webnovel

8. surat misterius

Pagi ini aku berangkat kuliah bersama Rani, karena semalam aku menginap di rumah nya. Hal ini memang biasa terjadi. Sejak dulu, aku sering menginap di rumah nya saat rumah kami masih berdekatan. Entah dia yang menginap di rumah ku atau sebaliknya. Jadi kami sudah biasa melakukan hal ini sejak dulu.

Sampai di kampus, kami segera menuju ke kantin untuk sarapan. Walau sebenarnya kami sudah membuat roti bakar dan meminum segelas susu sebelum berangkat ke kampus tadi. Tapi bagi kami berdua kedua hal itu bukan lah sarapan, tapi hanya sebuah bagian kecil dari ritual camilan pagi. Untungnya berat tubuhku dan Rani tidak melonjak, walau banyak makan. Sepertinya memang perawakan kami yang memiliki tubuh kecil dan ramping, yang sudah menjadi sebuah warisan turun temurun keluarga.

"Nay, balik kuliah nanti, kita jalan jalan yuk. Lama nggak jalan sama kamu," kata Eani sambil menggandeng tanganku menuju kantin.

"Mmm ... gimana ya," sahut ku sambil pura pura berpikir.

"Ih, Nayla mah gitu deh. Mentang mentang udah ada Wira. Aku dilupain, kan?" protes Rani kesal, sambil mengerucutkan bibir nya.

"Jelek nya. Itu mulut pakai maju kayak bebek!" tukas ku menanggapi reaksinya yang seperti anak kecil.

Buuuggg!!

"Aaaww... Sorry!" Aku menabrak seseorang karena terlalu asyik meledek Rani.

"Dua kali, Nay?" tanya Wira yang ternyata sosok yang aku tabrak. Seperti sebuah Dejavu yang terus berulang. Entah aku yang memang hobi menabrakkan diri padanya, atau dia yang selalu saja muncul saat aku lengah.

"Eh, Kak Wira. Maaf, nggak sengaja," ucapku agak kaku, sambil melirik kanan kiri.

"Formal banget sih manggilnya," protes nya padaku.

"Ini kan di kampus!" Aku berbisik sambil masih memperhatikan sekitar.

Dia mengulum bibirnya, menahan tawa melihat ku terlihat salah tingkah.

"Oh iya, nanti kasih tau temen temen kamu, ya. Kerjain soal dulu bab selanjutnya. Aku agak telat," tutur nya sambil menatap jam yang melingkar di pergelangan tangan.

"Emang mau ngapain? Ke mana? Kok telat?" tanyaku dengan pertanyaan beruntun.

"Mmm ... Ada janji sama orang sebentar." Dia terlihat santai dan cuek menjawab pertanyaan ku. Padahal dia tidak tau, kalau aku sangat penasaran dan kesal saat ini. Hm, cemburu. Sepertinya itu juga termasuk.

Daripada aku makin kesal dan emosi, aku lantas pergi sambil menarik tangan Rani. Wira hanya menaikkan sebelah alis nya, lalu tak lama dia malah tertawa tertahan melihatku kesal. Aku yakin dia tau apa yang sedang aku pikirkan.

Aku dan Rani berpisah karena kelas kami berbeda. Sampai kelas, aku menempati kursi paling depan seperti biasa. Namun saat duduk ada sepucuk surat, dengan amplop berwarna merah darah.

Aku menengok ke kanan dan ke kiri, mencari siapa pengirim nya. Atau mungkin ada seseorang yang sedang menungguku menerima surat ini di sekitar ku. Tapi tidak ada yang aku curigai sampai sekarang. Semua teman teman terlihat tidak peduli dan justru sibuk dengan urusan masing masing.

"Reva ... Ini dari siapa, ya?" tanyaku ke Reva yang duduk tidak jauh dariku.

"Gak tau, Nay. Waktu aku dateng udah ada di bangku mu. Buka aja, siapa tau aja ada nama pengirimnya," kata Reva masuk akal, sembari memainkan game di ponsel pintar nya.

Benar juga.

Segera kubuka amplop itu, karena rasa penasaran yang begitu besar.

Untuk Nayla-ku.

