"Hei! Kau ke mana saja?! Kenapa ponselmu tidak bisa kuhubungi? Kakek marah besar karena kau pergi begitu saja! Pulang, Lian!"
"Kak, aku sudah besar. Kau cerewet sekali, sih?! Aku baik-baik saja! Sudahlah, aku sedang makan."
"Tunggu! Ada apa dengan wajahmu? Atau kamera ponsel Gio yang kotor? Kau berkelahi lagi?!" Nada suara Ayu terus meninggi. Entah mengapa setelah menikah dia berubah menjadi garang.
"Brisik sekali sih!" kata Lian acuh.
"Hei, Gio! Ada apa dengan adikku?" Gio kembali mengarahkan ponselnya ke depan wajahnya. Ekspresinya bingung, lalu menatap Adi dan Elang yang seolah cuci tangan terhadap masalah ini. Kalau Ayu sudah marah, rasanya lebih baik mereka menghadapi 10 Kalla saja, daripada menghadapi Ayu.
"Jawab, Bodoh! Kau punya mulut bukan?" Suara Ayu terus menggelegar. Sementara Gio bergantian melihat Adi dan Gio meminta diselamatkan.
"Aku sudah selesai," kata Elang, beranjak dan pergi ke halaman rumah.
"Aku juga sudah." Adi menyusul Elang. Dan Gio, sudah tidak bisa lari lagi.
"Yu, kau bisa tenang dulu? Nanti akan aku ceritakan semua. Tapi kau harus janji, jangan marah pada kami."
"Cepatlah, Gio!" Alih-alih menjawab permintaan Gio, Ayu malah terus menekannya.
Gio akhirnya menceritakan semua kejadian demi kejadian. Hingga bagaimana Lian terlibat di dalamnya.
"Astaga! Apalagi sekarang. Kalla? Sayaang, mereka mendapat kesulitan lagi, kamu dengar, kan?" Ayu mencari suaminya yang sedang sibuk dengan laptop tak jauh darinya. Wisnu mendekat dan mengambil ponsel Ayu.
"Mana Elang?"
"Lang, Wisnu mencarimu!" jerit Gio.
Wisnu dan Elang terlibat obrolan yang hanya mereka berdua saja yang tau. Elang memilih mencari tempat sepi. Sudah cukup lama mereka berdua tidak saling berkirim kabar. Karena Wisnu juga sudah jauh dari mereka. Dan Elang memang tidak ingin mengusik kehidupan Wisnu yang sudah tenang bersama Ayu dan anak-anak mereka.
Sejak awal Elang memang sudah tau kalau Lian adalah adik Ayu. Itu sebabnya saat Kalla mulai gencar bermunculan, ia sengaja memindahkan Lian ke kantor lain. Ia tidak ingin Lian terluka. Walau pada akhirnya Lian juga terluka, dan terlibat dalam pusaran masalah ini.
"Kalau begitu, aku titipkan Lain padamu, Lang. Tolong jaga dia. Maaf, kami belum bisa membantu apa-apa. Pekerjaanku di sini benar-benar menyita waktu. Bahkan kami belum bisa berkunjung ke sana."
"Tidak apa-apa, Nu. Kau fokus saja dengan kehidupanmu di sana. Lebih baik kau tidak usah terlibat. Tetapi kau harus tetap waspada. Tidak menutup kemungkinan Kalla sudah berkeliaran di sana."
"Terima kasih, Lang. Kabari kami sesering mungkin perkembangan kalian di sana. Jika ada yang bisa kami bantu, kami pasti akan usahakan. Apa pun itu."
"Baik, Nu. Terima kasih."
____
Perapian dinyalakan. Malam ini cukup dingin dari biasanya. Angin malam masuk ke dalam celah-celah lubang angin. Membuat kobaran api menari-nari menciptakan ilustrasi seni yang memanjakan mata.
Mereka duduk berkeliling, saling berdiskusi mencari cara menghadapi masalah yang tengah mereka alami.
John menunjukan simpanan amunisinya. Batu saphire cukup ampuh melumpuhkan Kalla daripada peluru biasa, atau peluru perak. Hanya saja untuk Kallandra, tidak bisa semua itu dilumpuhkan. Dan hanya bisa dilakukan oleh simbol Aldabaro.
