webnovel

8) Pilihan Berbahaya Kayla

"Hahhh ... Hahhh ... " Kevan duduk bersandar pada dinding lorong gedung fakultas seni rupa lantai dua. Napasnya terengah-engah setelah berhasil membantai zombie yang jumlahnya tak bisa ia ingat. "Apakah tubuhku kurang olahraga belakangan ini? Rasanya seperti ingin mati."

Awalnya Kevan ingin segera keluar dari kampus dan pergi ke tempat di mana Rea, adiknya berada. Tujuan utamanya adalah memastikan adiknya aman dan membawanya bersamanya.

Setidaknya begitu, jika saja ia tak mendengar teriakan orang-orang yang berada di lantai tiga.

Mungkin Kevan seharusnya meninggalkan mereka saja karena mereka tak ada hubungannya dengan dirinya. Namun saat Kevan melihat wajah yang berdiri ketakutan di dekat jendela ruang kelas lantai tiga itu, entah mengapa ia ingin menyelamatkannya.

Benar.

Yang ia lihat adalah wajah Kayla.

Kevan kembali menatap arloji yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. "Sudah hampir satu jam semenjak aku terakhir menghubungi Rea. Kuharap keputusan bodohku ini tak membahayakannya."

"Aaaaaaaaa!~ ... "

Suara teriakan kembali terdengar dari lantai di atasnya. Kevan bisa mendengar jelas suara teriakan itu semenjak ia berada dekat dengan tangga.

Setelah menarik napasnya dalam-dalam, ia pun kembali berdiri. Tak hanya pedang yang berada di tangan kanannya, namun juga seluruh pakaiannya telah terciprat bercak darah.

Dengan langkah pasti, Kevan menaiki tangga menuju ke lantai tiga. Dan saat ia berada di sana, sebuah pemandangan yang tak pernah ia duga sebelumnya.

Ada banyak sekali zombie di lorong. Namun mereka semua telah mati dalam keadaan tubuh yang hancur. Benar-benar hancur.

Dan ada satu zombie berukuran besar yang kepalanya hampir menyentuh langit-langit lorong. Zombie itu tak memiliki kulit, hanya otot-otot kekar kemerahan yang terlihat di sekujur tubuhnya.

Jelas zombie itulah yang menghancurkan tubuh zombie-zombie lain.

"Apakah ini lelucon? Apa mayat bau itu benar-benar bisa berevolusi seperti yang sering kubaca di komik-komik?"

Brakkk!~ ...

Zombie itu mendobrak salah satu pintu ruang kelas yang berada di lantai tiga. Dan saat itu juga, Kevan menyadari bahwa itu adalah ruangan di mana gadis yang ingin ia selamatkan berada.

Kevan terdiam sejenak.

Jika menilai secara mentah dari pandangan sekilas, ia tak yakin apakah ia bisa mengalahkan zombie bertubuh besar dan kekar yang menghancurkan zombie-zombie lain itu seperti bubur.

Dan juga, ia tak yakin apakah pedangnya bisa menembus otot-otot yang terlihat sangat keras itu.

"Haruskah aku pergi saja? Lagi pula aku tak memiliki hubungan apapun dengan mereka." ucapnya pelan dan berbalik menuju ke arah tangga. "Mungkin harusnya seperti itu dari awal. Aku tak memiliki tanggung jawab apapun, dan mengorbankan nyawa demi orang-orang itu sepertinya tak sepadan. Lagi pula, kenapa juga aku bersikeras untuk menyelamatkan mereka di awal?"

Kevan baru saja melangkahkan kakinya untuk kembali menuruni tangga.

Ia memejamkan matanya, menarik napas dalam-dalam lalu mengembuskannya secara perlahan. Dan saat ia kembali membuka kedua matanya ...

"Persetan."

Dengan cepat Kevan berbalik dan berlari menuju ke arah ruang kelas yang dimasuki oleh zombie bertubuh besar tadi. Ia berlari secepat yang ia bisa. Suara jerit tangis penuh keputus asaan semakin terdengar jelas semakin dekat ia dengan ruang kelas itu.

Dan saat Kevan telah berdiri di pintu ruang kelas tersebut ...