Lama tidak bertemu denganmu, Nay. Jujur aku sangat rindu, dan jarak di antara kita, serta waktu yang terbuang tanpamu, membuatku tersiksa akan kenangan dirimu. Aku rindu, Nayla. Sangat rindu. Selama ini, aku hanya mampu melihat mu dari sisi gelap ku. Tanpa kamu tau.

Aku ingin melupakan mu. Aku ingin melepaskan mu. Tapi ternyata hati ku tak mampu. Setiap kali aku ingin pergi, menjauh, bahkan menghilang, nyatanya justru aku ingin makin dekat denganmu. Melihat mu dari kejauhan pun, sekarang tidak lagi cukup untukku.

Jika aku tidak bisa memiliki mu...

Maka tidak akan ada orang lain yg bisa mendapatkan mu.

Aku dan kamu! Hanya kita! Tidak ada orang lain!

 Pemujamu

Siapa sih yang kirim?

Pemuja ku? Sejak kapan ada pemujaku? Dasar sinting!

Tapi siapa, ya?

Wira? Nggak mungkin!! Untuk apa dia iseng melakukan hal ini, walau untuk bercanda.

Terus siapa? Sepertinya aku harus mencari tau siapa pengirimnya.

Ada perasaan takut dan was was.

Aku tidak pernah merasa mempunyai pengagum rahasia. Bahkan aku merasa, kalau aku tidak sepopuler itu untuk menjadi idola kampus.

Lama tidak berjumpa dengan ku?

Apakah mungkin orang dari masa laluku?

Namun siapa ya?

Aku harus membahas ini dengan Rani. Karena hanya dia sahabatku dari dulu. siapa tau dia bisa membantuku memecahkan siapa pengirim surat ini.

"Asdos dateng!" teriak Bara sambil berlari masuk ke kelas.

Secepatnya aku memasukan surat itu ke dalam tas. Aku tidak mau Wira mengetahuinya dulu. Aku akan mencoba menyelesaikannya sendiri.

Selama Wira mengajar, aku benar benar tidak fokus.

Bagaimana jika pengirimnya adalah seorang psikopat?

Dari kalimatnya sangat jelas, bahwa dia sangat terobsesi padaku dan tidam akan membiarkan orang lain mendekatiku. Tapi setahuku psikopat itu tidak memiliki hati. Dia tidak punya empati bahkan rasa suka pada orang lain. Mungkin dia tidak waras.

"Nayla!" bentak Wira sambil menatap tajam kepadaku.

"Eh. Iya kak." Aku yg sedang melamun lalu kaget karena panggilan Wira yg diikuti pukulan penggaris kayu ke meja.

"Kamu melamun di pelajaran saya?!" tanya nya lagi masih dengan sorot mata yg sama.

"Ma... maaf kak... saya... Nggak enak badan," kataku bohong.

Duh, Wira kan bisa tau apa yg kupikirkan. Apakah aku bisa menyembunyikan masalah ini dari nya?

Mungkin aku harus sedikit menjaga jarak dengan nya.

"Gak enak badan? Kamu sakit?" tanya nya, namun kali ini lebih lembut.

"Agak pusing, kak. Tapi gak apa apa kok. Di lanjutin aja kak. Maaf," kataku.

"Ya udah, nanti kalau nggak kuat bilang ya." pinta nya.

Aku mengangguk.

______

Selesai pelajaran, aku lalu segera membereskan buku ku.

"Nay... Aku antar pulang!!" kata wira datar.

"Eh. Aku mau pergi sama Rani bentar. Gimana? Boleh ya," pintaku memelas.

"Mau ke mana?" tanya Wira menyelidik.

"Eum, jalan jalan bentar, " ucapku.

"Bukannya kamu sakit?"

"Nggak apa apa kok. Cuma pusing aja."

Wira nampak berpikir sebentar.

"Ya udah, hati hati ya. Aku juga mau ke rumah, Jen. Ada perlu," katanya.

"Oke... kamu juga hati hati." lalu aku segera beranjak dari kursi ku.

Namun, wira menghalangi jalan ku.

"Give me kiss," kata nya manja.

"Kita lagi di kampus lho. Nggak mau ah!!" kata ku malu sambil menunduk.

"Hm, Ya udah."

Lalu...

Cuuup!

