Hari esoknya Reyna memilih untuk masuk pagi dan bekerja setelah pulang dari kampusnya. Setelah dia merasakan hawa yang tidak enak saat kemarin malam di sana, entah kenapa Reyna menjadi tidak berani pulang sendirian, padahal ada sekitar sebelas orang di kelasnya yang mengikuti kelas malam. Namun Reyna yang terlalu penakut tidak ingin lagi masuk kelas malam, cukup sekali dan itu hari kemarin saja.
"Rey, aku boleh tanya ga?"
Cewek itu mengangguk, "Iya, boleh. Ada apa?"
Desty mengulum bibir sebelum berucap, "Yang selalu anterin kamu itu..., pacar kamu, ya?" walau akhir kata sedikit pelan, tetapi Reyna masih mendengar. Cewek itu melotot kaget.
"Bukan lah, Des!" Reyna sedikit menyentak karena kagetnya. "maaf, suara aku terlalu gede, ya?"
Sari di sebelah kanannya pun sampai tersentak, beruntung cewek itu tidak sampai latah. "Ih! Reyna, kalau jantung aku keluar gimana?! Kaget tau." dia mendumal kesal.
Reyna cengengesan, "Maaf. Tapi dia emang bukan pacar aku." elaknya lagi.
"Tapi aku liat wajah kalian nyaris mirip, apa itu namanya jodoh?" Sari kali ini menimbrung, "kata orang tua dulu kalau mereka berjodoh itu bisa juga dari wajah, selain anak kembar cewek cowok."
"Masa, sih?"
Desty menjentikkan jari menimpali. "Nah, bener!" ucapnya, "aku juga pernah denger semacam yang begitu. Tapi kalau mereka kembar satu rahim, salah satunya di kasih asi sama ibu yang lain.., misal, di urus sama, Tante nya gitu. Yang aku tahu asal mereka ga satu air asi."
Jodoh?
Mungkin Reyna akan pergi sejauh mungkin jika jodohnya adalah Reno, bagaimana bisa dua temannya berpikiran seperti itu?
"Kalian apaan, sih. Sekarang tujuan kita di sini untuk menuntut ilmu, bukan mencari jodoh atau menjodohkan orang lain." pungkas Reyna mendengus sebal.
Sari dan Desty mengedik, mereka tahu perasaan Reyna . Cewek itu memang serius pada pendidikannya, masalah hal itu sepertinya tidak begitu penting baginya.
"Aku jadi kangen, Bagas."
Reyna menoleh, melihat raut Sari yang terlihat sedih. "Bagas, itu siapa?" tanyanya.
"Pacarnya. Tapi mereka LDR." jawab Desty.
Mulut Reyna membulat sambil mengangguk, "Memangnya dia tinggal jauh?"
"Dia lanjut study ke..., Jepang." Sari sedikit menunduk lemah, Reyna memandang sendu. Seharusnya dia tidak boleh membuat temannya murung seperti ini.
"Maaf ya, Sari. Aku jadi ga enak sama kamu."
Sari segera menatap Reyna di sampingnya, "Eh, engga. Bukan salah kamu, kok. Ini aku aja yang rasa kangen, bukan karena kita omongin soal jodoh itu."
Reyna meringis, apa tidak ada perkataan lainnya? Kenapa ucapan itu terdengar sedikit sensitif di telinganya?
"Jodoh?"
Tiga cewek itu meluruskan atensi, melihat Mario yang sedang menatapnya dengan raut bingung.
"Kak Mario."
"Jodoh siapa?" cowok itu bertanya, mengalihkan.
Sari maupun Desty saling menatap Reyna yang kebetulan berada di tengah mereka, "Soal..., Jodoh, Reyna."
"Hah..., kok, aku?" Reyna mulai protes.
Mario menautkan kedua alis, "Reyna?"
Sari tersenyum kikuk, "Itu maksudnya lagi ngomongin soal..., masa depan, Reyna. Iya, Kak. Tepatnya begitu."
Mario mengangguk sambil menjawab, "Oh, kirain kalian jodohin dia."
Reyna yang di sangka hanya menampilkan senyum kecut, kedua temannya membuatnya malu. Padahal itu tidak ada sangkut pautnya dengan Mario, cowok itu juga terlalu ingin tahu apa yang sedang di bicarakan mereka tadi.
"Kak Mario, kenapa ke sini? Apa ada yang penting?" tanya Reyna akhirnya.