Crasshhh!~ ... Slpash~ ...

Kepala seseorang baru saja digenggam sampai hancur, dan darahnya menyembur ke segala arah.

***

"Aaaaa!~ ... "

Suara teriakan yang memekikkan telinga memenuhi ruang kelas tempatnya berada. Kayla dan Yuruisa terdiam di tempat, sementara Nadine mengedarkan pandangannya seakan ia sedang mencari cara agar mereka bisa keluar dari sini hidup-hidup.

"Dasar zombie jelek! Mati kau!" teriak seorang lelaki yang mengayunkan tongkat pel ke arah zombie bertubuh besar itu.

Crack!~ ...

Tongkat pel itu patah seakan tak berarti apa-apa untuk si zombie. Zombie itu menoleh lalu tersemyum lebar tanpa mengaum atapun menggeram seperti zombie-zombie lain pada umumnya. Dia hanya menatap sambil tersenyum sangat lebar, memperlihatkan deret gigi-giginya yang tak tertutup kulit sedikitpun.

Lelaki yang menghantamkan tongkat kain pel tadi pun gemetar ketakutan. "Ma-maaf ... A-aku tidak—"

Crassshhh!~ ... Splasshhh!~ ...

Zombie itu meraih kepala si lelaki dan menggenggamnya hanya menggunakan satu tangan. Tangannya begitu besar hingga bisa menggenggam kepala manusia. Dan pada saat itu juga, kepala si lelaki hancur tak berbentuk. Darah memuncrat kemana-mana.

Keadaan pun menjadi sangat kacau. Orang-orang yang tadinya ingin bertarung untuk bertahan hidup, kini mereka terlihat seakan tak memiliki harapan hidup lagi.

Tatapan mata mereka benar-benar kosong.

Satu persatu dari mereka mulai menjatuhkan senjata apapun yang mereka pegang ke lantai.

Kaki mereka mulai lemas hingga tak sanggup lagi menahan beban tubuh mereka sendiri.

Crasshhh!~ ... Splashhh!~ ...

Zombie bertubuh besar itu pun mulai menghancurkan setiap manusia yang ia lihat di ruangan itu satu persatu. Hanya dengan ayunan tinju dari tangan besarnya, tubuh seseorang diubah menjadi sebentuk mainan yang sangat rapuh.

Darah, tulang, bahkan organ dalam berceceran di lantai.

Kayla dan Yurisa juga terlihat sudah menyerah untuk bertahan hidup. Bahkan sudah tak terdengar lagi suara jeritan maupun teriakan.

Semuanya benar-benar tenang, seakan mereka menunggu kematian menghampiri mereka dengan pasrah.

Dan kini, zombie berukuran besar itu berdiri di hadapan mereka bertiga, dengan tubuh Pak Geoffrey yang ada di genggaman tangan kirinya. Atau lebih tepatnya, sisa-sisa tubuh Pak Geoffrey.

Zombie itu diam menatap mereka bertiga yang berada di pojok ruang kelas. Tersisa mereka bertiga di sana, tak ada yang lain lagi selain si zombie besar itu.

Dan saat zombie itu mengangkat tangan kanannya yang mengepal seakan bersiap untuk menghancurkan mereka bertiga dalam satu kali pukulan, Kayla, Nadine dan Yurisa menutup mata mereka.

"Sepertinya inilah akhirnya. Kita memang tak bisa keluar dari sini hidup-hidup sedari awal."

Splassshhh!~ ...

Darah memuncrat mengenai wajah dan pakaian mereka.

"Grrraaaaahhhhhhh!~ ... "

Suara raungan yang sangat keras hingga membuat kaca jendela di belakang mereka bergetar hebat pun terdengar.

Nadine adalah yang pertama membuka matanya setelah ia tak merasakan apapun. Kayla dan Yurisa juga ikut membuka mata mereka setelah menyadari bahwa mereka belum mati.

Dan yang saat ini mereka lihat adalah sebuah tangan berukuran besar tergeletak di depan kaki mereka. Sebuah tangan yang sangat besar. Sementara si zombie berukuran besar yang telah membunuh semua orang di ruangan itu tadi, kini sedang berteriak kesakitan sembari memegangi lengannya yang putus.