Dia mencium kening ku lalu berlalu begitu saja. Meninggalkan ku yg bengong, diikuti sorakan teman teman ku yg masih ada di kelas.

"Cie Nayla."

"Wah! Jadian ya, Nay."

"Makan makan lho, Nay."

Aku hanya nyengir lalu mlipir mlipir keluar kelas menghindari pertanyaan mereka selanjut nya.

Segera aku berlari ke kelas Rani.

Sampai kelas Rani, dia sedang di dalam mengobrol dengan teman lelaki nya.

"Eh, Nayla!" panggil nya.

"Hai, Ran," ucapku.

Rani lalu keluar kelas dan menghampiri ku bersama teman nya itu.

"Eh kenalin, ini Dewa temen sekelas ku. Dewa ini Nayla sahabatku."

Kami lalu berjabat tangan.

"Kamu Nayla anak psikolog, kan?" tanya Dewa sambil menatap ku terus.

"Mmm... iya. Kenapa?"

"Kamu pacaran sama Wira?"

"Mmm. iya," kataku ragu.

Kenapa dia mempertanyakan hubunganku dengan wira? Padahal kami tidak saling kenal sebelumnya.

"Hati hati sama dia," kata Dewa serius.

"Memang kenapa?"

"Nanti juga kamu bakal tau kok"

Ni orang malah main teka teki.

"Astaga! Rani, aku hampir lupa," kataku yang melupakan tujuan awal ku bertemu Rani tadi.

"Kenapa? Kok panik gitu, Nay?"

"Aku tadi dapet surat. Tapi aneh deh," kataku sambil melirik Dewa yg masih ada di samping kami dan tentu saja menyimak obrolan kami.

"Aneh gimana?"

Lalu aku memberikan surat ku ke Rani. Dia membaca nya serius, dan mengerutkan dahi nya.

"Siapa ya, Nay? Serem banget deh," kata Rani lalu menutup kembali surat itu dan memasukan ke amplop.

Bbuugghh!!

Seseorang menabrak Rani, hingga tangan Rani agak basah karena tersiram air meneral yg dibawa orang itu.

"Sory, Ran. Aku buru buru." pria itu lalu berlari.

"Duh, Azka kebiasaan deh."

Namun aku agak terbelalak, melihat tangan Rani yang berubah merah.

Amplop yang dipegang nya luntur dan membasahi tangan Rani.

"Ran! kok tangan kamu merah?" tanyaku keheranan.

Dewa yang ikut menyaksikan, lalu mendekat dan memeriksa nya.

"Darah!!" kata Dewa serius.

"Apa?" aku kaget dengan penuturan nya.

Rani bergidik ngeri lalu mengambil air mineral dari tas nya dan segera mencuci tangan nya yang terkena darah itu.

Dewa mengamati amplop itu..

"Gimana, Wa? Beneran darah?" tanya ku penasaran.

Dewa meraba dan mencium nya.

"Iya, Nay. Ini darah. Amplopnya direndam sama darah!!"

"Ya ampun! Gila beneran pengirimnya!" kataku frustasi.

"Kamu gak bisa nebak gitu? Siapa yg ngirim?" tanya Dewa sambil membaca surat yg kering belum terkena siraman air.

"Gak tau, Wa. Aku sama sekali blank.. Gak bisa nebak siapa pengirimnya.."

"Psychooo!!" kata Rani kesal.

"Hah??"

"Ya pasti pengirimnya sakit jiwa tuh, bisa bisa nya amplop nya direndem darah. Kurang kerjaan banget kan?!" Rani marah, namun juga takut.

Aku makin penasaran.

"Kamu dapet dari mana, Nay?" tanya Dewa.

"Tadi pagi waktu masuk kelas. Udah ada di bangku ku, Wa," kataku.

"Mmm.. Kita cek ke cctv yuk. Pasti keliatan siapa yang naroh." saran dewa.

"Eh tapi gak bisa hari ini lagi!! Petugasnya kan libur. Baru masuk besok, dan ruangan cctv juga di konci kan??" Rani memberikan penjelasan.

"Ya udah, besok aja kalo gitu," ucapku kecewa.

"Besok aku temenin kalian deh," kata dewa semangat.

Apakah aku harus memberitahu wira, tentang masalah ini?

次の章へ