Cowok itu tersenyum, "Oh, iya. Maaf, aku jadi lupa." dia menjeda sebentar, "Reyna, pulang nanti sama aku, ya."
Tentunya Sari dan Desty tersenyum menggoda Reyna kembali, sedangkan cewek itu mengulum bibir bingung harus menjawab apa.
"Dia balik bareng gue!"
>>>>>>>>>>
Airin tidak masuk dua hari, Citra yang sejak awal menaruh curiga pada cewek itu kian menggebu ingin tahu. Kenapa cewek itu sampai tidak masuk tanpa ijin atau surat sakit? Kalau pun sakit Citra lihat sebelumnya cewek itu jauh dari kata baik, Airin sehat dan tidak ada nampak lemas sama sekali. Jadi, apa cewek itu sudah tahu kalau Citra sedang menyelidikinya? Apa saat Cipto yang memanggil itu Airin sudah ngeh? Cewek itu tahu Citra diam-diam mengikuti?
"Ngelamun aja, Cit." Sarah yang berada di sebelahnya berucap.
Citra tersenyum tipis, "Engga, kok."
Sarah hanya karyawan biasa yang kalem, mungkin dia paling dewasa di sana. Mungkin jika di banding dengan Citra sebelas dua belas, mereka tidak pernah membicarakan orang bahkan teman satu kerjanya sendiri. Sosok dua cewek itu paling tidak ingin ribet dalam hal seperti itu, mereka memang hanya fokus pada kerjaannya saja, tidak penting juga semisal mereka yang menjadi salah satu yang di perbincangkan disana.
"Kamu lagi mikirin sesuatu ya, Cit?" Sarah kembali bertanya, cewek itu memang kebagian di kasir, menemani Citra yang biasanya dengan Airin.
Kepala Citra menggeleng pelan, "Engga juga, Sar." balasnya.
Sarah meringis, "Maaf, ya. Aku jadi tanya terus dari tadi..,"
"Eh, ga pa-pa, kok." pungkas Citra buru-buru, dia tidak bermaksud bersikap seolah dia merasa terganggu.
"Sebenernya aku lagi mikirin uang kost, Sar. Jadi, kemarin itu Ibu kost nya ga ada, padahal aku mau bayar. Jadi kepikiran takut di sangka kalau aku belum ada uang." terang Citra akhirnya, cewek itu memang tidak sedang mengalihkan atau berbohong. Itu salah satu yang dia pikirkan juga, biasanya memang Citra selalu bayar sebelum tanggal tepatnya. Dia pun tidak tahu kalau di rumah Ibu kost an nya sedang tidak ada orang satu orang pun, mungkin keluar bersama keluarga beserta ke tiga anaknya juga.
"Oh, gitu. Aku takut kamu ada masalah yang lain, mungkin aja aku bisa bantu kalau kamu mau terbuka." Sarah menawarkan diri, dengan suka rela dia tidak menaruh beban dari teman kerjanya.
Citra tersenyum manis, "Engga masalah, Sar. Ini cuma hal kecil aja, kok. Tapi makasih banyak atas niatan baik kamu mau bantu aku, ya."
Sarah tersenyum lebar, "Iya. Jangan sungkan cerita sama aku, Cit. Kita udah lama kerja di sini loh, tapi kayaknya baru deket sekarang aja, ya? Haha.., ga pa-pa mungkin kamu belum ngerasa nyaman sama aku." dia mengerti bagaimana sosok Citra yang di kenal, mungkin semua orang di sana pun akan tahau bagaimana Citra kesehariannya bekerja di sana, tidak mungkin satu pekerjaan tidak tahu kebiasaan dan watak yang di tunjukkan orang tersebut. Bahkan mungkin baru masuk saja sudah mengetahui, ada yang mudah berteman dan mengajaknya ngobrol, ada juga yang merasa baru dan tidak ingin terlibat.
Hal seperti itu sudah menjadi biasa, dalam pertemuan di sekolah pun sama. Namun berbeda tempat dan tujuan saja, tidak ada yang awalnya langsung mengenal, pasti ada namanya perkenalan atau mengenalkan diri pada orang yang di dekatinya.
"Citra, kamu jangan pernah merasa berdiri sendiri. Karena aku sudah lama ini mengenal kamu di sini..., maupun di luar sana."
"Kamu ternyata ... membutuhkan seseorang yang bisa mengertikan isi dalam hati kamu."