"Kalau Ayahku memiliki tato yang sama, kenapa mereka bisa membunuh ayah dengan mudah?" Pertanyaan Abimanyu memang wajar dilontarkan. Karena Arya memang memiliki tato yang sama dengannya.
"Saat itu, kami tidak tau tentang simbol Aldabaro. Dan juga Kalla jauh lebih pandai, Bi. Mereka tau simbol itu melemahkan kemampuan mereka. Oleh sebab itu, saat mereka membunuh ayahmu, punggungnya ditutup kain. Dan cara kerja tato yang kau miliki adalah dengan menempelkan pada tubuh Kalla. Jadi jika hanya melihat tato itu, tidak akan berpengaruh apa-apa. Tapi saat kulit Kalla bersentuhan dengan tato milikmu, maka mereka akan terbakar."
Abi diam. Menarik nafas panjang. Ia merasa lemas. Harapan untuk kehadiran sang ayah kembali tidak akan terwujud.
"Wira berkata padaku, kalau Arya dan Nayla sudah bahagia di alamnya. Jadi kau jangan lagi bersedih, Bi. Percayalah kalau itu yang terbaik untuk mereka."
"Terbaik untuk mereka, tapi bukan untukku, Paman. Kau tidak tau bagaimana kesepiannya aku sejak mereka pergi. Bagaimana susah payahnya aku bertahan tanpa mereka. Bagaimana rasanya tiap malam aku begitu merindukan mereka. Aku sebatang kara, paman. Aku tidak punya siapa-siapa lagi," kata Abimanyu dengan menahan luapan air yang menggenang di pelupuk matanya.
Ellea yang duduk di sampingnya, lantas menggenggam erat tangan Abimanyu. Ia tidak berkata apa pun. Hanya mencoba membuat Abi tidak merasakan itu seorang diri.
"Kau tidak sendirian. Ada kami. Kita adalah keluarga, Bi!" cetus Gio.
"Itu benar. Kita bagai perkumpulan orang-orang kesepian. Jadi jangan beranggapan sendirian di dunia ini," sahut Adi dengan tertawa getir.
Baik Adi, Gio, dan Elang juga memiliki nasib serupa dengan Abi. Mereka hidup sebatang kara di dunia ini. Tanpa orang tua, tanpa keluarga.
"Mungkin karena inilah, kita dipertemukan di sini. Perkumpulan orang-orang kesepian yang harus berjuang melawan kerasnya kehidupan. Agar jika terjadi sesuatu pada kita, tidak akan berpengaruh banyak bagi keluarga kita nantinya." Perkataan Elang bagai anak duri yang menusuk pelan ke dada. Tapi juga sekaligus penyemangat mereka. Setidaknya hidup mereka tidak sia-sia. Setidaknya mereka mampu menyelamatkan orang banyak dari berbagai hal buruk yang kini mengintai. Walau mereka jauh dari kata bahagia.
Tapi Abi sadar, sejak ia datang ke kota. Satu persatu kebahagiaan masuk dalam hidupnya. Ketiga pamannya, Ellea, dan kini ia merasa punya keluarga.
____
"Bi," Ellea tiba-tiba saja berhenti di depan kamarnya dan menahan Abi yang hendak beristirahat juga.
"Apa?"
Ellea memeluk Abimanyu. Hal ini bukan lagi aneh bagi pria itu. Sikap Ellea yang tiba-tiba manja bukan lagi hal canggung diantara mereka.
"Ada aku di sini. Jangan pernah merasa sendirian lagi. Mengerti?" kata Ellea masih dalam pelukan Abi.
"Lebih baik kau tidur, Ell. Ini sudah malam." Abi melepas pelukan mereka. Merapikan anak rambut gadis itu dengan tatapan cinta.
"Baiklah." Ellea meraih kedua tangan Abi. Meletakan telapak tangan Abi ke pipinya. "Kau juga harus tidur. Jangan sampai lingkar hitam di matamu menebal. Kamu mirip mayat hidup tau. Sungguh mengerikan, Biyu," tukas Ellea yang membuat senyum Abi merebak. Ia mengecup kening Ellea. "Cepat masuk ke kamarmu."
Ellea mengangguk pelan. Saat ia hendak masuk, Abi menahan tangannya lagi. "Kenapa?"
"Aku mencintaimu, Ell."