinah, Ardhan dan Ahsan beranjak berdiri menghampiri Dokter.
"Ibu, kondisi Bapak Barata sudah mulai membaik, dia hanya sesak nafas. Sebaiknya Bapak Barata berhenti merokok dulu dan minum-minuman yang berkafein," terang Dokter. Ketiga orang itu menghela nafas lega. Bapak Barata memang perokok berat. Mungkin susah untuk menghentikannya. Tapi demi kesehatan mau tak mau harus berhenti dari yang namanya merokok.
"Terima kasih Dok," jawab ketiga orang yang tak lain keluarga Bapak Barata.
Ardhan pamit pergi dulu untuk membeli makanan dan minuman untuk Ibunya. Saat di kasir kantin, Ardhan seperti melihat Anaya. Ardhan segera membayar belanjaannya dan berlari untuk memastikan yang dilihatnya adalah Anaya.
Tapi terlambat, orang yang dikejar Ardhan menghilang entah kemana. Ardhan ngos-ngosan melihat di sekelilingnya mencari sosok yang tadi dilihatnya. Tapi tetap saja tak ada. Mungkinkah ia salah lihat? Apa karena merindukan Anaya tiga hari ini, ilusinya bagaikan melihat Anaya?
Ardhan memutuskan untuk kembali ke ruang rawat Bapaknya.
Bughhh!!
Tiba-tiba saja Ardhan tidak sengaja menabrak seseorang dari tikungan lorong rumah sakit.
"Maaf, maaf. Apa anda tidak apa-apa?" tanya Ardhan dan setelahnya kaget dengan orang yang di depannya. Pun begitu orang yang tak lain adalah Rendra memandang sinis kepada Ardhan.
"Ini kan lelaki yang kemarin sama Anaya?" batin Ardhan. 'Apa Anaya disini bersamanya?' tanya Ardhan lagi pada hatinya sendiri.
"Sekali lagi maaf," ucap Ardhan lagi tapi tak dihiraukan Rendra. Ardhan hanya bingung dengan sikap Rendra yang tak bersahabat itu. Seolah dirinya adalah musuh hingga sikapnya tak suka pada Ardhan.
Rendra hanya mendengus kesal dengan memberikan tatapan tajam pada Ardhan tanpa mengucap sepatah kata pun.