Dan juga, mereka bertiga sedang melihat punggung seorang lelaki yang berdiri di depan mereka, dengan sebuah katana berwarna hitam yang tergenggam di tangan kanannya.

"Jika kubilang lari, kalian harus lari keluar dan turun. Tunggu aku di area parkir. Ada sebuah mobil SUV yang kuncinya tertinggal di sana. Jika aku tak datang ke tempat kalian dalam lima belas menit, pergilah dan cari tempat yang menurut kalian paling layak untuk bertahan hidup."

Kayla dan Yurisa hanya terdiam, masih tak bisa berkata apa-apa setelag shock dengan semua yang terlah terjadi begitu cepat. Hanya Nadine yang sepertinya masih memiliki keberanian untuk berbicara.

"Maksudmu—"

"Aku yakin kalian tidak tuli, dan sepertinya aku juga tak memiliki waktu untuk menjelaskannya untuk kedua kali."

"Tunggu. Kenapa kau menyelamatkan kami?"

Tanpa peringatan sedikitpun, Kevan menerjang ke arah zombie setinggi dua meter lebih itu dan menancapkan ujung katananya di dada kiri zombie tersebut. Dengan seluruh tenaga yang ia miliki, Kevan berusaha menembus jantung si zombie itu dalam sekali serang.

Stabbb!~ ...

Pedangnya berhasil menembus otot si zombie dan tertancap cukup dalam. Zombie itu juga terdorong beberapa langkah ke belakang.

Namun sepertinya ia masih belum mati.

"Seharusnya aku tahu bahwa mereka hanya bisa dibunuh jika aku menyerang kepala mereka. Dasar sial."

Duakkkk!~ ... Syuuung~ ... Brakkk!~ ...

Zombie itu mengepalkan tangannya dan meninju tubuh Kevan, membuat Kevan terpental ke samping dan tubuhnya menghantam tembok dengan sangat keras.

"Uhukkk!~ ... " Kevan terbatuk dengan darah segar tersembur dari mulutnya.

Kayla, Nadine dan Yurisa masih diam di tempat mereka berada. Kevan yang melihat hal itu pun kembali berdiri dan menatap tajam ke arah mereka. Tatapan yang sangat tajam dan juga mengintimidasi.

"Apa yang kalian lakukan? Pergi sekarang!" teriaknya yang kembali menerjang ke arah zombie itu.

Nadine menarik lengan Kayla dan Yurisa. "Cepat, kita harus pergi dari sini."

"Tapi—" Kayla ingin menyela, namun Nadine menatapnya balik dengan tatapan frustasi.

"Kita tidak punya waktu!"

Akhirnya Kayla tak bisa berkata apa-apa. Mereka bertiga bangkit dan berlari keluar dari ruang kelas. Dengan sekuat tenaga, mereka berlari menyusuri lorong hingga sampai di tangga. Saat ingin menuruni tangga, Kayla sempat berbalik untuk melihat bagaimana keadaan Kevan.

Dan yang ia lihat, Kevan baru saja terpental keluar dari ruang kelas dan menabrak dinding lorong lantai tiga itu.

Tubuhnya benar-benar babak belur, namun Kevan masih memegang pedangnya dan berusaha kembali berdiri.

"Kayla! Kenapa kau berhenti?! Cepat turun!"

Kayla menoleh dan mendapati Nadine dan Yurisa sudah satu lantai di bawahnya.

"Hey, kenapa diam? Cepat turun!"

Kayla menutup matanya dan mengambil napas dalam-dalam sebelum akhirnya mengembuskannya secara perlahan. "Nadine, lindungi Risa dan tunggu aku di area parkir."

Nadine membulatkan matanya dengan sempurna, "Apa maksudmu?!"

"Lakukan saja!" teriak Kayla yang lalu berbalik dan berlari kembali ke tempat di mana Kevan berada.

Di ujung pengelihatannya, ia bisa melihat si zombie berukuran besar itu berdiri tepat di hadapan Kevan yang bersandar pada dinding lorong.

Entah apakah ini pilihan yang tepat atau tidak.

Yang jelas, Kayla hanya mengikuti kata hatinya.

次の章へ